Dukungan Kader bagi Program TBC di Puskesmas Sembawa Saat Masa Pandemi COVID-19

Di masa pandemi COVID-19, semua orang harus cepat melakukan adaptasi dengan kondisi yang tidak menentu ini. Berbagai perubahan – perubahan turut menuntut penyesuaian-penyesuaian yang tidak hanya terjadi pada aspek kesehatan namun juga berimbas pada sosial, ekonomi juga perencanaan pembangunan yang berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.

Dalam bidang kesehatan, beban para tenaga kesehatan pun menjadi semakin bertambah dengan adanya pandemi COVID-19 ini. Adanya risiko-risiko seperti tertular penyakit, kelelahan dalam merawat pasien serta timbulnya stigma negatif sangat berpotensi mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas pelayanan medis tenaga kesehatan. Selain itu, petugas disibukan dengan kegiatan vaksinasi COVID-19 di lapangan. Keterbatasan tenaga khususnya tenaga labor di Puskesmas mengakibatkan terhambatnya proses pemeriksaan TBC di Puskesmas.   Oleh karena itu, Puskesmas Sembawa, khususnya petugas labor, memberikan pelatihan pembuatan slide sputum TBC  yang dilakukan sejak bulan September 2021. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses pemeriksaan di Puskesmas Sembawa, sehingga, sampel dahak dapat segera diperiksa dan tidak melebihi batas waktu ideal pemeriksaan 

Staff PMEL SR Sumatera Selatan menjelaskan proses implementasi kegiatan slide sputum TBC: 

“Iya untuk prosesnya, sampel dahak yang dibawa kader, kompor spiritus, kaca preparat, ose atau tusuk sate, masker, dan OPD yang telah dipersiapkan, merupakan beberapa peralatan yang digunakan untuk memulai fiksasi. Pada Kaca Preparat diberi nomor identitas slide sesuai dengan keterangan yang tertulis di Pot Dahak. Pot dahak dibuka dan sampel dahak diambil dengan menggunakan ose/tusuk sate dipindahkan di kaca preparat. Sampel dahak yang dibentuk di kaca preparat dibuat membentuk oval berukuran kurang lebih 2 x 3 CM. Kemudian sejenak didiamkan mengering di udara terbuka. Setelah kering, sediaan dahak tersebut difiksasi dengan cara melewatkan diatas nyala api sebanyak 2-3 kali. Setelah selesai, sediaan disimpan di dalam kotak slide.”

Pelaksanaan kegiatan ini terbilang cukup efektif karena selain menambah keterampilan kader, hal ini juga dinilai mempermudah dan membantu mempercepat proses pemeriksaan di Laboratorium. “Tentunya kegiatan ini berdampak kepada jumlah sputum yang dapat dilakukan pemeriksaan pada setiap hari, minggu, atau bulan. Jika biasanya ada penjadwalan pengantaran sputum bagi kader ke puskesmas, maka sekarang tidak,” tambah Andreansyah. Dengan keterampilan yang ada, kader dapat mengantar sputum kapan pun, dan membuat fiksasi sendiri tanpa menunggu petugas labor, yang mana sputum yang sudah difiksasi disimpan oleh kader ditempat yang telah ditentukan oleh Petugas Labor, untuk kemudian dilakukan pewarnaan dan pemeriksaan oleh Petugas Labor.

Andreansyah juga menjelaskan bahwa adanya pelatihan ini memberikan dampak yang baik pada angka capaian terduga di Puskesmas Sembawa. “Yang biasanya kami dalam sebulan hanya dapat melakukan pemeriksaan bekisar pada angka 40-50an, kini kami dapat mencapai angka lebih dari 50 bahkan menyentuh angka ratusan setiap bulannya,” tutur Andreansyah. Sehingga kegiatan ini dinilai cukup efektif untuk menemukan angka ternotifikasi karena semakin banyak yang diperiksa, semakin banyak kemungkinan kasus TBC yang akan ditemukan.

Adanya kegiatan ini tidak terlepas dari kerjasama multi-sektor yang dijalin oleh SR Sumatera Selatan dengan Puskesmas di daerah intervensinya tersebut. Awalnya, komunikasi dibangun atas dasar pengabdian yang terbentuk dalam wadah Komunitas Desa Peduli TBC (Komdes) yang dibentuk pada November 2020. Komdes bermula dari Desa Pulau Harapan Kec. Sembawa yang berisi dari Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Petugas Puskesmas dan Kader TBC yang kemudian membawa aktivitas kader menjadi berkembang ke wilayah kerja Puskesmas lainnya seperti Desa Lalang Sembawa, Desa Mainan, dan Desa Rejodadi. Kerjasama Kader antar Desa ini juga dikoordinir oleh Petugas Puskesmas Sembawa yang juga merupakan bagian dari Komdes.

Kegiatan tersebut dirasa sangat positif bagi para kader. Menurut Andreansyah, kader merespon dengan sangat antusias karena diberikan keterampilan yang menunjang hasil kinerja di lapangan dan capaian yang mereka peroleh. Kader juga mengapresiasi tinggi ada ilmu yang diberikan oleh Petugas Puskesmas kepada mereka, karena tidak semua kader mempunyai kesempatan yang sama seperti mereka. Andreansyah juga berharap bahwa semoga SR lain dapat menerapkan kegiatan serupa, atau mungkin kegiatan lainnya dengan mengidentifikasi potensi lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan kader, merekatkan hubungan baik dengan fasyankes, atau hal lainnya yang menunjang untuk meningkatkan capaian target.

 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sumatera Selatan

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Permata Silitonga

Perjuangan dan Harapan Bu Ramil untuk Eliminasi TBC-HIV di Nusa Tenggara Timur

Tuberkulosis (TBC) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit yang saling terkait. Jika seseorang yang sebelumnya memiliki bakteri TBC tetapi kemudian terkena atau tertular HIV, maka HIV akan menurunkan daya tahan tubuhnya dan kuman TBC yang ada sebelumnya pun akan aktif, sehingga bisa menyebabkan penyakit TBC. Selain itu, seseorang yang sebelumnya memiliki HIV di dalam tubuhnya juga akan rentan tertular berbagai penyakit menular termasuk TBC karena daya tahan tubuh yang rendah. 

Di Indonesia, berkaitan dengan penyakit TBC-HIV, Kementerian Kesehatan RI mengumumkan bahwa sepanjang tahun 2021, telah terjadi kasus TBC-HIV dengan estimasi jumlah ODHIV yang menderita TBC sebanyak 18.000 kasus dan jumlah kematiannya yang menembus 4.800 jiwa dengan angka tersebut, tentunya penanganan dan penjangkauan kepada pasien TBC-HIV yang optimal sangat diperlukan untuk meminimalisir angka estimasi kasus dan angka kematian akibat penyakit tersebut. Sehingga dengan kondisi yang terjadi saat ini, (Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) selaku  sub-recipient (SR) dari  Konsorsium Penabulu STPI berinisiatif untuk mengkolaborasikan program TBC dengan HIV melalui program TB Care di wilayah cakupan mereka yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT). Program TB-HIV Care yang dijalankan melibatkan kader TBC yang berperan memastikan pasien TBC yang ditemukan dan didampinginya untuk melakukan tes HIV di puskesmas.

