Pelatihan Tuberkulosis bagi Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis di Komunitas

Dalam memerangi penyakit tuberkulosis (TBC), Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PB-STPI) bergerak bersama 14 organisasi masyarakat sipil serta 17 kelompok ranting perwakilan Konsorsium di tingkat nasional serta di 30 provinsi sebagai Sub-Recipient (SR) dan 138 Sub-Sub Recipient (SSR) di 190 kota/kabupaten. Dalam mendukung upaya penanggulangan TBC di 22 kota/kabupaten baru, yang belum pernah diintervensi oleh komunitas TBC, PR PB-STPI melaksanakan “Pelatihan Tuberkulosis bagi Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis di Komunitas”. Pertemuan diselenggarakan pada 26 September sampai dengan 1 Oktober 2021 di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Pelatihan dibuka oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) dr. Siti Nadia Tarmizi, MPH bersama Heny Prabaningrum, Direktur Program Nasional Konsorsium PB-STPI. Direktur P2PML menyampaikan kepada peserta, “Kita harus menemukan kasus TBC dan memberikan terapi pencegahan sebanyak-banyaknya untuk memutus mata rantai penularan.  Kita tidak bisa menunggu pandemi COVID-19 selesai. Komunitas perlu bersama tokoh agama & tokoh masyarakat mengatasi TBC sebagai upaya pemenuhan hak asasi manusia untuk mencapai eliminasi.”

Kegiatan diawali dengan dua Mata Pelatihan Dasar (MPD) yaitu ‘Kebijakan Program Penanggulangan Tuberkulosis’ yang disampaikan oleh Koordinator Substansi Tuberkulosis, dr. Tiffany Tiara Pakasi dan ‘Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK)’ oleh Sub Koordinator Puskesmas, dr. Wing Irawati, dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI).

Melanjutkan kedua MPD tersebut, Mata Pelatihan Inti (MPI) pertama tentang ‘Informasi Dasar Tuberkulosis’ disampaikan oleh dr. Sulistya Widada, Subkoordinator Tuberkulosis Sensitif Obat Kemkes RI. Peserta juga mengikuti enam MPI lain yang disampaikan fasilitator dari PR PB-STPI yang didampingi oleh Dr. drg. Siti Nur Anisah, MPH widyaiswara Kemkes RI sebagai berikut: a) ‘Eliminasi TBC Berbasis Hak Asasi Manusia’, b) ‘Eliminasi TBC Responsif Gender’, c) ‘Jejaring TBC di Komunitas’, d) ‘Perencanaan Program Eliminasi TBC Berbasis Komunitas’, e) ‘Monitoring dan Evaluasi Program Eliminasi TBC Berbasis Komunitas, f) ‘Sensitisasi Tuberkulosis di Masyarakat’.

 

 

Saat akhir pelatihan, PR PB-STPI memberikan apresiasi kepada beberapa peserta terbaik. Tim SR Bali mendapatkan apresiasi dengan skor test terbaik, SR Manager Sulawesi Barat mendapatkan apresiasi dengan penilaian teknik fasilitasi terbaik, dan SR Manager Jambi terpilih sebagai peserta yang paling aktif dan inspiratif selama sesi pelatihan.

Beberapa peserta menyampaikan kesan pesan saat penutupan kegiatan, “Senang ada banyak sekali materi yang didapatkan, dari pagi sampai malam”, ujar Damayanti, SR Manager Sulawesi Tengah. Wiwin dari Bali menambahkan, “Tetapi materi bisa dicerna dan dinikmati, fasilitatornya juga sangat menginspirasi”, ujar staf Program dan MEL dari SR Bali ini. Selain itu, SR Manager Sumatera Utara, Zubaidah menyampaikan, “Senang bisa berbagi pengalaman, berbagi ilmu, tanpa batasan-batasan umur. Kita bersama di sini dengan satu tujuan mengeliminasi TBC.”

Setelah mengikuti kegiatan ini, 15 SR akan melatih staf SSR dan koordinator kader di wilayah intervensi baru di provinsi Sumatera Utara, Bangka Belitung Jambi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Ada Untuk Membantu Sesama: Dari Penyintas Menjadi Pendamping Sebaya

Kota Pekanbaru adalah sentra ekonomi Provinsi Riau dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Di kota ini diperkirakan setiap tahunnya lebih dari 6.000 orang jatuh sakit akibat tuberkulosis (TBC). Kasus resistensi atau kekebalan terhadap antibiotik dalam pengobatan TBC juga cukup tinggi. Situasi ini menjadikan Kota Pekanbaru menjadi  wilayah prioritas penanggulangan TBC di Indonesia.

