Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Tingkatkan Kapasitas Manajer Kasus TBC Resisten Obat

(Salah satu perwakilan SR menyampaikan presentasi hasil diskusi kelompok)

DENPASAR – Dilansir dari web resmi Kementerian Kesehatan RI, Indonesia merupakan 1 dari 10 negara yang menyumbang 77% kesenjangan secara global untuk estimasi kasus TB RO dengan estimasi kasus sebanyak 24 ribu. Dari banyaknya kasus tersebut, hanya 48% pasien TBC RO yang memulai pengobatan di lini kedua. Cakupan keberhasilan pengobatan juga masih sangat rendah yaitu di angka 45%. Sehingga rendahnya cakupan angka pasien TBC RO yang mulai pengobatan dan capaian angka keberhasilan pengobatan TBC RO berpotensi untuk meningkatkan penularan TBC RO, menimbulkan resistensi pengobatan yang lebih kompleks dan meningkatkan angka kematian.

Manajer Kasus (MK) sendiri mempunyai peranan yang bertanggung jawab terhadap tata kelola dalam kasus TB RO, mulai dari pasien terdiagnosis sampai menyelesaikan pengobatan dan juga pemberian dukungan, baik dukungan medis maupun psikososial. Untuk meningkatkan peran  MK di komunitas terutama dalam pencatatan dan pelaporan, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI melaksanakan Pelatihan Manajer Kasus yang dilaksanakan di Hyatt Regency, Sanur, Bali pada tanggal 10-14 Desember 2021.

(Ibu Heny didampingi oleh para Manager menyampaikan sambutannya)

Kegiatan diikuti oleh 128 peserta MK yang berada di 30 provinsi  cakupan kerja PR Konsorsium Penabulu STPI. Acara dibuka oleh Ibu Heny Akhmad selaku Direktur Program Nasional yang  bersama Manajer Program dan Manajer Monitoring, Evaluation, and Learning PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI.  Pembukaan dilanjutkan dengan perkenalan dan penguatan komitmen belajar yang dipimpin oleh Lina Harahap, staf Data Management, sebagai MC. 

(Lina Harahap sebagai Master of Ceremony memimpin jalannya acara)

Hari selanjutnya, acara dimulai dengan pemaparan materi oleh Rahmat Hidayat Koordinator Field Program tentang Evaluasi Implementasi Pendampingan  TBC RO, dilanjutkan oleh Raisa Afni menjelaskan tentang Alur Pendampingan Pasien TBC RO oleh Komunitas dan  ditutup yang menjelaskan tentang Alur Kegiatan Per BL TBC RO. Setelah pemaparan materi selesai, peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang evaluasi pencatatan dan pelaporan TBC RO, lalu menuliskan hasil alur pencatatan dan pelaporan yang dipahami dan yang sudah diimplementasikan. Aktivitas dilanjutkan dengan pemaparan presentasi dari hasil diskusi yang dibagi menjadi beberapa subtopik yaitu Implementasi Pendampingan oleh Pasien Suporter, Persiapan dan Penetapan Manajer Kasus, Interaksi & Penilaian awal, Enabler, Terminasi Pasien, Koordinasi Multi Pihak,  dan Pengorganisasian Kasus serta Perencanaan & Rujukan Sosial.

(Peserta membaca form yang telah diberikan oleh panitia)

Di hari ketiga, acara dilanjutkan dengan pembekalan tentang semua jenis form untuk proses input data pasien. Sebelum praktik penginputan dimulai, Irman selaku Data Management Staff memaparkan terlebih dahulu tentang penjelasan modul TBC RO di SITK Sistem Informasi Tuberkulosis (SITK). Thoriq Hendrotomo selaku Koordinator Data Management juga turut menjelaskan tentang pelaporan raw data RO dan data Kementerian Kesehatan. Setelah itu, peserta membentuk kelompok sesuai dengan asal SR untuk melakukan input raw data/ data individu ke SITK. Pada sesi ini, seluruh tim Data Management PR dan fasilitator terlibat untuk memastikan peserta fokus selama sesi dan form dapat terisi dengan baik.

(Dwi Aris Subakti selaku MEL Manager menutup kegiatan Pelatihan Manajer Kasus)

Kemudian di hari terakhir pelatihan Manajer Kasus, mereka melanjutkan proses penginputan data dengan memperbaiki data variabel-variable terkait perawatan TBC RO. Setelah Manajer Kasus selesai melakukan input, mereka memberikan hasil input pendampingan kepada  SR untuk dilakukan verifikasi. Pada malam harinya, acara pelatihan ini ditutup oleh Dwi Aris Subakti selaku MEL Manager yang menyampaikan agar ilmu yang diperoleh dapat diaplikasikan dan diterapkan secara baik ketika para MK kembali untuk melaksanakan tugasnya.

Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Padukan Fokus Kolektif Mewujudkan Eliminasi Tuberkulosis

(Direktur Program Nasional didampingi oleh para manajer memberikan ucapan terima kasih kepada seluruh SR)

DENPASARTuberkulosis (TBC) adalah masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan  solusi  multisektoral, salah satunya dengan  keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas  Data resmi dari Kementerian Kesehatan menunjukkan Indonesia adalah episentrum TBC terbesar ketiga di dunia pada tahun 2021. Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI yang secara resmi telah menjadi Principal Recipient (PR) Komunitas program TBC melalui kerjasama dengan Global Fund Tahun 2021-2023 memiliki mandat untuk berkontribusi menurunkan beban TBC melalui peran serta masyarakat. Pada 5-10 Desember 2023, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI melaksanakan Lokakarya Asistensi Implementasi Teknis yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas manajemen program, keuangan, serta monitoring, evaluation, and learning (MEL) 30 Sub-Recipient (SR) untuk mengembangkan rancangan strategi dan perencanaan implementasi program hibah ini di tahun 2022. Acara tersebut berlangsung selama 5 hari melibatkan 93 peserta di Hyatt Regency Bali, Sanur.