Ramil Isdak Tomasui, atau wanita yang terkenal dengan nama Ibu Ramil merupakan salah satu kader yang dipercayai oleh PERDHAKI NTT untuk melakukan tugas mulia sebagai kader pada program TB Care tersebut. Melalui panggilan hatinya, Ibu dua anak ini mempunyai niat yang sangat tulus dari hati untuk mendampingi dan mengunjungi pasien TBC demi memutuskan rantai penularan TBC di masyarakat. Menurutnya, menjadi kader merupakan panggilan Tuhan yang ia rasakan agar mendapatkan berkat dalam kehidupannya. “Saya senang bisa mengurus atau membantu orang sakit untuk memutuskan kuman TBC. Karena dengan menjalankan tugas kemanusiaan ini, saya juga mendapatkan berkat dalam kehidupan saya dan ini adalah panggilan Tuhan buat saya,” tuturnya. 

Setiap harinya, Ibu Ramil aktif melakukan tugasnya sebagai kader dengan pergi mengunjungi pasien serta mencari suspek untuk diperiksa. Selain menjadi seorang kader TBC, Ibu Ramil juga mahir membuat kue yang kemudian dititipkan di kios-kios dekat rumahnya. Saat melakukan penjangkauan kasus, Ibu Ramil rela menempuh jarak yang sangat jauh dari rumahnya demi mendapatkan suspek para pasien TBC. Jalanan yang sepi serta medan yang rusak tidak menyurutkan semangatnya untuk menjalankan misi kemanusiaan tersebut. Derap langkah yang ia lakukan pun semata-mata dilakukan demi mengurus dan membantu orang dengan sakit TBC agar dapat terjangkau dan didampingi hingga sembuh. Rasa lelah yang Ibu Ramli rasa juga seketika hilang dengan rasa senang yang ia dapati ketika bertemu dengan para pasien TBC. “Ada momen tertentu dimana saya merasa bersyukur sudah mendapat ilmu tentang TBC dan bisa mengurus orang sakit dengan TBC. Saya bahkan sangat senang ketika saya bertemu dan membantu mereka hingga sembuh,” ucapnya. Semua itu rela ia lakukan demi untuk memutuskan penyakit akibat bakteri mycobacterium tuberculosis ini.

Hambatan demi hambatan kerap Ibu Ramil hadapi ketika melakukan penjangkauan kepada masyarakat. Terkadang, beberapa masyarakat tidak berkenan untuk menjawab secara jujur tentang kondisi yang dialaminya. “Ada orang-orang selalu jujur terhadap saya tetapi ada juga yang tidak mau jujur bahwa mereka itu sakit, tapi saya berusaha bagaimana caranya supaya mereka bisa terbuka dengan saya,” katanya. Namun, hal tersebut dapat diatasi oleh Ibu Ramil dengan terus menerus memberikan mereka edukasi terkait dengan penyakit tersebut. Selain itu, adanya pandemi juga kerap dijadikan alasan oleh masyarakat agar tidak dapat dikunjungi oleh para kader kesehatan terutama TBC. Tetapi Ibu Ramil tidak menyerah dan selalu melakukan pendekatan kepada masyarakat agar kehadirannya dipercaya oleh masyarakat.

Dalam eliminasi TBC-HIV, Ibu Ramil memiliki peran yang sangat penting dengan menjadi pendamping pasien dengan penyakit tersebut. Sebagai pendamping pasien TBC-HIV, ia kerap membantu pasien mengambil obat di Puskesmas karena kondisi pasien yang tidak bisa berpergian.  Agar pasien juga dapat segera sembuh, Ibu Ramil juga tak henti-hentinya untuk selalu mengingatkan pasien TBC-HIV agar selalu minum obat tanpa putus. “Saya usahakan untuk selalu ada bagi mereka, karena bagi saya tugas ini adalah tanggungjawab yang harus saya lakukan,” tambahnya.

Selain mendampingi pasien TBC-HIV, Ibu Ramil juga kerap memberikan penyuluhan tentang TBC-HIV ketika melakukan kunjungan kepada masyarakat. Melalui media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang telah diberikan oleh PERDHAKI NTT, Ibu Ramil dengan semangat terus menularkan ilmunya kepada masyarakat di wilayah jangkauannya agar dapat memahami lebih tentang penyakit TBC dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat terhadap penyakit tersebut. 

Dengan usaha-usaha yang telah Ibu Ramil kerahkan, dalam tahun 2021, Ibu Ramil berhasil menemukan 2 pasien TBC-HIV melalui jangkauan yang ia jalankan. Selain itu, bekerja sama dengan kader-kader di wilayah cakupannya, Ibu Ramil berhasil menjangkau 15 pasien TBC yang mana pasien-pasien tersebut juga telah di skrining dan dilakukan pemeriksaan HIV untuk mengetahui lebih dalam tentang kondisi pasien tersebut. Dalam pendampingan pasien, Ibu Ramil juga  berhasil mendampingi 2 pasien TBC-HIV hingga sembuh, dengan 1 pasien yang masih dalam masa pengobatan. 

Dalam pelaksanaan pendampingan pasien TBC-HIV, PERDHAKI NTT memberikan kepercayaan penuh kepada kader untuk mendampingi serta memberikan edukasi seputar TBC-HIV kepada masyarakat. Selain itu, berkolaborasi dengan Puskesmas setempat, PERDHAKI NTT juga membuka jembatan antara Puskesmas dengan para Kader TBC untuk memeriksa pasien TBC yang didampingi kader agar melakukan tes HIV untuk memastikan penanganan seperti apa yang diberikan kepada pasien TBC tersebut. “Kami diberikan kepercayaan penuh ya dari PERDHAKI NTT untuk menjalankan tugas ini, berbekal dengan ilmu yang kami punya, kami juga akan terus menjalankan tugas ini dengan baik,’ ucap Ibu Ramil. 

Ibu Ramil memiliki harapan bahwa pemeriksaan TBC-HIV dapat segera diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya dalam melakukan pengobatan TBC, penting untuk memastikan status HIV pasien TBC. Sebab dengan memastikan tidak adanya virus ini didalam tubuh pasien TBC, maka pengobatan pun dapat berjalan efektif membunuh kuman TBC. Jika diketahui adanya HIV didalam tubuh pasien TBC, maka hal tersebut dapat berpengaruh pada menurunnya daya tahan tubuh si pasien, sehingga perlu ditambahkan pengobatan lanjutan untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien dan pengobatan TBC pun dapat berjalan efektif.


Cerita ini dikembangkan dari SR Nusa Tenggara Timur

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Permata Silitonga

Kreatif! Kader di Lampung Tengah Bantu Vaksinasi COVID-19 Seraya Screening TBC Kepada Warga

COVID-19 atau penyakit yang disebabkan oleh virus corona adalah penyakit yang pertama terdeteksi di Provinsi Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019. Pola penyebarannya begitu cepat dan masif dari manusia ke manusia. Muncul adaptasi baru, yang mana semua orang harus menjaga jarak, menghindari kerumunan, selalu menggunakan masker dan membiasakan dengan budaya hidup baru yang disebut  protokol kesehatan. 