Ratih (bukan nama sebenarnya) saat ini menjalani pengobatan TBC Resisten Obat (TBC RO) di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru sejak Mei 2020. Ratih sempat putus berobat karena tidak tahan dengan efek samping obat anti TBC (OAT) yang harus ia telan setiap hari. Di usia 21 tahun, Dia harus berjuang melawan Mycobacterium Tuberculosis. Di saat yang sama Ratih mengalami beban ganda harus menghadapi masalah keluarga yang menyurutkan semangatnya menuntaskan pengobatan.

Eflin Vaulin Pakpahan, akrab dipanggil Eflin, adalah penyintas TBC yang dua tahun terakhir ini aktif sebagai patient supporter (PS) bagi pasien TBC RO di RSUD Arifin Achmad. Eflin merupakan Wakil di TUAH TB (Tunjukkan Aksi Hidup Tanpa Tuberkulosis), organisasi penyintas TBC di Provinsi Riau. Eflin dan TUAH TB bekerja sama dengan PKBI Riau selaku sub-recipient (SR) PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Eflin saat ini mendampingi 13 pasien TBC RO dimana Ratih adalah satu pasien yang ia perhatikan secara khusus. Ia mengkhawatirkan Ratih yang pernah putus berobat memiliki resiko memburuk menjadi Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR TB). Kekhawatiran ini muncul karena hingga saat ini, belum tersedia pengobatan XDR TB di Riau.

Di awal pendampingan, Ratih sangat tertutup tentang kondisinya. Eflin menduga Ratih tidak mengonsumsi obat secara rutin karena merasa tidak ada perubahan fisik penanda kesembuhan. “Pada pasien yang rajin minum obat, saya selalu melihat adanya perubahan warna kulit menjadi lebih gelap dan badannya menjadi lebih segar, tetapi saya tidak melihat ini padanya”, ucap Eflin saat diwawancarai oleh Permata dari PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI.

Perlahan, Eflin mencoba mendekati Ratih melalui kunjungan rumah. Hal yang tidak mudah untuk membuat Ratih semakin terbuka. Pelan-pelan Ratih mulai mau bercerita dan mengkomunikasikan dukungan yang ia butuhkan. Eflin berupaya menjadi pendengar atas segala keluh kesah Ratih. Sebagai patient supporter, Eflin juga mengedukasi keluarga pasien agar memahami kondisi yang dialami oleh pasien TBC RO. Kepedulian Eflin dan pendekatan khusus yang ia berikan berhasil membawa Ratih kembali berobat. Karena sempat putus berobat, Ratih terpaksa menjalani 12 bulan pengobatan dari sebelumnya 9 bulan.

Sebagai penyintas, Eflin merasakan beratnya proses pengobatan TBC RO. Terlebih di Riau yang infrastruktur kesehatannya belum lengkap. Eflin harus tinggal sendiri saat menjalani pengobatan karena suaminya bekerja di luar kota. Eflin mengaku, 3 minggu sebelum selesai pengobatan, ia nyaris putus berobat karena merasa kondisi kesehatannya menjadi beban untuk keluarganya. Eflin putus asa. Beruntung, ada dukungan dari keluarga sehingga Ia berhasil menyelesaikan pengobatan TBC RO yang ditempuhnya selama sekitar 2 tahun.

Pengalaman hidupnya sembuh dari TBC RO memotivasi Eflin untuk menjadi PS. Ia berkomitmen untuk membantu menguatkan teman sebaya di daerahnya. “Simpel aja sih, yang pasti karena saya sudah merasakan bagaimana perjuangan pengobatan seperti apa. Saya ingin berbagi pengalaman agar pasien bisa terus berjuang dan melihat ada hasil nyata, dan juga karena saya mau mata rantai TBC RO bisa terputus”, ujar Eflin.