(Dr. dr. Rita Kusriastuti, Wakil Ketua CCM Indonesia memberikan sambutan pada pembukaan kegiatan Lokakarya Asistensi)

Acara ini dibuka oleh Dr. dr. Rita Kusriastuti selaku Wakil Ketua CCM Indonesia, Nurul Nadia selaku Authorized Signatory Yayasan STPI, dan Budi Susilo mewakili Eko Komara selaku Authorized Signatory Yayasan Penabulu untuk memberikan arahan dan motivasi kepada PR dan SR untuk mencapai kinerja yang lebih baik di tahun 2022. Beliau-beliau juga mengajak para peserta agar dapat adaptif dengan situasi dan kondisi di lapangan, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19 yang menghambat kegiatan di lapangan. 

(Ibu Heny Akhmad memberikan sambutan pada hari kedua acara Lokakarya)

Acara hari kedua pada Senin 6 Desember 2021 dimulai dengan pembukaan dari Direktur Program Nasional  Ibu Heny Akhmad yang kemudian dilanjutkan dengan pemaparan tentang program TBC dalam empat panel dengan topik berbeda. Panel pertama membahas tentang Situasi Terkini Penanganan TBC dengan menghadirkan dr. Endang Lukitosari MPH (Wakil Koordinator Substansi TBC Resisten Obat Kementerian Kesehatan) dan dr. Setiawan Jati Laksono (WHO Indonesia Country Office). Dilanjutkan panel kedua tentang Kebijakan Multisektor TBC yang disampaikan oleh Dr. Agus Suprapto (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan, Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan), dr. Tiara Tiffany Pakasi, M.A. (Koordinator Substansi TBC Kementerian Kesehatan), R. Budiono Subambang, S.T., MPM (Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Kementerian Dalam Negeri) dan Ir. Eppy Lugiarti, MP Plt. (Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan). Panel ketiga membicarakan tentang Peran Serta Komunitas Mendukung Pasien TBC Sektor Swasta dengan materi yang disampaikan oleh dr. Mohammad Bey Sonata (USAID Indonesia TB Lead), dan dr. Carmelia Basri, M. Epid (Ahli Penanggulangan Penyakit Menular Langsung dan Sistem Kesehatan). Panel terakhir adalah  pembahasan terkait Gambaran Besar Keterkaitan Program TBC di Indonesia yang disampaikan oleh dr. Setiawan Jati Laksono (WHO Indonesia Country Office) dan Prof. DR. Adang Bachtiar, MD, MPH, D.S (Ketua TWG Tuberkulosis Indonesia). Setelah penyampaian materi, seluruh peserta aktif dalam mengutarakan pemikiran, pertanyaan dan pendapat mereka terkait dengan topik-topik yang telah disampaikan oleh para pembicara pada sesi refleksi dan tanggapan yang dipimpin oleh Donald Pardede (Management Advisory Team) dan  Heny Akhmad (National Program Director PR PB-STPI). 

(Dwi Aris Subakti selaku Manajer Monitoring, Evaluation and Learning memberikan materi tentang Kerangka Strategi Implementasi Program TBC Komunitas 2022)

Selanjutnya di hari ketiga, Dwi Aris Subakti  selaku Manajer Monitoring, Evaluation, and Learning menjelaskan Kerangka Strategi Implementasi Program TBC Komunitas 2022 serta menghimbau kepada seluruh peserta agar terus berupaya meningkatkan kualitas kerja agar mencapai target yang ditentukan dengan maksimal. Selanjutnya, Barry Adhitya selaku Manajer Program menyampaikan arahan programatik untuk meningkatkan upaya SR dan SSR merancang dan melaksanakan kegiatan di daerah serta berkoordinasi dengan SR Tematik. 

Pemaparan selanjutnya adalah update dan arahan tentang implementasi program yang  disampaikan oleh perwakilan setiap divisi PR Konsorsium Penabulu-STPI. Koordinator Field Program PR PB-STPI, Rahmat Hidayat menyampaikan Update Panduan Implementasi Program, dilanjutkan dengan Bunga Pelangi sebagai Koordinator Advokasi dan Kemitraan PR PB-STPI memaparkan Rencana Advokasi Komunitas. Di sesi selanjutnya, dua perwakilan dari divisi MEL yaitu Thoriq Hendrotomo selaku Koordinator Data Management menyampaikan tentang Update Pencatatan dan Pelaporan TBC Komunitas 2022, kemudian dilanjutkan oleh Thea Hutanamon selaku Koordinator Knowledge Management yang menjelaskan tentang Tata Kelola Pengetahuan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Sedangkan, mewakili  Finance & Operations, Subhan selaku Koordinator Internal Control yang menyampaikan Update Mekanisme Pembiayaan dan Pembayaran Aktivitas TBC Komunitas 2022. Pada hari ketiga acara ini empat SR dengan capaian terbaik turut membagikan pengetahuan kepada peserta  lainnya upaya yang telah mereka lakukan untuk melakukan investigasi kontak, berkontribusi menemukan kasus TBC baru, dan mengupayakan balita mendapatkan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Setelahnya, tim Internal Control memfasilitasi SR wilayah provinsi dan SR Tematik mereview Budget dan Plan of Action 2022.