Di Indonesia, kasus COVID-19 pertama terdeteksi pada bulan Maret 2020. Pemerintah langsung melakukan tracking, peraturan larangan bepergian, penutupan tempat ibadah, sekolah, dan regulasi lainnya demi membatasi penularan COVID-19. Cepatnya mutasi yang berkembang dengan munculnya Varian Delta menjadikan COVID-19 cepat menular dan memiliki resiko kematian tinggi. Akibatnya, pada bulan Juni-Juli 2021, Indonesia mengalami gelombang tertinggi penularan COVID-19 dengan rata-rata harian mencapai 50.000 kasus.  

Kurangnya stok kamar di rumah sakit dan tabung oksigen yang langka, menambah miris cerita amukan COVID-19 di Indonesia. Disaat bersamaan, pemerintah melalui segala daya upaya berusaha mempercepat vaksinasi, dengan menggerakan seluruh lapisan baik unsur pemerintah, mulai dari Puskesmas, Rumah Sakit, TNI, Polri, maupun swasta bahkan Organisasi Kemasyarakatan. Berbagai unsur ini diminta menghimpun dan menyelenggarakan vaksinasi COVID-19 secara  massal dan gratis demi mencapai herd-immunity secara komunal di masyarakat.

Adanya pandemi juga berimbas pada penjangkauan kasus yang dilaksanakan oleh para kader TBC di wilayah cakupannya. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan ketakutan masyarakat untuk dikunjungi tenaga kesehatan menjadi hambatan besar yang harus dihadapi para kader TBC di lapangan. Namun, hal-hal tersebut dapat siasati oleh 3 kader TBC dari Lampung Tengah yaitu Mba Erma, Bu Eko, dan Mas Vajar. Mereka tetap menerapkan prokes yang ketat saat berinteraksi untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat. Kerjasama yang dibangun secara baik dengan para pemangku kepentingan seperti RT/RW dan petugas kesehatan lain di lapangan juga membuat yakin masyarakat bahwa kehadiran ketiga kader TBC ini berperan sebagai petugas kesehatan yang akan membantu mereka untuk tetap sehat.

Selain pelaksanaan investigasi kontak, para kader TBC juga turut aktif dalam penyelenggaraan vaksinasi. Kader komunitas TBC turut membantu tenaga kesehatan dalam pendaftaran peserta vaksin, penginputan data pada aplikasi, serta memastikan vaksinasi  berjalan tertib, kondusif, dan berjalan sesuai dengan protokol kesehatan.  Hal ini seperti yang disampaikan oleh Erma Afriyandari, salah satu kader Inisiatif Lampung Sehat, Kecamatan Padang Ratu. “Iya saya di  ajak dr. Ana. Dr.Ana adalah petugas TBC di Puskesmas Padang Ratu. Selain petugas TBC Puskesmas, dr. Ana juga di bagian vaksinator jadi saya diajak membantu karena kebetulan saya bisa komputer. Bagian saya berubah ubah sih, kadang di  bagian pendaftaran, kadang di bagian PCare,” ujar Erma.

Ketika membantu kegiatan vaksinasi, Erma juga tak lupa untuk melaksanakan tugasnya sebagai kader TBC. Kepada masyarakat yang dilayani, Erma mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan gejala-gejala umum TBC. “Disaat saya bertemu dengan masyarakat, selain saya tanya riwayat kesehatan, pasti saya juga selipkan beberapa pertanyaan terkait dengan gejala awal TBC seperti sedang batuk tidak? Jika batuk saya sarankan untuk  melakukan pemeriksaan dahak di Puskesmas, jadi sembari pemberian layanan vaksinasi ini, saya juga melakukan  skrining TBC, sehingga capaian yang saya dapatkan lumayan mas,” ujar Erma. Dengan inovasi skrining yang Erma lakukan, ia berhasil memperoleh capaian terduga sebanyak 120 dengan 7 kasus positif TBC sepanjang tahun 2021. 

Hal senada juga disampaikan Bu Ekowati dan Mas Vajarudin sebagai kader TBC di Kecamatan Bandar Mataram. Kedekatan mereka dengan petugas TBC di puskesmas memotivasi beliau untuk mengambil peran pada kegiatan vaksinasi di wilayah cakupannya. Jiwa sosial  mereka sebagai kader TBC yang sudah sering bekerja di tengah-tengah ancaman penyakit menular juga membuat mereka tidak ragu untuk turut serta mensukseskan program vaksinasi tersebut. “Ya kami berdua ikut bantu-bantu di bagian pendaftaran. Saat proses pendaftaran, kami juga menanyakan riwayat penyakit peserta vaksin, punya efek samping obat apa enggak, dan ya kami juga sembari menanyakan beliau ada batuk-batuk atau tidak? Kalau batuk kami kasih pot dahak untuk periksa TBC di Puskesmas. Apalagi saya kan Alumni Pasien Covid juga, jadi saya merasa ini adalah kesempatan saya untuk berbuat agar yang lain tidak sampai merasakan sakit nya COVID-19,” ucap Bu Eko. Dari proses skrining tersebut, Bu Eko dan Mas Vajar berhasil memperoleh 11 temuan kasus positif TBC dari temuan Bu Ekowati 8 Kasus dan Mas Vajarudin 3 Kasus selama tahun 2021.

Melihat hasil yang dicapai, Suroto selaku Program Officer SSR Lampung Tengah berkata, “Kegiatan program vaksinasi yang mereka lakukan dengan menyelipkan skrining TBC terbukti cukup efektif dalam menjaring suspek TBC. Sehingga selain membantu petugas  vaksinator, kader TBC Komunitas pun dapat melakukan edukasi serta mencari suspek TBC.” tuturnya. Suroto menambahkan bahwa partisipasi kader TBC dalam program vaksinasi telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2021 dengan menyisir kampung-kampung di wilayah Kabupaten Lampung Tengah. “Iya kegiatan ini telah dilaksanakan sejak bulan Agustus dan berakhir sampai selesainya program vaksinasi kampung-kampung pada akhir bulan 2021,” tambahnya.

Suroto berharap bahwa dengan upaya-upaya ini, COVID-19 dapat lebih terkendali bahkan segera hilang sekaligus dengan kasus TBC yang dapat tuntas dieliminasi. Ia juga akan terus mendukung kader-kader di wilayahnya agar mendapatkan timbal balik yang setimpal sesuai dengan usaha yang telah mereka lakukan dalam mengeliminasi TBC. “Kami akan terus membantu komunikasi antara  kader dan petugas TBC yang juga tim vaksinasi agar melibatkan kader TBC dalam kegiatan vaksinasi. Selain itu, kami memberikan reward tambahan untuk kader yang mendapat capaian terduga lebih dari target di luar reward dari Global Fund,” tandasnya.


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Tengah

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Dwi Aris Subakti

Jalin Kerjasama Dengan LazisMu dan ‘Aisyiyah, ILS Bagikan Nutrisi Tambahan untuk Pasien TB Dampingan Kader ILS Bandar Lampung

Bandarlampung, Pada Rabu, 19 Januari 2022 menjadi awal dimulainya kegiatan berbagi nutrisi tambahan untuk pasien TB dampingan kader ILS Bandar Lampung, kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara LazisMu, Majelis Kesehatan PWA Lampung, Majelis Kesehatan PDA Bandar Lampung dan ILS Bandar Lampung.