“Salah satu kunci utama kesembuhan pasien TBC RO bukan hanya obat yang dikonsumsi tetapi rasa perhatian dan dukungan dari keluarga serta orang terdekat pasien TBC RO”, imbuhnya. Oleh karena itu, Eflin secara pribadi maupun bersama manajer kasus dan petugas puskesmas, sering melakukan penggalangan bantuan untuk pasien TBC RO dalam bentuk uang, suplemen maupun perihal kebutuhan sehari-hari. Eflin berharap keterlibatannya sebagai PS serta pengalamannya sebagai penyintas TBC RO dapat memotivasi pasien TBC RO lainnya untuk tidak putus berobat. Eflin percaya bahwa memastikan pasien TBC yang mangkir berobat agar kembali menuntaskan pengobatannya adalah upaya penting untuk mencapai Eliminasi TBC di Indonesia.

 

Modifikasi Cerita Kisah Sukses SR Riau (PKBI Riau) dari Laporan Semester 1, 15 Juli 2021

Judul asli: Melestarikan Hidup Dengan Memastikan Pasien Mangkir Berobat Kembali

 


Penyunting : Permata Imani Ima Silitonga
Editor: Thea Yantra Hutanamon & Dwi Aris Subakti

Peraturan Presiden No.67/Tahun 2021: Tuberkulosis Bukan Hanya Persoalan Medis

Seorang pasien tuberkulosis (TBC) resisten obat (RO) memulai pengobatan di sebuah Rumah Sakit yang berjarak sekitar empat jam dari tempatnya tinggal. Namun, setelah beberapa bulan pengobatan, ia tidak kembali memeriksakan diri ke Rumah Sakit. Setelah mengalami pemutusan hubungan kerja, pasien hidup sebatang kara—karena ditinggal istri dan anak-anaknya. Ia tinggal di rumah dengan kondisi yang hampir roboh di sebuah desa dimana rata-rata penduduknya berpendapatan rendah. Rasa malu dan dan keengganannya ‘merepotkan’ orang lain. Minatnya tetap surut meskipun ada tawaran rumah singgah—dari patient supporter (PS)—yang berdekatan dengan Rumah Sakit dimana ia memulai pengobatan.

Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan relawan kesehatan masyarakat seperti patient supporter dan manajer kasus di kabupaten terdekat berpendapat ada beberapa hambatan bagi pasien tersebut dalam menyelesaikan pengobatan. Beberapa hambatan tersebut adalah kurangnya dukungan keluarga, jarak yang jauh, dan lemahnya kemampuan ekonomi karena berkurangnya pendapatan. Dukungan positif dari keluarga, jaminan pekerjaan, penyediaan rumah singgah, pembiayaan transportasi berobat, mengatasi stigma diri, dan renovasi rumah menjadi tindakan yang melampaui sebuah intervensi medis dan kesehatan masyarakat.

Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana faktor-faktor psikologis, sosial, dan ekonomi turut memperburuk penyebaran dan kekebalan Mycobacterium Tuberculosis terhadap obat di Indonesia. Pada 19 Agustus 2021, Pemerintah Indonesia meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis (Perpres No. 67/2021) untuk menjawab tantangan multi-dimensi dalam mengatasi permasalahan tuberculosis. Kebijakan ini membuktikan keseriusan Pemerintah Indonesia mencapai salah Tujuan Ke-3 Pembangunan Berkelanjutan 2030 yaitu Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan khususnya dalam Eliminasi TBC. Hal ini  menjadi perwujudan nyata dari ratifikasi Political Declaration on the Fight Against Tuberculosis pada Sidang Umum PBB 2018.

Perpres No.67/2021 yang digagas oleh Kementerian Kesehatan melalui dorongan dari organisasi masyarakat sipil ini terdiri dari 9 bab dan 33 pasal dan menjadi landasan kuat untuk kolaborasi multi-pihak serta lintas sektor. Regulasi ini mengatur pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan TBC, yang terdiri dari 18 Kementerian/Lembaga—terdiri dari sektor ekonomi, sosial, infrastruktur dan kesehatan—yang dibentuk untuk menurunkan angka kejadian TBC menjadi 65 per 100.000 penduduk dan angka kematian menjadi 6 per 100.000 penduduk pada 2030.