(Barry Adhitya selaku Manajer Program memberikan materi tentang penyaluran Enabler oleh komunitas)

Hari keempat diawali oleh Barry Adhitya selaku Manajer Program  menjelaskan tentang Update Rancangan Pembiayaan Enabler Pasien TBC RO yang akan diberikan oleh Konsorsium Penabulu STPI kepada pasien TBC Resisten Obat mulai Januari 2022 hingga Desember 2023 di 190 kabupaten/kota wilayah kerja Konsorsium. Setelah pemaparan enabler selesai, peserta melanjutkan diskusi kelompok didampingi oleh fasilitator dari Tim Field Program untuk menyusun Annual Work Plan dan presentasi rencana kegiatan triwulan 1 2022. 

(Perwakilan kelompok menyampaikan diskusi implementasi program 2022)

Mengakhiri lokakarya ini, pada 9 Desember 2021 setiap SR mempresentasikan hasil diskusi tentang rencana implementasi program triwulan 1 tahun 2022 di daerah masing-masing. Setiap SR memaparkan tentang estimasi target yang akan mereka capai, menjelaskan cara-cara yang akan mereka lakukan untuk mencapai target tersebut dalam waktu tertentu, serta estimasi serapan anggaran implementasi program.  Direktur Program Nasional, Ibu Heny, didampingi para manajer menutup acara lokakarya dengan mengajak setiap individu dalam pertemuan ini berjanji memberikan upaya terbaik dalam mencapai Eliminasi TBC dan menyampaikan rasa terima kasihnya atas giat serta komitmen   31 SR untuk bekerja secara cepat dan tepat di 2022.

Desa Wele Kabupaten Wajo, Wujud Nyata Desa Peduli TBC

BELAWA WAJO- Upaya penanggulangan Tuberkulosis (TBC) memerlukan peran semua pihak tanpa terkecuali. Jika beberapa tahun sebelumnya peran itu hanya terlihat dilakukan oleh pihak-pihak di bidang kesehatan dan para pegiatnya, maka sejak setahun terakhir pelbagai pihak seolah mulai berlomba untuk mengambil peran, salah satunya adalah pemerintah Desa Wele, Kecamatan Belawa, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan.

Seolah gaung bersambut dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 67 tahun tahun 2021 tentang penaggulangan Tuberkulosis pada bulan Agustus lalu, Pemerintah Desa Wele ini mencanangkan diri sebagai Desa peduli TBC. Komitmen itu bahkan tak sampai sekadar deklarasi, anggaran penanggulangan TBC dari alokasi dana desa telah digunakan untuk kegiatan edukasi kepada masyarakat desa serta pelatihan kader TB Desa.

Dijumpai di tengah-tengah pelaksanaan kegiatan pelatihan kader TB Desa, Kamis (16/12), Sekretaris Desa Wele, Karmila menuturkan bahwa Desa wale sebagai Desa peduli TB sedianya telah berlangsung sejak tahun 2020 lalu, dengan serangkaian agenda melalui kegiatan intervensi Desa TB Care Aisyiyah dan Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis (Yamali TB) Kab. Wajo.

“Saat Desa kita ditawarkan sebagai Desa Peduli TB, kami tak berpikir lama karena kami tahu penyakit menular ini ada di masyarakat tanpa terkecuali di Desa Wele,” katanya.

Sejak saat itu, lanjut Karmila, sejumlah rangkaian kegiatan Desa dilakukan, dari persiapan dengan melakukan pertemuan bersama para tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta dilanjutkan dengan membentuk tim analisa situasi TBC Desa, dan mulai menggerakkan kader. “Dari rangkaian awal itu, ternyata ditemukan ada tujuh kasus TBC di Desa Wale sehingga hal itu semakin meyakinkan kami tentang program ini,” terang Karmila yang sekaligus mengambil peran sebagai sekretaris Komunitas Desa Gerak TBC.

Mengenai kegiatan pelatihan kader yang dilaksanakan, Fasilitator Pelatihan, Iskandar, menuturkan bahwa kegiatan itu dilakukan untuk menambah personel kader TB Desa guna menguatkan upaya perwujudan Desa Wele yang bebas TBC. “Ada 20 kader yang dilatih, yang lama untuk disegarkan maupun yang baru. Total Desa Wele sudah punya 20 kader,” tukas Iskandar yang merupakan Ketua Pengurus Yamali TB kab. Wajo.

Iskandar melanjutkan, bahwa Desa Wele ini patut dijadikan sebagai contoh untuk Desa lain. “Kegiatan ini fuul menggunakan alokasi dana desa, sehingga dengan itu kita juga berharap para kader TBC yang telah dilatih ini mampu berperan aktif dalam tindakan pencegahan seperti sosialisasi atau Penyuluhan maupun penemuan kasus lewat door to door di tiga dusun dalam Desa Wele,” tukasnya.

Pelatihan ini melibatkan empat pihak dalam pelaksanaanya, dari unsur pemerintah Desa Wele, Majelis Kesehatan Aisyiyah Cabang Belawa, SSR TB Komunitas Yamali Kab Wajo, serta Pengelola Program TB Puskesmas Sappa.

Penulis: Kasri Riswadi,
Koord. Program Yamali TB, SR GF-TB Komunitas Sulsel

Siap Siaga TBC dengan Desa Siaga TBC di Desa Sumare

MAMUJU – Pertama kalinya di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat telah diresmikan Desa Siaga Tuberkulosis (TBC) yang dibentuk bersama dengan Kelompok Masyarakat Peduli (KMP) TBC pada Selasa (14/12). Peresmian ini dihadiri oleh Kepala Desa Sumare, Amal Ma’ruf, perwakilan Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju, Dinas Kesehatan Provinsi, Puskesmas Rangas, Sekretaris Kecamatan Simboro dan SR STPI Penabulu di Sulawesi Barat. Desa Siaga TBC ini diresmikan setelah proses pembentukan sejak tiga bulan silam bersama dengan Substansi Tuberkulosis Kementerian Kesehatan RI.