Kegiatan diawali dengan pembagian nutrisi tambahan kepada pasien TB dampingan kader ILS Bandar Lampung di wilayah kerja PKM Way Kandis, dilanjutkan ke wilayah kerja PKM Pasar Ambon, PKM Sukaraja, PKM Sumur Batu, PKM Kampung Sawah, PKM Way Halim I, PKM Bakung, dan PKM Kota Karang.

Penyerahan Nutrisi Kepada Pasien TB Dampingan Kader ILS Kota Bandar Lampung

Pemberian nutrisi ini menjadi bukti nyata dukungan penuh Inisiatif Lampung Sehat, ‘Aisyiyah dan LazisMu dalam program penanggulangan TB di Bandar Lampung, selain itu kegiatan ini juga akan dilaksanakan secara rutin yakni setiap bulan.

Pristi Wahyu Diawati selaku Program Officer ILS Bandar Lampung menyampaikan harapannya kepada seluruh kader dan pasien TB agar tetap semangat dalam menjalani pengobatan.

“Kegiatan ini semakin memupuk semangat pasien untuk menjalani pengobatan sampai sembuh. Maka besar harapan kami kegiatan ini menjadi awal masuknya donatur-donatur lain sehingga semakin banyak pasien yang mendapat nutrisi tambahan. Untuk itu, kami membuka lebar kesempatan untuk donatur-donatur lain baik perorangan maupun lembaga yang ingin berbagi dengan pasien TB di Bandar Lampung” Pungkas Pristi Wahyu Diawati.

Ibu Yenni; Ikon Baru Penggerak TBC di Kota Palu

Yenni Oktavianti atau akrab dipanggil Bu Yenni adalah koordinator kader yang lahir dan besar di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sejak lulus kuliah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako pada tahun 2012, Bu Yenni mengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri sebagai guru Bahasa Inggris selama 2 tahun. Disamping itu, Bu Yenni juga pernah bekerja sebagai wartawan kriminal dengan membantu pendampingan kasus kekerasan yang di laporkan melalui KPPA (Koalisi Perlindungan Perempuan dan Anak) Kota Palu. 

Ibu Yenni memulai karirnya di bidang Kesehatan dengan menjadi kader posyandu sejak tahun 2017 di Puskesmas Kamonji , Kecamatan Palu Barat. Ketika menjadi kader posyandu, Bu Yenni rutin memberikan pelayanan posyandu bagi balita,remaja dan lansia. Selain itu, Bu Yenni juga menjalankan kegiatan penyuluhan untuk remaja seputar bahaya NAPZA dan kesehatan alat reproduksi. Dimulai menjadi kader posyandu, ketertarikan beliau pada dunia kesehatan terus bertumbuh dan membuat beliau mendedikasikan penuh dirinya untuk aktif pada kegiatan sosial yang berkaitan dengan kesehatan.

Langkah-langkah beliau pun terus berlanjut hingga akhirnya membawa beliau pada program kesehatan tuberkulosis. Hal itu bermula ketika Bu Yenni aktif dalam mengikuti pelatihan-pelatihan untuk kader puskesmas dan mengetahui adanya peran kader TBC di masyarakat. Awalnya, Bu Yenni mengikuti pelatihan TBC pada bulan Juni 2021 yang dilaksanakan oleh SR Sulawesi Tengah dan dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sama lainnya hingga Desember akhir tahun kemarin. Berawal dari rasa ingin tahu serta semangat beliau yang tinggi untuk membantu pasien TBC, beliau mengajukan diri untuk menjadi koordinator kader. Keinginan tersebut muncul dari diri Bu Yenni sendiri. Beliau berkata, “Saya sangat senang bekerja di dunia sosial dan membantu orang banyak, karena jika kita bisa membantu urusan dari orang tersebut maka orang yang kita bantu mengangkat tangannya untuk mendoakan kita juga agar dimudahkan urusan” ujarnya. Pengajuan beliau disampaikan kepada SR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI selaku pelaksana Program Global Fund untuk Eliminasi TBC Komunitas. Melihat dedikasinya, Ibu Yenni dipercaya sebagai Koordinator Kader dan mengelola lima wilayah puskesmas dampingan yaitu wilayah Tipo, Mabelopura, Nosarara, Sangurara dan Kamonji Sulawesi Tengah. 

Dalam kesehariannya, Bu Yenni rutin melaksanakan penyuluhan dari satu wilayah ke wilayah lain melalui berbagai kesempatan baik secara formal maupun non-formal. Dari bulan Juli 2021, Bu Yenni telah merujuk terduga pasien sejumlah 41 orang melalui penyuluhan-penyuluhan yang beliau lakukan. Ketika menjalankan penyuluhan di lingkungan masyarakat, tahap awal yang beliau lakukan adalah dengan memperkenalkan bagaimana proses penularan TBC dan bahayanya bagi manusia. “Pemaparan tentang bahaya dan proses penularan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa TBC adalah penyakit yang harus kita eliminasi segera,” tuturnya. Selanjutnya, beliau juga mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan terkait dengan kebersihan.”Kesehatan kita berawal dari lingkungan yang bersih,sehat dan nyaman, maka saya terus menginisiasi kepada seluruh masyarakat untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih,” tambahnya.  

Tidak hanya melaksanakan penyuluhan, Bu Yenni juga sangat aktif berupaya melakukan mendampingi pasien-pasien yang tengah melakukan pengobatan agar mereka tidak putus dalam minum obat. “Saat ini, pasien dalam dampingan saya berjumlah 4 orang, dan alhamdulillah 1 diantaranya sudah sembuh,” ucap Bu Yenni.  Selain itu, dibantu oleh lima kader di setiap wilayah, Bu Yenni berusaha untuk melakukan investigasi kontak semaksimal mungkin–meskipun dengan segala hambatan yang ada–agar dapat menjangkau kasus dengan baik di daerahnya. “Di lapangan saat ini beberapa hambatan masih terjadi, terutama masyarakat yang enggan untuk diperiksa maupun dirujuk meskipun mereka sudah mengalami batuk lebih dari 2 minggu. Selain itu, banyak juga pasien yang tidak terbuka mengenai kondisi kesehatan mereka sendiri,” ucapnya.  

Kurangnya pemahaman TBC oleh masyarakat membuat Bu Yenni, yang juga aktif sebagai pengurus Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) gencar memberikan penjelasan kepada masyarakat sekitar  tentang pemeriksaan dahak untuk mengetahui status TBC. “Saya kebetulan membawahi bidang kesehatan di PKK. Oleh karena itu, saya kadang membuat program pemeriksaan dahak kepada masyarakat dengan gejala awal TBC dan memberitahu mereka bahwa pemeriksaan ini digunakan untuk mengecek kondisi mereka dan menganalisis jenis batuk yang tengah mereka derita,” kata Bu Yenni. 