Pembentukan tim yang serupa juga diatur di tingkat Provinsi yang akan ditetapkan gubernur dan di tingkat Kota/Kabupaten yang akan ditetapkan wali kota/bupati yang perlu didukung RPJMD, RKPD, dan RENSTRA perangkat daerah. Tim di tingkat Pusat maupun Daerah memiliki tugas mengoordinasikan, mensinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan percepatan Eliminasi TBC secara efektif, menyeluruh, dan terintegrasi dengan rencana kerja tahunan yang dipantau dan dievaluasi secara berkala.

Dalam mengatasi dampak TBC pada ekonomi rumah tangga terdampak, Perpres No. 67/2021 pasal 12 menguraikan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan jaminan kesehatan dan perlindungan sosial bagi pasien dan masyarakat terdampak TBC. Hal ini dibutuhkan untuk tersedianya pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) dan dukungan psiko-sosio-ekonomi pada pasien TBC yang berkebutuhan khusus melalui Sanatorium[1] oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial yang ditargetkan pada tahun 2022.

Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diberi mandat untuk menyediakan kebijakan dan intervensi guna meningkatkan kualitas rumah pasien, perumahan, dan permukiman sebagai upaya pengendalian faktor risiko.

Butir-butir dalam Perpres juga mengatur upaya untuk mengatasi stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh pasien TBC. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diberi mandat untuk melakukan harmonisasi kebijakan pengurangan stigma dan diskriminasi terkait penyakit ini pada populasi risiko tinggi TBC dan populasi rentan pada tahun 2022 bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Kesehatan.

Untuk mengatasi stigma akibat kurangnya informasi, Kementerian Komunikasi dan Informasi bersama Kementerian Kesehatan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan kampanye dan upaya perubahan perilaku untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan akses masyarakat terdampak TBC ke pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Masyarakat memiliki andil besar dalam mendorong kolaborasi lintas sektor pada tingkat pusat hingga daerah guna memastikan pasien mendapatkan dukungan psiko-sosio-ekonomi, dan mengurangi stigma dan diskriminasi. Perpres ini memberikan landasan hukum untuk peran serta masyarakat menanggulangi TBC melalui upaya promosi, penemuan kasus, pendampingan pasien, memberikan masukan terhadap kebijakan, dan memitigasi dampak psikososial dan ekonomi pasien TBC RO. Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama seluruh mitra di provinsi dan daerah—sebagai komponen masyarakat—diharapkan dapat berperan aktif melaksanakan Perpres No. 67/2021.

 

[1] Sanatorium merupakan fasilitas untuk program layanan kuratif dan rehabilitatif medis dan sosial dalam jangka waktu tertentu yang dilaksanakan secara komprehensif bagi pasien TBC yang memenuhi kriteria (a. tidak memiliki tempat tinggal tetap; b. tinggal dengan kelompok populasi berisiko dan tindakan pencegahan transmisi tidak bisa diselenggarakan; c. tidak memiliki keluarga dan memerlukan pendampingan khusus; d. memerlukan pemantauan khusus karena terjadinya efek samping atau adanya penyakit penyerta; e. memiliki riwayat mangkir atau putus berobat secara berulang; dan/atau f. kondisi kronis yang gagal diobati dengan pengobatan paling terkini yang tersedia).

 


Penyunting: Thea Hutanamon
Editor: Dwi Aris Subakti

Kisah Siti Ichsaniah, Kader Inspiratif Yamali TB Sulsel

 

Bagi Sitti Ichsaniah, 48 tahun, memberantas tuberkulosis di Rappokalling adalah cita-citanya. Gerakannya gesit, tapi tuturnya kata lembut, ibu yang tampak jauh lebih muda dari usianya ini seakan tak habis tenaga untuk menemukan suspek di lorong-lorong Rappokalling kota Makassar. Tahun 2021 ini, Sitti Ichsaniah telah merujuk 85 orang terduga dari penyakit nomor ketiga paling mematikan di dunia, setelah penyakit jantung dan pernafasan akut itu.

Ia resmi menjadi kader TBC sejak ikut training TB melalui Community TB Care Aisyiyah pada awal tahun 2014. Dari situ ia memulai mendekati warga melalui ruang-ruang sosial, seperti pengajian, arisan dan penyuluhan. Kegigihannya selama bertahun-tahun sejak saat setelah dilatih, membuat Sitti semakin dikenal masyarakat, yang awalnya dicibir, perlahan tapi pasti ia mampu membalikkan persepsi masyarakat, dirinya pun semakin dekat dengan warga. Setiap ada kegiatan masyarakat, ia selalu gandengkan dengan penyuluhan TBC.  