Kegiatan ini dimulai dengan perkenalan dari masing-masing peserta yang dilanjutkan dengan pengantar dari SR STPI Penabulu Sulawesi Barat. Kemudian sambutan disampaikan oleh perwakilan dari Puskesmas Rangas, Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju, Dinas Kesehatan Provinsi serta Sekretaris Kecamatan Simboro. Terakhir, Kepala Desa Sumare memberikan arahan sekaligus membuka kegiatan ini secara resmi.

Setelah dibuka secara resmi, Koordinator SR STPI-Penabulu Sulawesi Barat memaparkan mengenai konsep desa siaga TBC yang dilanjutkan dengan diskusi singkat salah satunya terkait jaminan kesehatan bagi kader sebelum bertugas sebagai kader peduli TBC. Kemudian setelah diskusi dilanjutkan dengan proses pemilihan ketua dan tim pengurus KMP yang dipandu bersama oleh Kepala Desa, Sekretaris Kecamatan dan BABINSA Sumare. Hingga akhirnya terpilih S. Janis sebagai ketua yang beranggotakan 12 kader dari masing-masing mewakili dusun di desa Sumare. Masing-masing kader mengucapkan janji kader untuk bersedia menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh.

Struktur Kepengurusan Desa Siaga TBC terbagi menjadi Dewan Penasihat yang beranggotakan Pemerintah Kecamatan Simboro, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju dan SR Sulbar. Kemudian Dewan Pengawas yang terdiri atas Pemerintah Desa dan BPD Sumare, Puskesmas Rangas, Babinsa & Kantibmas Sumare.

Desa Sumare, Kabupaten Mamuju merupakan sebuah desa di Provinsi Sulawesi Barat yang terletak berbatasan langsung dengan pantai di utara pulau Sulawesi. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian nelayan. Desa ini merupakan desa dengan risiko TBC tinggi namun belum ditemukan dimana pada tahun 2021 baru didapatkan 7 kasus dari 730 total penduduk. Jarak antara desa dengan Puskesmas Rangas sendiri terhitung jauh yakni 9 km dan hanya dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi karena tidak ada akses kendaraan umum.

Setelah pembentukan ini, Kepala Desa Sumare berharap agar para kader dan lintas sektor dapat menjalankan tanggungjawabnya untuk penanggulangan TBC dengan sebenar-benarnya sehingga kegiatan ini dapat terus berjalan dengan berkesinambungan. Selanjutnya, Tim Desa Siaga Sumare akan menyiapkan POS TBC Sumare pada bulan ini sebagai pusat data dan informasi desa dari kader setiap dusun, pengajuan APD berupa Masker untuk kader kepada PKM Rangas/Dinkes Kab. Mamuju, dan bergerak untuk penemuan kasus dan penyusunan profil TBC Desa untuk merancang rencana aksi yang sesuai dengan keadaan di Desa Sumare.

Tuntaskan Kasus TB, SR Konsorsium Penabulu Banten Kerjasama dengan Dinkes Provinsi, ARSSI, KOPI TB dan DPPM Banten

Sabdanews.net, Serang Raya – Sub Recepient (SR) Konsorsium Komunitas Penabulu dan Siap Tuberculosis (TB) Partnership Indonesia (STPI) Provinsi Banten menggelar pertemuan bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, ASSRI, Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulangan TB (KOPI TB), Distric Public Private Mix (DPPM) TB Provinsi Banten dalam rangka melakukan pemetaan dan kerjasama pelaksanaan investigasi kontak (IK) TB dan pemantauan pasien TB, Senin, (29/11).

Lukman Hakim, Manager SR konsorsium Penabulu Provinsi Banten mengatakan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan format pendampingan pasien TB yang memerlukan kesepakatan semua pihak yang terlibat dalam pendampingan pasien TB. Selain itu, kegiatan tersebut juga untuk mengidentifikasi indeks kasus TB di rumah sakit swasta yang ada di Provinsi Banten.

“Banyak sekali pasien TB di rumah sakit swasta yang tidak terdata di Sistem Informasi TB (SITB) yang akhirnya tidak ada yang mendampingi dan membuat mereka mangkir berobat,” ucap Lukman Hakim.

Lukman mengatakan kedepannya setelah kegiatan tersebut akan dilakukan sosialisasi panduan pendampingan pasien TB di sektor swasta.

“Nanti akan ada sosialisasi pendampingan pasien TB dengan formatnya dari kita SR Banten dan juga format yang ditentukan nanti dari forum ini,” ujar Lukman.

Sementara itu, Kasi P2P Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Dr. Nenden Diana mengatakan TB sampai saat ini masih menjadi masalah serius yang dihadapi Indonesia bahkan dunia dan saat ini di Indonesia Provinsi Banten menempati posisi ke-5 kasus TB tertinggi.

“Kita tahu penyakit TB ini sangat menular sehingga membuat kita sulit sekali menanggulangi persoalan ini, apabila tanpa bantuan semua pihak,” ucap Dr. Nenden Diana dalam sambutannya.

Ia berharap dengan adanya kegiatan ini kasus TB di Provinsi Banten semakin turun dan Provinsi Banten menjadi daerah yang bebas TB.

“Harapan kita kasus TB di Provinsi Banten bisa turun dan semoga ke depan Provinsi Banten bebas TB,” harapnya.