Selain melakukan pendekatan kepada masyarakat, Bu Yenni membuat program Komunitas Masyarakat Peduli (KMP) TBC dengan menggandeng para pemangku kepentingan dan organisasi masyarakat lainnya seperti Anggota Dewan, RT, Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, dan para pengusaha. “Saya sudah mendapatkan donatur untuk membantu KMP TBC ini” ujarnya. Beliau menyampaikan bahwa program ini telah dikomunikasikan kepada beberapa Anggota Dewan yang berada di wilayah Palu Barat. Tidak hanya itu, beberapa pengusaha rekan-rekan dari Bu Yenni juga akan ikut andil dalam program tersebut dengan memberikan subsidi sembako  untuk para pasien yang kurang mampu. “Keterlibatan stakeholder sangat membantu untuk menyuarakan program ini agar masyarakat bisa lebih paham mengenai penularan, bahaya dan pencegahan dari penyakit TBC ini. Komunikasi rutin dengan RT dan Kamtibmas juga sering kami lakukan untuk membantu menemukan warga yg memiliki gejala untuk segera dirujuk, ” tambahnya. 

Usaha-usaha yang dilakukan Bu Yenni membuahkan hasil yang luar biasa. Semangat masyarakat untuk mulai melakukan cek kesehatan meningkat terutama di kalangan anak muda. “Ada hal menarik saat saya mensosialisasikan varian TBC, hasilnya menambah animo masyarakat untuk mengecek kondisi kesehatan mereka,” ucapnya. Aktifnya kegiatan sosialisasi yang Bu Yenni lakukan menjadikan Bu Yenni menjadi ikon Tuberkulosis di wilayahnya. “Ketika orang-orang melihat saya, yang mereka pikirkan adalah bagaimana perkembangan penderita TBC di lingkungan mereka, karena saya rajin memberitahu masyarakat sekitar untuk mendukung pasien TBC agar segera sembuh,” tambahnya. Selain itu, Bu Yenni dan teman-teman kader di wilayahnya hingga saat ini telah berhasil menemukan 8 pasien ternotifikasi TBC di wilayah cakupannya. 

Dengan kerja keras dan dukungan dari Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Bu Yenni yakin bahwa TBC dapat dieliminasi sesegera mungkin di wilayahnya. “Keberadaan Konsorsium Penabulu sangat membantu pihak Puskesmas dan juga kami dalam menemukan pasien yang terduga tertular TBC, hal ini juga kerap disampaikan oleh para pengelola TBC di Puskesmas,” tuturnya. Kedepannya, Bu Yenni juga berharap bahwa kader di wilayah lain memiliki semangat yang sama bahkan lebih sehingga dapat menemukan dan mengobati pasien TBC sesegera mungkin. “TBC bukan penyakit aib atau kutukan masyarakat, TBC adalah penyakit yang bisa diobati secara tuntas dengan rutin minum obat selama 6 bulan, oleh karena itu mari sebagai kader kita hilangkan stigma negatif TBC dan melangkah maju demi kesehatan dan kesejahteraan bersama.”


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Tengah

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Dwi Aris Subakti

Aksi Peningkatan Penemuan Kasus dengan Kolaborasikan Program HIV dan TBC di Sulawesi Selatan

Tuberkulosis merupakan ancaman kesehatan yang serius, terutama bagi orang yang terkena HIV. Seseorang dengan HIV jauh lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit TBC dalam tubuhnya daripada seseorang tanpa infeksi HIV. Bahkan, di antara orang dengan infeksi TBC laten, HIV adalah faktor risiko terkuat yang membuat penyakit TBC cepat masuk karena daya tahan tubuh yang menurun sehingga mudah terserang penyakit lain.

Data laporan WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa satu dari empat kematian pada pasien TBC terjadi pada seseorang dengan infeksi HIV. Di Indonesia sendiri, Koordinator Substansi Tuberkulosis Kemenkes RI, dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA., menyebutkan bahwa tahun 2019 jumlah kasus TBC muncul sebanyak 845.000 dengan 19.000 di antaranya adalah pasien koinfeksi TBC-HIV.

Angka tersebut menyiratkan bahwa persoalan TBC dan HIV atau perpaduan keduanya hingga saat ini masih menjadi momok di masyarakat. Terlebih adanya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan informasi tentang TBC berkurang, padahal secara angka kasus kedua penyakit tersebut masih sangat tinggi. “Perlu upaya menemukan, mencegah, dan mengobati TBC pada orang dengan HIV, serta pentingnya tes HIV pada semua pasien TBC agar pencegahan dan terapi bisa dilakukan. Oleh karena itu, Yayasan Masyarakat Peduli TB Sulawesi Selatan (Yamali TB) sebagai bagian dari TBC Komunitas membuat program kolaborasi penanganan HIV dan TBC bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Program HIV di Sulawesi Selatan,” tandas Koordinator Program Yamali TB Sulawesi Selatan, Kasri Riswadi. 

Dalam kolaborasi ini, Yamali TB sebagai mitra dari PR Konsorsium Penabulu-STPI berinovasi untuk melakukan penguatan koordinasi bersama lintas program untuk melakukan eliminasi TBC-HIV. Di kota Makassar sebagai daerah irisan program TBC-HIV, Yamali TB menjalin relasi dengan OMS pengelola program HIV seperti SSR Yayasan Gaya Celebes, Yayasan Peduli  Kelompok Dukungan Sebaya (YPKDS), Yayasan Mitra Husada (YMH), serta Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia Daerah (KPAID) kota Makassar. Sistem kolaborasi dibangun dengan saling menarik dan melibatkan jejaring masing-masing yang dimiliki. Program kolaborasi ini disahkan sejak bulan Oktober tahun 2021 melalui kegiatan pertemuan kolaborasi TBC-HIV di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Menyambut baik ajakan dan inisiasi SR Yamali TB Sulsel, salah satu perwakilan OMS Program HIV, yakni Direktur Yayasan Gaya Celebes (YGC), Andi Akbar Hakim menuturkan bahwa upaya penguatan kolaborasi TBC-HIV ini bukanlah hal baru, karena kolaborasi juga telah dilakukan selama ini. “Penguatan memang selalu perlu kita lakukan, saya kira kader TBC dan kader lapangan HIV harus berjalan beriringan untuk saling support satu sama lain,” ucapnya.

Kegiatan kolaborasi dibagi menjadi dua hal sesuai dengan tujuan dan pelaksanaan agenda dalam eliminasi TBC-HIV. Pertama, agenda program diimplementasikan dengan memastikan setiap pasien TBC yang ditemukan oleh Yamali TB langsung melakukan pemeriksaan HIV dan juga sebaliknya, setiap pasien HIV yang ditemukan oleh OMS Program HIV langsung melakukan pemeriksaan TBC. “Komitmen bersama kita adalah jika ada pasien TBC yang diedukasi, diperiksakan dan positif HIV, maka Yamali TB memastikan OMS HIV mengambil alih dalam hal pendampingan dari sisi HIVnya, demikian sebaliknya,” jelas Kasri. 

