Skip to content

Kisah Siti Ichsaniah, Kader Inspiratif Yamali TB Sulsel

WhatsApp Image 2021-08-27 at 12.54.06

 

Bagi Sitti Ichsaniah, 48 tahun, memberantas tuberkulosis di Rappokalling adalah cita-citanya. Gerakannya gesit, tapi tuturnya kata lembut, ibu yang tampak jauh lebih muda dari usianya ini seakan tak habis tenaga untuk menemukan suspek di lorong-lorong Rappokalling kota Makassar. Tahun 2021 ini, Sitti Ichsaniah telah merujuk 85 orang terduga dari penyakit nomor ketiga paling mematikan di dunia, setelah penyakit jantung dan pernafasan akut itu.

Ia resmi menjadi kader TBC sejak ikut training TB melalui Community TB Care Aisyiyah pada awal tahun 2014. Dari situ ia memulai mendekati warga melalui ruang-ruang sosial, seperti pengajian, arisan dan penyuluhan. Kegigihannya selama bertahun-tahun sejak saat setelah dilatih, membuat Sitti semakin dikenal masyarakat, yang awalnya dicibir, perlahan tapi pasti ia mampu membalikkan persepsi masyarakat, dirinya pun semakin dekat dengan warga. Setiap ada kegiatan masyarakat, ia selalu gandengkan dengan penyuluhan TBC.  

Mengabdikan diri untuk upaya penanggulangan TBC bagi Sitti adalah sesuatu yang jauh dari benak dan jangkauan pikirannya sebelumnya. Ia tergerak menjadi kader TBC setelah suaminya dinyatakan terdiagnosa TBC. Saat itu ia ikut dilatih sebagai pengawas menelan obat (PMO) bagi suami untuk membantu perawatannya hingga sembuh, dan kemudian beberapa bulan berikutnya dirinya pun menyatakan keinginan menjadi kader untuk membantu masyarakat secara lebih luas.

“Sejak saat suamiku dibilang TBC, saya berusaha agar bagaimana caranya ia bisa sembuh dan alhamdulillah 6 bulan ia sudah sembuh betulan berkat pengobatan yang tertib dari puskesmas dan bantuan kader TBC. Dari situ saya bilang, mau juga jadi kader untuk bantu orang lain yang kena TBC, sampai situ saya ikuti pelatihan,” ujar Ibu yang baru-baru ini meraih penghargaan sebagai kader TBC Komunitas inspiratif tingkat Nasional.

 

“Dalam menjalankan tugas sebagai kader TBC, saya biasa diolok-olok oleh warga sebagai kader pengumpul karra’ (dahak). Pada kesempatan lain saya bahkan pernah diancam parang oleh seorang warga saat hendak melakukan penyuluhan, saya dituding menyebarkan penyakit.”

 

Sepanjang semester 1 tahun 2021 ini, Sitti Ichsaniah telah berhasil melakukan 54 kegiatan investigasi kontak, dan menemukan 85 suspek, dan 37 kasus ternotifikasi. Sitti seakan tak pernah berjeda melakukan kegiatan sebagai kader. Selain IK, ia juga aktif melakukan penyuluhan dan membantu petugas TB Puskesmas dalam menelusuri lorong RW 1, 7, dan 8, Rappokalling sekedar mengecek kondisi terbaru pasien. Sitti juga proaktif dalam menerima laporan warga saat ada warga lainnya yang bergejala TBC, ia akan menyisir pemukiman berdasar dari laporan tersebut. Pernah dalam seminggu, sehari Sitti mendapatkan enam suspek sekaligus untuk dirujuk. “Yang kewalahan menangani suspek justru petugas kesehatan (Puskesmas Rappokalling),” celotehnya.

Dalam melakukan kegiatan penemuan kasus, banyak suka duka yang ia peroleh. Pernah suatu ketika ia mendatangi rumah bapak tua yang sering batuk-batuk. Lama ia berdiri di depan pintu rumah, tapi tak seperti tak terdengar. Ternyata bapak itu seorang tunarungu, sehingga ia kesulitan cara untuk menyampaikan informasi. “Kita menyuruhnya untuk mengeluarkan dahaknya esok pagi, ia malah mengeluarkan dahak saat itu juga,” katanya sembari tertawa.   

Ada juga seorang Bapak warga lain. Ia sangat rewel dan egois. Sitti sering katakan bahwa peralatan makan harus dipisah, karena nanti tertular sama anak dan cucu, tapi ia selalu protes. Kemudian, anaknya kita edukasi untuk menjaga rutinitas pengobatan bapaknya. Sekarang si Bapak dipisah di bawah kolong rumah, pengobatan pun mulai lancar setelah sempat terputus. “Banyak karakter yang kita dapatkan dari para penderita, ada yang suka marah-marah, ada yang pendiam, ada juga yang cepat akrab,” ungkap wanita kelahiran Makassar ini.

 

 

Sejauh ini, ada enam 37 pasien yang Sitti pantau proses penyembuhannya. Sudah empat orang yang sembuh, satu orang pengobatannya terputus lantaran keluar daerah, tapi sekarang memulai pengobatan lagi. “Penderita ini kebanyakan adalah perokok aktif, suka minuman keras, selain itu kebanyakan mereka orang miskin dan tinggal di pemukiman padat penduduk,” lanjutnya.

Tentang pekerjaannya ini, Sitti mengaku mendapatkan support penuh dari keluarga, khususnya anak-anaknya. Dukungan keluarga menjadi pelecut tambahan baginya. Hanya saja, ia juga selalu diingatkan agar harus hati-hati dalam menjalankan tugasnya apalagi di era pandemik Covid-19, seperti jika melakukan kontak dengan penderita, ia harus menjaga jarak dan harus di luar rumah agar terkena sirkulasi udara lancar. Dahak-dahak yang dikumpulkan saat kunjungan lapangan pun tak boleh ia simpan di dalam rumah, tapi harus di berada luar. “Sebagai orang kecil, cuma ini yang bisa saya lakukan buat orang banyak, saya ingin terus berbuat baik,”  tuturnya.

 


Tulisan oleh Kasri Riswadi, Koordinator Program SR Sulawesi Selatan
Sumber foto: Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis Sulawesi Selatan (YAMALI TB)

Bagikan Artikel

Cermati Juga