Inovasi Para Kader Sebagai Bentuk Perjuangan untuk Eliminasi TBC di Pontianak

Tuberkulosis (TBC) bukan lagi penyakit yang asing ditelinga kita. Saat ini, TBC masih menjadi masalah dunia meskipun upaya penanggulangan TBC sudah diterapkan di setiap negara. Dilansir dari web resmi Kementerian Kesehatan, Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi triple burden TBC, yakni TBC, TBC Resistant Obat (RO), dan TB-HIV. Bahkan berdasarkan data Global TB Report 2021, Indonesia berada pada peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah orang dengan TBC terbanyak, setelah India dan Cina.

Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang turut berupaya mencapai Indonesia bebas TBC di tahun 2030. Berbagai upaya program dijalankan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, termasuk oleh organisasi masyarakat sipil. Bersama Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Yayasan Bina Asri Kalimantan Barat sebagai sub-recipient (SR) program ‘Eliminasi TBC di Indonesia’ berkomitmen untuk mengkoordinasikan kegiatan di 7 wilayah kerja salah satunya adalah Pontianak. Dikutip dari Laporan Tuberkulosis Nasional 2021, kasus TBC di Pontianak adalah 2.545 dari 672.440 penduduk. Hal utama yang dilakukan oleh Yayasan Bina Asri adalah mendukung giat para kader di wilayah Pontianak menjangkau orang-orang terdampak TBC. 

Yayasan Bina Asri dengan bantuan para kader di Pontianak berupaya memutus mata rantai penularan TBC dengan menyebarkan informasi tentang TBC kepada masyarakat. Cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan penyuluhan di Pasar Tradisional Flamboyan, Kampus Muhammadiyah dan Pesantren Manba’usshafa. Tiga tempat tersebut mereka pilih bukan tanpa alasan. Salah satu kader yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Sulastri Ningsih. Wanita yang di akrab dipanggil Sulastri ini telah mengawali langkah sebagai kader TBC sejak bulan April yang lalu.

“Kenapa kami memilih di pasar? Karena protokol kesehatan di pasar sangat kurang. Selanjutnya, untuk pesantren kami lakukan di sana karena lingkungan yang padat dan isi kamar yang juga padat. Dan untuk kampus, kami pilih karena memang kampus merupakan lembaga pendidikan yang padat, disana juga banyak sekali mahasiswanya,” tuturnya. 

Niat baik Yayasan Bina Asri disambut baik oleh pihak pesantren, pasar Flamboyan dan kampus Muhammadiyah untuk melaksanakan penyuluhan tentang bahaya TBC, stigma TBC di masyarakat, dan langkah yang harus dilakukan ketika mengetahui diri sendiri/orang terdekat terinfeksi TBC. Saat penyuluhan para peserta sangat antusias bertanya terkait dengan bahaya TBC. Sulastri menjelaskan, “Mereka sangat mengapresiasi kedatangan kami. Banyak sekali pertanyaan yang muncul terutama terkait TBC seperti bagaimana bentuk gejalanya dan cara agar terhindar dari TBC,” paparnya.  

Pengalaman-pengalaman yang diceritakan oleh anggota masyarakat seperti kader yang pernah merawat atau bertemu dengan pasien TBC diharapkan memberikan pandangan baru terhadap masyarakat bahwa TBC memang benar-benar terjadi di lingkungan sekitarnya. Yayasan Bina Asri berharap penyuluhan di tempat yang padat juga dapat dilakukan oleh kader-kader TBC di SSR lainnya. Kader adalah ujung tombak kesehatan yang paling dekat untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Sulastri sebagai seorang kader juga mengatakan “Saya ingin masyarakat memandang pasien TBC sebagai keluarga kita sendiri dan tulus membantu mereka dalam pengobatan dengan tidak membedakan atau mendiskriminasi mereka.” Dengan giatnya penyuluhan di masyarakat, diharapkan stigma di masyarakat dapat berubah sehingga tidak mengasingkan pasien TBC justru mampu memberikan semangat bagi mereka. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Kalimantan Barat

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Berjuang Bersama Memberantas Tuberkulosis di Subang

Kabupaten Subang adalah salah satu daerah di Jawa Barat dengan jumlah penduduk yang padat sebanyak 1.579.018 jiwa. Kabupaten yang terletak di daerah pesisir pantai utara ini terbagi dari 30 kecamatan, 245 Desa, dan 8 kelurahan dengan  luas wilayah sebesar 2051,76 km.

Di Kabupaten Subang, penyakit menular Tuberkulosis (TBC) masih banyak ditemukan, hal ini pun diperkuat oleh data dari Laporan Tuberkulosis Nasional 2021 dengan 3.609 orang jatuh sakit sepanjang tahun 2021. Selain itu, Dinas Kesehatan Subang juga melaporkan bahwa TBC berada di urutan keempat sebagai satu-satunya penyakit menular yang menyebabkan kematian terbanyak setelah penyakit stroke, jantung koroner (CAD) dan gagal ginjal CKD. Kondisi tersebut menyiratkan upaya menurunkan jumlah kasus TBC yang membutuhkan peran berbagai pihak. 

Kondisi ini direspon oleh Sub-Sub-Recipient (SSR) Kabupaten Subang yang merupakan bagian dari Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dengan memberikan dukungan komunitas dalam proses perawatan TBC. Dalam hal ini, SSR Subang melakukan langkah awal dengan memperkuat jejaring multipihak bersama beberapa pemangku kepentingan terutama Dinas Kesehatan Kabupaten Subang.