Tahapan pertama yang mereka lakukan adalah edukasi dari kader TBC. Ketika mengetahui pasiennya mempunyai gejala TBC-HIV selanjutnya kader akan memastikan pemeriksaan HIV di Puskesmas. Jika pasien tersebut positif, maka Kader TBC akan melibatkan pendamping HIV untuk didampingi terkait status HIV begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh OMS HIV ketika mengetahui pasiennya mempunyai gejala TBC. Sehingga dalam rangka mendukung program tersebut, Yamali TB menggerakkan ratusan kader yang telah dibekali informasi TBC dan HIV melalui pelatihan pengetahuan tentang kedua penyakit tersebut, memfasilitasi kegiatan penjangkauan dan pemeriksaan, serta bekerjasama dengan pihak lain untuk mendukung upaya-upaya baik tersebut.

Selain pemeriksaan dan pelatihan, agenda kedua yang diimplementasikan adalah dalam bentuk advokasi. Agenda advokasi meliputi lobi eksekutif dan legislatif untuk peningkatan anggaran program TBC-HIV, pembentukan lorong/kampung atau RT/RW bebas TBC-HIV, serta pelibatan lintas sektor untuk aksi sosialisasi dan edukasi TBC maupun HIV. Dalam kegiatan ini, Yamali TB dan OMS program HIV aktif dalam melibatkan pihak lain sebagai bentuk penguatan program eliminasi TBC-HIV. Sektor lain terlibat pada peran, kapasitas dan relasinya masing-masing. Sebagai contoh Yamali TB dan OMS program HIV melibatkan Dinas Kesehatan terkait data pencatatan dan pelaporan, Dinas Ketenagakerjaan untuk proses edukasi dan sosialisasi TBC maupun HIV di jejaringnya, demikian halnya OMS lainnya seperti Aisyiyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang mempunyai basisnya masing-masing sesuai bidang mereka. Selain itu, Yamali juga melibatkan beberapa lembaga filantropi seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah (Lazismu), serta Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) untuk program nutrisi bagi pasien TBC-HIV.

Sejak dijalankannya program ini, respon sangat baik diperlihatkan terutama oleh para populasi kunci. Mereka merasa sangat terbantu terlebih dengan adanya akses informasi yang diterima dengan baik dan pemeriksaan yang terfasilitasi satu sama lain. “Selama ini, pasien HIV terkadang enggan memeriksakan TBC karena biasa dibebani biaya maupun sebaliknya, tapi dengan kolaborasi ini semua disinergikan sehingga terkoneksi dengan baik sehingga mereka melakukan pemeriksaan secara gratis,” tutur Kasri Riswadi.

SR Manager SR Yamali TB Sulsel, Wahriyadi, juga menambahkan bahwa, “Selama ini dalam implementasi program TBC Komunitas, edukasi HIV kepada pasien TB sudah aktif dilakukan oleh kader, bahkan hal itu masuk sebagai salah satu indikator penunjang program. Sehingga pasien merasa terbantu oleh informasi komunikatif yang telah diberikan oleh para kader,” tambah Wahriyadi.

“Kita tentu berharap bahwa kolaborasi program TBC-HIV dapat berjalan di provinsi dan daerah lain, mengingat bahwa TBC dan HIV ini tak terpisahkan. Banyak hal dapat kita lakukan, seperti identifikasi mitra dan relasi potensial, kemudian dilanjutkan dengan menjalin komunikasi dan silaturahmi,” ucap Kasri. Ia juga berharap bahwa kedepannya, seluruh SR dapat menciptakan aksi bersama di wilayah masing-masing untuk penguatan dan penjangkauan kasus baik TBC maupun HIV sehingga kedua masalah ini dapat dicegah dan dieliminasi hingga tuntas. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Selatan

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Waspadai TBC Anak, Yamali TB Sulsel Dorong Pemberian TPT Bagi Balita

 

MAKASSAR– Penyakit Tuberkulosis (TBC) masih menjadi momok yang menakutkan baik bagi orang dewasa, maupun anak-anak. Program penanggulangan penyakit Tuberculosis (TB) baik melalui Kementerian Kesehatan maupun Program TB Komunitas kini memberi perhatian khusus terhadap fenomena perkembangan penyakit ini di kalangan anak-anak khususnya usia balita.

Staff Monitoring, Evaluasi dan Leraning (MEL) SR Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis (Yamali TB) Sulsel, Kamaruddin, melaporkan berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka penderita TB di Indonesia saat ini mencapai 845 ribu jiwa dengan sekitar 30 ribu di antaranya merupakan sumbangan kasus dari Sulsel. Sementara khusus untuk TB anak, ia menyebutkan bahwa dalam perkiraan WHO, penderita TB Anak mencapai 10% dari prevalensi TB umum di setiap negara. “Jadi di Indonesia saat ini terdapat kurang lebih 80 ribu anak di bawah 15 tahun yang menderita TB. Di Sulsel data terakhir tahun 2020 yang dilaporkan tahun 2021 tercatat ada 386 kasus,” jelas Kama, saat ditemui di kantor Yamali TB kota Makassar, Senin (3/1/2022).

Ia menambahkan, masalah yang rumit bagi penderita TB anak adalah sulitnya deteksi kuman TBC dan penularannya pada anak. “Bila ciri yang dianggap umum sebagai gejala TBC umumnya adalah batuk yang tak kunjung sembuh, maka justru pasien TBC anak seringkali tidak menunjukkan itu. Yang banyak dikeluhkan para orang tua, adalah turunnya berat badan selama terus-menerus selama tiga bulan, nafsu makan berkurang dan kelenjar getah bening yang membengkak. Bahkan kalau batuk pun, pemastian kuman TBC pun tidak mudah,” terangnya.

Oleh karena itu, lanjut Kama, melalaui program TB Komunitas Yamali TB bekerjasama dengan Dinas Kesehatan ada dua hal yang saat ini perlu dikuatkan, yakni deteksi dini serta pencegahan melalui pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) bagi anak di bawah usia lima tahun.

“Untuk membantu deteksi TBC anak maupun pencegahannya, kita mendorong setiap kader TB yang menemukan penderita TBC, diminta untuk menguatkan sikrining terhadap populasi rumah tangga pasien. “Kalau bapak atau ibunya positif TBC, maka semua anak-anaknya sebaiknya diperiksan juga, agar jika positif TBC maka segera bisa diobati dan jika hasilnya negatif dapat diberikan TPT sebagai pencegahannya, ini yang sangat penting saya kira sebagai upaya mewujudkan eliminasi TBC,” tutupnya.

Dihindari hingga Dicari : Perjalanan Pak Sukri Memberdayakan Pasien TBC MDR

Kurangnya motivasi, timbulnya efek samping ketika minum obat, lelah akan keadaan membuat sebagian pasien tuberkulosis (TBC) memutuskan tidak melanjutkan pengobatan mereka. Hal ini dapat menyebabkan kondisi pasien memburuk dan mengalami resistensi (kebal) terhadap obat antibiotik. Oleh karena itu, dukungan psikososial diperlukan untuk mendukung pasien selama masa pengobatan. Selain petugas kesehatan, anggota masyarakat yang terlatih dapat berperan sebagai Patient Supporter (PS). Sebagai pendamping pasien minum obat, PS adalah salah satu ujung tombak dalam penyembuhan pasien TBC karena mempunyai andil besar melalui komunikasi yang efektif, edukasi, serta memotivasi pasien agar rutin minum obat. 