Mengabdikan diri untuk upaya penanggulangan TBC bagi Sitti adalah sesuatu yang jauh dari benak dan jangkauan pikirannya sebelumnya. Ia tergerak menjadi kader TBC setelah suaminya dinyatakan terdiagnosa TBC. Saat itu ia ikut dilatih sebagai pengawas menelan obat (PMO) bagi suami untuk membantu perawatannya hingga sembuh, dan kemudian beberapa bulan berikutnya dirinya pun menyatakan keinginan menjadi kader untuk membantu masyarakat secara lebih luas.

“Sejak saat suamiku dibilang TBC, saya berusaha agar bagaimana caranya ia bisa sembuh dan alhamdulillah 6 bulan ia sudah sembuh betulan berkat pengobatan yang tertib dari puskesmas dan bantuan kader TBC. Dari situ saya bilang, mau juga jadi kader untuk bantu orang lain yang kena TBC, sampai situ saya ikuti pelatihan,” ujar Ibu yang baru-baru ini meraih penghargaan sebagai kader TBC Komunitas inspiratif tingkat Nasional.

 

“Dalam menjalankan tugas sebagai kader TBC, saya biasa diolok-olok oleh warga sebagai kader pengumpul karra’ (dahak). Pada kesempatan lain saya bahkan pernah diancam parang oleh seorang warga saat hendak melakukan penyuluhan, saya dituding menyebarkan penyakit.”

 

Sepanjang semester 1 tahun 2021 ini, Sitti Ichsaniah telah berhasil melakukan 54 kegiatan investigasi kontak, dan menemukan 85 suspek, dan 37 kasus ternotifikasi. Sitti seakan tak pernah berjeda melakukan kegiatan sebagai kader. Selain IK, ia juga aktif melakukan penyuluhan dan membantu petugas TB Puskesmas dalam menelusuri lorong RW 1, 7, dan 8, Rappokalling sekedar mengecek kondisi terbaru pasien. Sitti juga proaktif dalam menerima laporan warga saat ada warga lainnya yang bergejala TBC, ia akan menyisir pemukiman berdasar dari laporan tersebut. Pernah dalam seminggu, sehari Sitti mendapatkan enam suspek sekaligus untuk dirujuk. “Yang kewalahan menangani suspek justru petugas kesehatan (Puskesmas Rappokalling),” celotehnya.

Dalam melakukan kegiatan penemuan kasus, banyak suka duka yang ia peroleh. Pernah suatu ketika ia mendatangi rumah bapak tua yang sering batuk-batuk. Lama ia berdiri di depan pintu rumah, tapi tak seperti tak terdengar. Ternyata bapak itu seorang tunarungu, sehingga ia kesulitan cara untuk menyampaikan informasi. “Kita menyuruhnya untuk mengeluarkan dahaknya esok pagi, ia malah mengeluarkan dahak saat itu juga,” katanya sembari tertawa.   

Ada juga seorang Bapak warga lain. Ia sangat rewel dan egois. Sitti sering katakan bahwa peralatan makan harus dipisah, karena nanti tertular sama anak dan cucu, tapi ia selalu protes. Kemudian, anaknya kita edukasi untuk menjaga rutinitas pengobatan bapaknya. Sekarang si Bapak dipisah di bawah kolong rumah, pengobatan pun mulai lancar setelah sempat terputus. “Banyak karakter yang kita dapatkan dari para penderita, ada yang suka marah-marah, ada yang pendiam, ada juga yang cepat akrab,” ungkap wanita kelahiran Makassar ini.

 

 

Sejauh ini, ada enam 37 pasien yang Sitti pantau proses penyembuhannya. Sudah empat orang yang sembuh, satu orang pengobatannya terputus lantaran keluar daerah, tapi sekarang memulai pengobatan lagi. “Penderita ini kebanyakan adalah perokok aktif, suka minuman keras, selain itu kebanyakan mereka orang miskin dan tinggal di pemukiman padat penduduk,” lanjutnya.