Program Staff SSR Subang, Irfan Maulana, mengatakan, “Dengan Dinas Kesehatan kita selalu diskusi untuk bersinergi dalam penjangkauan dan penemuan kasus TBC di Kabupaten Subang. Kami membangun komunikasi bahwa komunitas hadir untuk membantu Puskesmas agar orang dengan gejala TBC terdeteksi secara dini, masyarakat memahami penyakit ini, mendampingi pasien TBC selama berobat, serta melacak pasien mangkir”.  

Selain itu, kader komunitas yang dikelola oleh SSR Subang juga diberi kepercayaan dan dukungan oleh petugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Keberadaan kader dinilai sebagai angin segar karena dapat membantu dalam menjangkau orang dengan penyakit TBC di masyarakat sebagai perpanjangan tangan Puskesmas. Hal ini membuat kader bersemangat melaksanakan kegiatan untuk memutus mata rantai penularan TBC. 

Tuti, salah satu kader dari Cikalapa Subang menyatakan antusiasmenya karena mendapat dukungan penuh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. “Saya sangat senang ketika mendapat dukungan dan kepercayaan dari Dinkes, rasanya seperti dikasih suntikan semangat dalam melakukan penjangkauan. Orang-orang Dinkes juga sangat komunikatif dan responsif sehingga kami sering melakukan diskusi terkait kondisi di lapangan,” tuturnya. 

Selain dukungan secara moril, Dinas Kesehatan juga menyediakan fasilitas dan ruang berbicara untuk para kader dan komunitas. “Di Dinas Kesehatan, kita diberikan ruangan untuk tempat berkumpul. Jadi, jika kita ingin melakukan pertemuan, pelatihan, ataupun diskusi, kita nggak repot-repot cari tempat deh’’ kata Tuti. 

Pada beberapa kesempatan, Dinas Kesehatan mengenalkan para kader kepada para pemangku kepentingan lainnya dan diberi ruang untuk memaparkan tugas-tugas yang dilakukan oleh kader TBC Komunitas di lapangan. “Yang jelas saya makin merasa dirangkul dengan diberikannya kesempatan untuk berbicara, kami nggak jalan sendiri, dan Dinkes selalu membersamai langkah kami,” tambah Tuti. 

Adanya dukungan tersebut meningkatkan produktivitas kader ketika melakukan penjangkauan. Dalam pencapaian notifikasi kasus, Kabupaten Subang berhasil menjangkau lebih banyak kasus dengan jumlah kader aktif yang meningkat. Irfan mengatakan, “Dulu itu sudah dilatih 140-an kader mba, kemudian yang aktif di bawah 20 kader. Bertahap sekarang yang aktif sampai 60,” tuturnya. 

Peningkatan keaktifan kader juga sangat berpengaruh pada capaian hasil yang didapatkan oleh SSR Subang. “Bahkan, di kuartal 3, kami mendapatkan hasil capaian kasus yang cukup baik dibandingkan kuartal sebelumnya” tutur Irfan. Bertambahnya angka penemuan kasus berkaitan dengan meningkatnya keaktifan para kader di lapangan. Semua terjalin karena komunikasi dan koordinasi yang baik antara SSR Subang dengan Dinas Kesehatan untuk mendukung kerja-kerja kader serta Puskesmas.

Dengan kemajuan saat ini, Tuti sebagai kader berharap bahwa kedepannya program yang sedang dilakukan komunitas dapat berkesinambungan sehingga pasien-pasien TBC Sensitif Obat (SO) maupun TBC Resisten Obat (RO) semakin berkurang. Tuti juga menyampaikan agar rekan-rekan kader dapat terus bersemangat dalam melaksanakan tugasnya dengan dukungan-dukungan yang sudah diberikan. 

SSR Kabupaten Subang berkomitmen akan terus bergerak menyukseskan eliminasi TBC bersama kader di masyarakat. “Semuanya berjalan dan mengikuti ritme dari hulu ke hilir dengan upaya selalu menjaga komunikasi dan koordinasi serta persepsi yang sama dengan stakeholder dalam mewujudkan sinergitas yang baik,” tutur Irfan. Relasi yang baik akan terus dibangun oleh SSR Subang baik itu ke pemerintah, komunitas dan organisasi masyarakat sipil lainnya, dan para kader untuk Kabupaten Subang bebas TBC. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Jawa Barat

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

 

Anjangsana Ke SR Sulsel, NPD PR Konsorsium Penabulu-STPI Semangati Puluhan Kader TB

MAKASSAR– Nasional Program Direktur (NPD) Program TB Komunitas PR konsorsium Penabulu-STPI, Heny Akhmad beranjangsana ke SR TB Komunitas Yayasan Masyarakat Peduli TB Sulawesi Selatan, pada Sabtu-Senin, 20-21 November 2021.

Kedatangan Heny selain untuk bersilaturahmi dengan pengelola program TB Komunitas, juga untuk melihat langsung aktivitas kader TB Komunitas sebagai ujung tombak program dalam mewujudkan eliminasi TBC 2030. “Kita tahu bersama bahwa upaya eliminasi TB ini sudah menjadi komitmen kita bersama, untuk itu pelaksanaannya harus kita pastikan semaunya berjalan, baik dari sisi penjangkauan kasus TB baru maupun advokasi kepada kebijakan sebagai salah satu strateginya,” ungkapnya.

Dalam kesempatan di Sulsel ini, Heny juga menyempatkan berkunjung ke SSR TB Komunitas Yamali di Kab Maros, serta bertemu 40-an kader TB Komunitas Yamali TB kota Makassar. Saat pertemuan dengan kader, Heny berbagi motivasi kepada kepada kader agar tetap teguh dan semangat dalam melakukan aktivitasnya. “Saya harus menyampaikan terima kasih kepada ibu-ibu semua atas dedikasinya sebagai ujung tombak program TB ini. Kami tahu ini tugas yang berat dan penuh tantangan tetapi ibi-ibu semua mampu melakukannya,” tukas Heny yang disambut sorak tapuk tangan puluhan kader yang hadir pada kegiatan yang dilaksanakan di Rumah Makan Fatmawati, Makassar itu.