Sukri Sikumbang merupakan salah satu PS pasien TBC MDR di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Selain menjadi PS, beliau berwirausaha dengan membuka depot air isi ulang di daerahnya. Lelaki yang akrab dipanggil Pak Sukri ini juga aktif dalam beberapa organisasi masyarakat. Beliau aktif di organisasi Muhammadiyah sebagai Pimpinan Cabang Muhammadiyah Stabat, Kabupaten Langkat dan mempunyai rekam jejak sebagai pengurus Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) di kelurahan yang ia tempati.

Sejak bulan Maret tahun 2017, beliau bergabung dengan TB Care ‘Aisyiyah sebagai Kader TBC. Walaupun bukan berasal dari latar belakang pendidikan kesehatan, hal tersebut tidak mengurungkan niat beliau untuk menjalankan tugas mulia ini. Dedikasi yang tinggi menjadikannya semangat dan senang dalam melaksanakan pendampingan pasien. 

“Tak banyak orang yang mau dan mampu untuk menjadi PS. Prinsip saya, sedikit ilmu yang saya miliki tetapi bisa bermanfaat bagi orang lain,” tuturnya. Pak Sukri yang memulai karir dengan menjadi kader memperoleh ilmu-ilmu tentang pendampingan pasien peroleh melalui pelatihan-pelatihan tentang penanggulangan TBC yang diselenggarakan oleh TB Care ‘Aisyiyah, SSR Kabupaten Langkat, SR Yayasan Mentari Meraki Asa serta belajar secara mandiri.

Semangatnya juga ia teruskan dengan menjadi kader TBC di Yayasan Mentari Meraki Asa selaku mitra dari PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Dedikasinya yang kuat serta pengalamannya di masyarakat membuatnya berniat berperan sebagai PS pasien TBC MDR. “Beliau rajin dan semangat dalam melakukan pendampingan. Pengalaman beliau juga menjadi salah satu tolak ukur untuk melibatkan beliau menjadi PS,” tutur Azmil Husairi selaku Manajer Kasus yang bertanggung jawab dengan pelaporan dan wilayah kerja Pak Sukri.

Saat ini, beliau mendampingi 11 pasien yang masih dalam masa pengobatan di kecamatan yang berbeda. Salutnya, beliau bergerak melakukan pendampingan ke pasien bersama dengan istrinya yaitu Ibu Aminah yang merupakan  Koordinator Kader  di Yayasan Mentari Meraki Asa. Bersama dengan istri, beliau bergerak bersama ke lapangan untuk mengetahui  kondisi pasien yang sebenarnya dalam setiap kunjungan. “Keterlibatan istri pada penjangkauan pasien sangat berarti bagi saya. Ia juga sangat berperan sekali dalam menemani berkomunikasi dengan pasien-pasien perempuan. Jika ada pasien perempuan yang sungkan komunikasi sama saya karena saya laki-laki, saya dibantu oleh istri saya,” tambahnya. 

Pekerjaan yang mereka jalani bukan tanpa hambatan. Untuk melakukan pendampingan pasien, Pak Sukri harus melalui jarak tempuh yang jauh dan medan yang sulit. “Jalanan yang berliku serta melewati perkebunan kelapa sawit yang sangat luas, inilah keadaan yang saya jalani mba,” katanya. Jarak tempuh dari rumah Pak Sukri menuju rumah pasien memakan waktu sekitar 2,5 jam perjalan dengan sepeda motor yang ia kendarai. Tapi keadaan tersebut tidak membuat beliau menyerah untuk membantu pasien TBC hingga sembuh. 

Ia menambahkan bahwa ketika awal mula terjun ke lapangan sebagai PS, ada rasa takut yang amat dalam ketika membayangkan jika dirinya tertular TBC dengan tipe yang sama. Namun, pemikiran itu ia patahkan dengan terus meyakinkan diri sendiri dan menguatkan hati agar tidak ragu dan takut. “Saya berpikir bahwa saya akan mendampingi orang orang yang mengalami sakit TBC MDR, takut sih mbak awalnya, tapi saya harus buang pemikiran itu karena siapa lagi yang akan membantu jika bukan kita,” tambahnya. 

Walaupun ada resiko yang dihadapi, Pak Sukri dan istri mengatakan bahwa segala sesuatu yang sedang mereka jalani saat ini merupakan sebuah panggilan hati. Mereka tulus dan ikhlas untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. “Saya berpikir, pasien TBC MDR mengalami masa pengobatan yang panjang, minum obat yang banyak dan efek samping yang cukup berat, sehingga pasien tersebut membutuhkan orang tempat ia bertanya, bercerita tentang efek samping selama minum obat, dan saya harus bisa mendampinginya agar ia tidak merasa dikucilkan oleh masyarakat karena sakitnya,” ucap Pak Sukri. 

“Setiap pasien yang saya dampingi mempunyai cerita/momen tersendiri. Tapi yang paling spesial ada satu pasien yang 5 kali saya ke rumahnya, ia tetap tidak mau bicara pada saya”, tuturnya. Beliau adalah Bu Lilis, pasien dengan TBC MDR ini sudah dikunjungi rutin oleh Pak Sukri dan Istri. Saat didatangi, beliau tidak pernah berkenan untuk berkomunikasi secara tatap muka dengan Pak Sukri. Sehingga melalui perantara istrinya, Pak Sukri terus-menerus memberikan pemahaman tentang peran Pasien Supporter

Berbekal pengetahuan dan komunikasi yang Pak Sukri miliki, beliau menjelaskan dengan tulus dari hati dan kelembutan hingga akhirnya pasien tersebut mau dan menerima Pak Sukri dengan tangan terbuka untuk melakukan pendampingan. Pak Sukri juga menambahkan bahwa Bu Lilis selalu cek jadwal pendampingan dan langsung menghubungi dan bertanya kapan Pak Sukri akan datang. Bu Lilis sembuh dari penyakit tuberkulosis setelah 1,5 tahun berjuang dan bisa kembali melakukan aktivitas seperti sedia kala. “Saya sangat bahagia bisa sembuh. Selama pengobatan, saya selalu nurut perkataan Pak Sukri, beliau juga sangat sabar menghadapi saya”, tutur Bu Lilis.

Rutin mengunjungi pasien, menanyakan tentang berapa sekarang jumlah obat yang diminum, menyemangatinya agar tetap semangat  rutin minum obat, dan meyakinkannya bahwa TBC MDR ini bisa sembuh dengan kepatuhan minum obat serta mengikuti anjuran dokter merupakan cara-cara yang Pak Sukri lakukan untuk membangun kepercayaan antara beliau dengan pasien. “Saya melaksanakan benar-benar dari hati yang tulus, bersyukurlah Allah yang memberikan kita kesehatan dan ilmu tentang TBC sehingga kita dapat menyenangkan hati para pasien dengan kehadiran kita,” ucapnya. Ia juga menambahkan bahwa di tengah banyaknya kasus pandemi COVID-19, ketika melakukan pendampingan beliau memberikan pemahaman dan melaksanakan penyuluhan secara detail kepada pasien maupun lingkungan sekitar pasien  agar mereka dapat memahami tentang TBC dan dapat membedakan antara TBC dengan COVID-19. 