Tentang pekerjaannya ini, Sitti mengaku mendapatkan support penuh dari keluarga, khususnya anak-anaknya. Dukungan keluarga menjadi pelecut tambahan baginya. Hanya saja, ia juga selalu diingatkan agar harus hati-hati dalam menjalankan tugasnya apalagi di era pandemik Covid-19, seperti jika melakukan kontak dengan penderita, ia harus menjaga jarak dan harus di luar rumah agar terkena sirkulasi udara lancar. Dahak-dahak yang dikumpulkan saat kunjungan lapangan pun tak boleh ia simpan di dalam rumah, tapi harus di berada luar. “Sebagai orang kecil, cuma ini yang bisa saya lakukan buat orang banyak, saya ingin terus berbuat baik,”  tuturnya.

 


Tulisan oleh Kasri Riswadi, Koordinator Program SR Sulawesi Selatan
Sumber foto: Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis Sulawesi Selatan (YAMALI TB)

Kader Lawan Tuberkulosis di Masyarakat

Indonesia adalah negara dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat sekitar 283 ribu orang dengan TBC yang belum terdeteksi, pada tahun 2019. Dalam memerangi TBC, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri, keterlibatan masyarakat menjadi penting dalam menopang program penanggulangan untuk eliminasi TBC tahun 2030 di Indonesia.

Kader adalah peran nyata masyarakat membantu pemerintah menangani isu kesehatan, termasuk TBC. Sebagai bagian dari masyarakat yang terlatih dan bekerja secara sukarela,  kader merupakan ujung tombak dan kunci dalam penanggulangan TBC.  Dalam menjalankan perannya, kader saat ini didukung oleh Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI untuk melakukan penyuluhan dan investigasi kontak. Pada kegiatan penyuluhan di masyarakat, kader secara aktif mengumpulkan anggota masyarakat untuk melakukan edukasi TBC dan pola hidup sehat, deteksi dini gejala aktif TBC, serta merujuk orang yang bergejala ke Puskemas. Selain itu, terdapat banyak kader yang berinisiatif melalukan penyuluhan perorangan di masyarakat seperti tukang sayur dan asongan keliling.

Disamping penyuluhan, kader bersinergi dengan Puskesmas melakukan investigasi kontak. Berdasarkan data dari Puskesmas, kader menjangkau dan mengunjungi orang yang memiliki kontak erat dengan pasien TBC yang terkonfirmasi bakteriologis. Saat kunjungan, kader memberikan edukasi serta rujukan bila kontak memiliki gejala TBC.

Sebagai rangkaian dari kegiatan investigasi kontak dan pendampingan pasien, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI juga mendukung kader memberikan edukasi dan rujukan untuk inisiasi terapi pencegahan TBC (TPT) pada anak dengan usia kurang dari lima tahun. Sehingga, selain meningkatkan penemuan kasus TBC, kader juga mendukung pencegahan TBC pada anak di bawah usia lima tahun, yang merupakan salah satu kelompok rentan TBC.

Beragam peristiwa dialami kader dalam memutus mata rantai penularan TBC di masyarakat. Kader Siti dari Sulawesi Selatan menceritakan pengalaman mengancam ketika ia dikejar oleh anggota masyarakat menggunakan parang karena dianggap petugas COVID-19. Ibu Kamisah dari Lampung menceritakan ia membonceng pasien TBC dalam kondisi lemah dengan sepeda motor ke layanan puskesmas untuk mendapatkan penanganan segera. Terdapat pula kader yang akhirnya bergaul akrab dengan preman yang ia dampingi minum obat sampai sembuh. Kader-kader ini menyampaikan bahwa jerih payah mereka terbayarkan dengan rasa puas dan bahagia mereka ketika pasien-pasien yang didampingi sembuh.

Untuk mengapresiasi dedikasi dan komitmen kader TBC dalam upaya eliminasi TBC 2030 di Indonesia, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI pada Kegiatan Puncak Peringatan Hari TBC Sedunia,  tanggal 29 Juni 2021 memberikan penghargaan kepada 10 kader terbaik dan terinspiratif dari 30 Provinsi wilayah Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI di Indonesia, yaitu : Kamisah dari Kota Bandar Lampung, Siti Ichsania dari Makasar, Sri Rahayu dari Brebes, Anis Sri Harijati dari Kota Surabaya, Saira Salam dari Kendari, Rochmadi dari Kota Jogja, Suharti dari Kota Samrinda, Ramil Isdak Tomasui dari Kota Kupang, Syaihatni dari Medan, dan Sri Artati dari Buleleng.

