Setiap menit 96 orang di Indonesia jatuh sakit dengan Tuberkulosis (TBC) – termasuk TBC resisten obat, TBC anak, dan TB-HIV (WHO, Global TB Report, 2020). Jumlah ini melebihi kuota satu gerbang kereta rel listrik. Hal ini sangat memprihatikan karena permasalahan kesehatan di negara yang memiliki latar belakang perekenomian yang serupa dengan Indonesia – kini telah didominasi dengan penyakit tidak menular; sementara TBC tetap menjadi satu-satunya penyakit menular yang menempati urutan ke-5 penyakit yang paling mematikan di Indonesia.
Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi negara kedua setelah india dengan kasus TBC terbesar di dunia.Negara memiliki tugas untuk memastikan masyarakat yang terdampak TBC dapat mengakses perawatan kesehatan yang berkulitas secara tepat waktu dan terjangkau. Selanjutnya, dibutuhkan partisipasi yang kuat dari banyak para aktor non-pemerintah untuk turut serta mengatasi tantangan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Menilik kesempatan dan kemampuan yang ada, maka dua organisasi berbasis masyarakat – Yayasan Penabulu dan Yayasan Kemitraan Strategis Tuberkulosis Indonesia (Stop TB Partnership Indonesia/STPI) bersatu dan membentuk sebuah kemitraan yang kuat dengan tujuan membantu pemerintah dalam pengendalian TBC di Indonesia. Kemitraan yang dibangun ini memiliki prinsip untuk mengutamakan pelibatan organisasi masyarakat sipil (OMS) serta komunitas dalam pembangunan. Latar belakang dan pengalaman yang berbeda tidak mengurungkan niat kolaborasi dalam menjalankan visi-misi kedua lembaga ini untuk Indonesia, khususnya pada sektor kesehatan .
Dalam skema kemitraan untuk program Eliminating TB in Indonesia yang didukung oleh Global Fund to Fight Against HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria untuk 2021-2023, kedua lembaga ini adalah mitra setara yang saling melengkapi dengan kelebihannya masing-masing. Melalui Konsorsium Komunitas, Penabulu-STPI menggalang sumber daya guna mendukung organisasi masyarakat sipil dan komunitas membantu masyarakat terdampak TBC mengakses pencegahan, diagnosis, dan pengobatan sampai sembuh.
Bersama-sama, Penabulu-STPI memposisikan diri sebagai sebuah simpul jaringan di antara konstelasi para penggiat TBC. Kolaborasi yang unik ini berfokus pada satu tujuan program yaitu Eliminasi TBC. Selain itu, bentuk Konsorsium Komunitas yang dipilih juga menuntut kedua Lembaga ini untuk membangun kapasitas OMS dan komunitas lainnya dalam jaringan.
Konsorsium Komunitas, yang dibentuk Penabulu-STPI, berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan TBC dan TB-HIV berbasis komunitas dan berpusat pada pasien guna meningkatkan notifikasi dan keberhasilan pengobatan. Selain itu, Konsorsium Komunitas mendorong peran OMS dan komunitas, khususnya yang terdampak TBC, dalam mempengaruhi Pemerintah untuk mengeliminasi TBC melalui pendekatan multisektor dan berpusat pada masyarakat. Dan, sebagai pendukung jaringan OMS dan komunitas penggiat TBC, Penabulu-STPI mengupayakan peningkatan kapasitas OMS dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi upaya pencegahan dan pengendalian TBC secara berkesinambungan.
Konsorsium Komunitas terdiri dari 14 organisasi masyarakat sipil serta 17 kelompok ranting perwakilan Konsorsium di tingkat nasional serta di 30 provinsi sebagai Sub-Recipient dan 138 Sub-Sub Recipient yang berkegiatan di 190 kota/kabupaten. Dalam pelaksanaan program, Penabulu-STPI mendukung OMS dan komunitas tidak hanya untuk menyesuaikan intervensi dengan kerangka strategi yang dirancang tetapi juga untuk mengadopsinya dalam konteks lokal serta kebutuhan masyarakat di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, kolaborasi melalui bentuk Konsorsium ini diharapkan dapat memunculkan pembelajaran dan praktik baik serta pola pemikiran baru dari para pelaksana program di daerah.