SR Manager Yamali TB Sulsel, Wahriyadi menambahkan bahwa tantangan yang dihadapi dan telah dilalui oleh kader merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Ia pun menyampaikan bahwa beberapa apresiasi dilakukan, seperti adanya fasilitas reward untuk kader dalam melakukan aktivitas terkait program serta kegiatan-kegiatan refreshment untuk kompetensi kader, refreshing untuk menghindari kejenuhan kader, serta pemberdayaan ekonomi kader. Pada kesempatan tersebut, dilakuakn juga pemberian apresiasi bagi tiga orang kader dengan capaian tertinggi dalam periode semester 1 tahun 2021.

Kisah Dua Kader yang Rela Berjalan Lebih Dari 1 Jam Demi Membantu Sesama

Pulau Bali adalah pusat pariwisata Nusantara dengan kekayaan budaya yang indah dan penduduk yang ramah. Namun, dibalik semua hal tersebut,  ancaman tuberkulosis (TBC) terus menghantui kehidupan di Pulau Dewata ini. Pada tahun 2021, diperkirakan 12.406 orang jatuh sakit dengan TBC. Penyakit menular ini dapat mematikan, sayangnya, hingga sekarang masih banyak masyarakat dengan gejala batuk terus menerus yang menolak memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan. 

Situasi tersebut juga terjadi di Kabupaten Buleleng dimana Sub-Sub-Recipient (SSR) Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), dengan dukungan Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, bersama Puskesmas Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat berkoordinasi untuk mencegah dan mengendalikan TBC. Utamanya, organisasi berbasis masyarakat seperti PPTI berperan dalam memobilisasi masyarakat dalam penemuan orang dengan gejala TBC untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini. Selain itu, kader TBC melakukan pendampingan di masyarakat agar pasien TBC tidak mangkir atau putus berobat dan memastikan mereka berobat sampai sembuh. Sebagai agen perubahan di masyarakat, kader memiliki andil dalam mengedukasi masyarakat tentang TBC, termasuk berupaya menghapuskan stigma dan diskriminasi terkait penyakit ini. 

Salah satu kegiatan penting yang dilakukan oleh PPTI Buleleng bersama Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat untuk memastikan setiap orang dengan TBC dapat terdiagnosa dan diobati adalah investigasi kontak. Kegiatan ini dilakukan oleh kader-kader yang dibekali pengetahuan dan keterampilan oleh PPTI Cabang Buleleng. Investigasi kontak merupakan upaya pelacakan dan skrining gejala aktif TBC pada orang-orang yang berhubungan atau melakukan kontak erat dengan pasien TBC. Individu yang merupakan kontak erat pasien TBC lebih rentan terinfeksi dan jatuh sakit sehingga upaya ini diperlukan untuk menemukan orang yang bergejala TBC agar dapat diperiksa dan diobati sedini mungkin. 

Luh Gorsini dan Sri Artati kader dari Puskesmas Banjar 1 merupakan kader TBC yang melakukan investigasi kontak. Hatinya tergerak untuk melakukan investigasi kontak setelah mengikuti pelatihan oleh PPTI dan melihat situasi pasien TBC di tengah masyarakat. Dalam melaksanakan perannya, mereka harus menempuh perjalanan kaki selama lebih dari 1 jam melewati perbukitan dan pedesaan untuk mencapai rumah pasien TBC yang berlokasi di pelosok desa kabupaten Buleleng. Perjuangan wanita 50-an tahun ini tidak tanpa hambatan, namun mereka berkata, “Kalau lihat reward sih nggak seberapa ya Mbak dibanding kerjaan kita nyamperin pasien yang rumahnya jauh-jauh. Yang penting niat kita dari hati, saya kalau lihat mereka itu sedih rasanya, kadang kan (masyarakat) yang memang di pelosok-pelosok ini jarang mendapat perhatian, jadi ya siapa lagi kalau bukan kita-kita ini,” ujar kader Luh Gorsini.

Saat diwawancarai oleh staf komunikasi PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Sri Artati juga menyampaikan keprihatinannya, “Masker pun pasien ada yang ambil dari bekas-bekas orang di jalan mbak, itu dia pakai, saya sampe sedih. Syukurnya saya bawa perbekalan masker, itu saya berikan ke mereka”. Mengingat bahwa ada sesama yang membutuhkan pendampingan dan kehadirannya menggerakkan semangat dua kader ini menekuni perannya sebagai kader TBC.

Luh Gorsini dan Sri Artati juga mengakui bahwa kunjungan ke rumah pasien TBC  gampang-gampang susah karena penolakan dari  pasien untuk kader melakukan pelacakan di sekitar tempat tinggalnya. Kebanyakan pasien TBC di daerah Pedawa Lambo di kabupaten Buleleng adalah pedagang kebutuhan pokok. Mereka enggan mendukung investigasi kontak karena tidak ingin status kesehatannya  diketahui oleh masyarakat sekitar karena kekhawatiran dagangannya yang tidak laku dan  kehilangan pendapatan . 

Terlebih di masa pandemi ini, masyarakat juga memiliki asumsi bahwa petugas kesehatan datang untuk melakukan pelacakan  Covid-19, sehingga, masyarakat menolak untuk ditemui. Kader pun sudah memberikan penjelasan terkait peran mereka sebagai kader TBC kepada masyarakat namun ada saja masyarakat yang tetap menolak pelaksanaan investigasi oleh kader. 