Simpul Kolaborasi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Eliminasi TBC di Indonesia

Setiap menit 96 orang di Indonesia jatuh sakit dengan Tuberkulosis (TBC) – termasuk TBC resisten obat, TBC anak, dan TB-HIV (WHO, Global TB Report, 2020). Jumlah ini melebihi kuota satu gerbang kereta rel listrik. Hal ini sangat memprihatikan karena permasalahan kesehatan di negara yang memiliki latar belakang perekenomian yang serupa dengan Indonesia – kini telah didominasi dengan penyakit tidak menular; sementara TBC tetap menjadi satu-satunya penyakit menular yang menempati urutan ke-5 penyakit yang paling mematikan di Indonesia.

Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi negara kedua setelah india dengan  kasus TBC terbesar di dunia.Negara memiliki tugas untuk memastikan masyarakat yang terdampak TBC dapat mengakses perawatan kesehatan yang berkulitas secara tepat waktu dan terjangkau. Selanjutnya, dibutuhkan partisipasi yang kuat dari banyak para aktor non-pemerintah untuk turut serta mengatasi tantangan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Menilik kesempatan dan kemampuan yang ada, maka dua organisasi berbasis masyarakat – Yayasan Penabulu dan Yayasan Kemitraan Strategis Tuberkulosis Indonesia (Stop TB Partnership Indonesia/STPI) bersatu dan membentuk sebuah kemitraan yang kuat dengan tujuan membantu pemerintah dalam pengendalian TBC di Indonesia.  Kemitraan yang dibangun ini memiliki prinsip untuk mengutamakan pelibatan organisasi masyarakat sipil (OMS) serta komunitas dalam pembangunan. Latar belakang dan pengalaman yang berbeda tidak mengurungkan niat kolaborasi dalam menjalankan visi-misi kedua lembaga ini untuk Indonesia, khususnya pada sektor kesehatan .

Dalam skema kemitraan untuk program Eliminating TB in Indonesia yang didukung oleh Global Fund to Fight Against HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria untuk 2021-2023, kedua lembaga ini adalah mitra setara yang saling melengkapi dengan kelebihannya masing-masing. Melalui Konsorsium Komunitas, Penabulu-STPI menggalang sumber daya guna mendukung organisasi masyarakat sipil dan komunitas membantu masyarakat terdampak TBC mengakses pencegahan, diagnosis, dan pengobatan sampai sembuh.

Bersama-sama, Penabulu-STPI memposisikan diri sebagai sebuah simpul jaringan di antara konstelasi para penggiat TBC. Kolaborasi yang unik ini berfokus pada satu tujuan program yaitu Eliminasi TBC. Selain itu, bentuk Konsorsium Komunitas yang dipilih juga menuntut kedua Lembaga ini untuk membangun kapasitas OMS dan komunitas lainnya dalam jaringan.

Konsorsium Komunitas, yang dibentuk Penabulu-STPI, berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan TBC dan TB-HIV berbasis komunitas dan berpusat pada pasien guna meningkatkan notifikasi dan keberhasilan pengobatan. Selain itu, Konsorsium Komunitas mendorong peran OMS dan komunitas, khususnya yang terdampak TBC, dalam mempengaruhi Pemerintah untuk mengeliminasi TBC melalui pendekatan multisektor dan berpusat pada masyarakat. Dan, sebagai pendukung jaringan OMS dan komunitas penggiat TBC, Penabulu-STPI mengupayakan peningkatan kapasitas OMS dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi upaya pencegahan dan pengendalian TBC secara berkesinambungan.

Konsorsium Komunitas terdiri dari 14 organisasi masyarakat sipil serta 17 kelompok ranting perwakilan Konsorsium di tingkat nasional serta di 30 provinsi sebagai Sub-Recipient dan 138 Sub-Sub Recipient yang berkegiatan di 190 kota/kabupaten. Dalam pelaksanaan program, Penabulu-STPI mendukung OMS dan komunitas tidak hanya untuk menyesuaikan intervensi dengan kerangka strategi yang dirancang tetapi juga untuk mengadopsinya dalam konteks lokal serta kebutuhan masyarakat di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, kolaborasi melalui bentuk Konsorsium ini  diharapkan dapat memunculkan pembelajaran dan praktik baik serta pola pemikiran baru dari para pelaksana program di daerah.