Luh Gorsini dan Sri Artati berharap kisahnya ini dapat memberikan motivasi untuk kader lainnya  dalam melakukan investigasi kontak. “Kader yang sudah mengikuti pelatihan harus bisa dan mau melakukan investigasi kontak karena sudah diberi kepercayaan  yang besar apalagi untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, jika bukan kita maka siapa lagi”, tutur Luh Gorsini. 

Sri Artati juga menambahkan bahwa investigasi kontak yang ia dan teman-teman kader lainnya lakukan adalah semata-mata untuk membantu mereka terhindar dari penyakit yang mematikan ini. Dengan kegiatan tersebut, mereka merasa senang bisa menambah wawasan serta berkenalan dekat dengan warga yang mereka temui. Kedepannya, Luh Gorsini dan Sri Artati ingin masyarakat dapat lebih sadar dan paham tentang bahaya TBC, serta, bagi pasien yang sedang melakukan pengobatan juga taat mematuhi jadwal pengobatan dengan baik.

 


Cerita ini dikembangkan dari SR Bali

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Kolaborasi Bersama Peduli Eliminasi TBC di Daerah Istimewa Yogyakarta

Tuberkulosis (TBC) adalah salah satu penyakit tertua di Indonesia. Penemuan relief orang dengan TBC di Candi Borobudur menandakan bahwa penyakit ini tersebar di wilayah sekitar candi, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 800-an Masehi. Menilik situasi TBC di DIY saat ini, dengan 9.074 kasus TBC yang muncul di tahun 2021, penyakit menular dan mematikan ini masih menjadi momok di tengah-tengah masyarakat. 

Belum tuntasnya pemberantasan Mycobacterium Tuberculosis hingga saat ini mengindikasikan situasi yang semakin menantang, khususnya bagi pasien TBC Resisten Obat (RO) yang kebal terhadap beberapa jenis obat anti TBC yang paling efektif. Pasien TBC RO mengalami proses pengobatan yang cukup berat selama 9-20 bulan dengan efek samping obat yang berat. Memperhatikan kondisi tersebut, Sub-Recipient (SR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI di DIY yang diprakarsai oleh Siklus Indonesia melakukan kolaborasi multi-pihak bersama Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah DIY, LazisMu DIY, serta Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Universitas Ahmad Dahlan.

Dalam program ini, Siklus Indonesia aktif dalam memberikan dukungan baik dalam bentuk fisik maupun moral melalui dukungan spiritual, transportasi berupa ambulan gratis, paket sembako, paket makan siang, dan masker untuk para pasien TBC RO. Selain itu, Siklus Indonesia juga memberikan dukungan kepada Manajer Kasus (MK) dan Pasien Supporter (PS) dengan menyediakan beberapa kebutuhan yang selama ini mereka belum memiliki seperti dukungan transport, serta dukungan perlindungan kesehatan berupa multivitamin dan biaya untuk BPJS Kesehatan. 

Dukungan tersebut berkat sinergi antara LazisMu dengan Siklus Indonesia dalam bentuk dukungan dana. Dana diserahterimakan oleh LazisMu melalui Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah DIY lalu diteruskan kepada Siklus Indonesia yang kemudian menyalurkan dana tersebut untuk dikelola langsung oleh MK. “Untuk BPJS Kesehatan dan tambahan transport PS serta MK, kami berikan dalam bentuk cash, multivitamin dibelikan oleh MK kemudian dibagi kepada tim PS dan sembako diserahkan langsung oleh LazisMu dalam bentuk sembako,” papar Rakhma selaku Koordinator Program & MEL Siklus Indonesia yang terlibat pada program tersebut.

Mufi, salah satu MK DIY juga menyampaikan rasa bahagianya atas bantuan dari Siklus Indonesia. Ia menyatakan, “Selama ini dari program Global Fund TBC Komunitas belum ada fasilitas untuk dukungan BPJS Kesehatan, nutrisi dan multivitamin, sehingga ketika MK dan tim pendampingan pasien TBC RO mendapatkan dukungan-dukungan tersebut, saya dan tim merasa senang dan merasa terbantu dengan kerjasama multipihak ini.”

Sinergi kerjasama multipihak pada program ini memberikan dampak yang sangat positif terhadap pasien TBC RO, MK dan PS terutama di wilayah DIY. Pasien TBC RO merasa sangat terbantu dengan dukungan ini, mengingat bahwa mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pokok selama pengobatan karena tidak lagi bekerja. Mereka juga merasa dipedulikan oleh banyak orang, sehingga semakin semangat dalam menjalani pengobatan. 

Semangat sinergi kerjasama multipihak ini diharapkan nantinya dapat dijadikan sebagai contoh untuk daerah lain dalam mendukung upaya eliminasi TBC 2030. Melihat manfaat dari upaya Siklus Indonesia bersama berbagai pihak, bentuk kerjasama tersebut dapat diberikan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh para pihak. Dukungan tidak harus berbentuk uang, namun sangat dapat dalam bentuk apapun, bahkan hanya sekedar waktu luang misalnya. Apapun bentuknya sangat bermanfaat selagi para pihak memiliki kemauan untuk berkontribusi. Bentuk kerjasama multipihak ini juga dapat meningkatkan efektivitas upaya untuk menyukseskan eliminasi TBC sekaligus mengatasi hambatan yang masih ada dalam penanggulangan TBC. 

 


Cerita ini disusun oleh : Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communication Staff)

Editor : Thea Yantra Hutanamon