Usaha pendampingan pasien yang Pak Sukri jalani pun membuahkan hasil. Sejak 2017 melakukan pendampingan pasien, Pak Sukri telah berhasil mendampingi 10 pasien hingga sembuh. Pengalaman Pak Sukri mengilustrasikan bahwa masyarakat yang sakit TBC resisten obat butuh dukungan sesama anggota masyarakat untuk menyemangati mereka meraih kesembuhan. Saat diwawancarai, Pak Sukri juga ingin memberikan semangat kepada seluruh teman-teman PS yang berjuang di lapangan saat ini. Beliau berpesan, “Laksanakan tugas mulia ini dengan senang hati dan ikhlas. Bersyukur kita yang diberi peran  sebagai patient supporter, karena tugas ini sangat mulia dan bisa menjadi ladang amal untuk kita semua.” 

 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sumatera Utara

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Implementasi DPPM dan Penguatan Peran Komunitas Jadi Strategi Baru Tanggulangi TBC di Sulsel

MAKASSAR, MEDITEK.ID – Upaya penanggulangan penyakit Tuberkulosis terus digiatkan pemerintah guna mengejar target eliminasi TBC tahun 2030. Salah satu upaya dilakukan adalah dengan implementasi District Public Private Mix (DPPM) sebagai salah satu strategi untuk menjangkau kasus secara lebih luas.

Ketua DDPM kota Makassar, dr. Nur Ashari, M. Kes., menjelaskan bahwa strategi PPM ini merupakan langkah baru yang dilakukan pemerintah dengan pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan secara kompherenshif melalui kemitraan lintas program atau sektor terkait dan layanan keterpaduan pemerintah dan swasta.

“Tujuannya untuk meningkatkan akses layanan TB yang bermutu dan berpihak pada pasien,” katanya, saat pertemuan dukungan advokasi dan kemitraan komunitas yang diadakan SR Yamali TB Sulsel di Hotel Ramedo, Makassar, Selasa (20/12/21).

Dia melanjutkan, selain melibatkan semua jenis fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, DPPM juga menggandeng berbagai organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ikatan Bidan Indonesi (IBI), PATELKI , Persatuan Rumah sakit (PERSI), Asosiasi Klinik (ASKLIN), serta unsur Komunitas Peduli TB seperti Yamali.

Ia menjelaskan, organisasi profesi ini berperan dalam membina anggotanya untuk melaksanakan tatalaksana TB sesuai standar di tempat praktik masing-masing sebagai praktisi ahli dalam pelayanan langsung pada pasien, dan melaporkan kasusnya ke dalam sistem pelaporan TB di Dinas Kesehatan kabupaten dan kota.

Sementara itu, dari komunitas, SR Manager Yamali TB Sulsel, Wahriyadi menyampaikan bahwa dari sisi komunitas pihaknya melalui kader-kader TB akan mengambil peran untuk kegiatan pelacakan pasien mangkir dan putus berobat, investigasi kontak, serta pendampingan pasien TBC yang berobat di sektor swasta.

“Kita berharap dengan strategi ini jangkauan kasus TB semakin meluas dan tentu meningkat. Mengingat bahwa masih sangat tingginya kesenjangan antara angka orang terduga dan ternotifikasi TB dengan yang tercatat melakukan pengobatan,” harapnya.

Kegiatan pertemuan ini berlangsung selama tiga hari sejak 19 hingga 21 Desember 2021, dengan diikuti oleh sejumlah pihak di antaranya program TB Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, RSUD Labuang Baji, IDI, PDPI Cabang Sulawesi, PERSI, ASKLIN, BPJS Kesehatan, serta beberapa pihak lainnya.

Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Tingkatkan Kapasitas Manajer Kasus TBC Resisten Obat

(Salah satu perwakilan SR menyampaikan presentasi hasil diskusi kelompok)

DENPASAR – Dilansir dari web resmi Kementerian Kesehatan RI, Indonesia merupakan 1 dari 10 negara yang menyumbang 77% kesenjangan secara global untuk estimasi kasus TB RO dengan estimasi kasus sebanyak 24 ribu. Dari banyaknya kasus tersebut, hanya 48% pasien TBC RO yang memulai pengobatan di lini kedua. Cakupan keberhasilan pengobatan juga masih sangat rendah yaitu di angka 45%. Sehingga rendahnya cakupan angka pasien TBC RO yang mulai pengobatan dan capaian angka keberhasilan pengobatan TBC RO berpotensi untuk meningkatkan penularan TBC RO, menimbulkan resistensi pengobatan yang lebih kompleks dan meningkatkan angka kematian.

Manajer Kasus (MK) sendiri mempunyai peranan yang bertanggung jawab terhadap tata kelola dalam kasus TB RO, mulai dari pasien terdiagnosis sampai menyelesaikan pengobatan dan juga pemberian dukungan, baik dukungan medis maupun psikososial. Untuk meningkatkan peran  MK di komunitas terutama dalam pencatatan dan pelaporan, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI melaksanakan Pelatihan Manajer Kasus yang dilaksanakan di Hyatt Regency, Sanur, Bali pada tanggal 10-14 Desember 2021.

(Ibu Heny didampingi oleh para Manager menyampaikan sambutannya)

Kegiatan diikuti oleh 128 peserta MK yang berada di 30 provinsi  cakupan kerja PR Konsorsium Penabulu STPI. Acara dibuka oleh Ibu Heny Akhmad selaku Direktur Program Nasional yang  bersama Manajer Program dan Manajer Monitoring, Evaluation, and Learning PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI.  Pembukaan dilanjutkan dengan perkenalan dan penguatan komitmen belajar yang dipimpin oleh Lina Harahap, staf Data Management, sebagai MC. 

(Lina Harahap sebagai Master of Ceremony memimpin jalannya acara)

Hari selanjutnya, acara dimulai dengan pemaparan materi oleh Rahmat Hidayat Koordinator Field Program tentang Evaluasi Implementasi Pendampingan  TBC RO, dilanjutkan oleh Raisa Afni menjelaskan tentang Alur Pendampingan Pasien TBC RO oleh Komunitas dan  ditutup yang menjelaskan tentang Alur Kegiatan Per BL TBC RO. Setelah pemaparan materi selesai, peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang evaluasi pencatatan dan pelaporan TBC RO, lalu menuliskan hasil alur pencatatan dan pelaporan yang dipahami dan yang sudah diimplementasikan. Aktivitas dilanjutkan dengan pemaparan presentasi dari hasil diskusi yang dibagi menjadi beberapa subtopik yaitu Implementasi Pendampingan oleh Pasien Suporter, Persiapan dan Penetapan Manajer Kasus, Interaksi & Penilaian awal, Enabler, Terminasi Pasien, Koordinasi Multi Pihak,  dan Pengorganisasian Kasus serta Perencanaan & Rujukan Sosial.

(Peserta membaca form yang telah diberikan oleh panitia)

Di hari ketiga, acara dilanjutkan dengan pembekalan tentang semua jenis form untuk proses input data pasien. Sebelum praktik penginputan dimulai, Irman selaku Data Management Staff memaparkan terlebih dahulu tentang penjelasan modul TBC RO di SITK Sistem Informasi Tuberkulosis (SITK). Thoriq Hendrotomo selaku Koordinator Data Management juga turut menjelaskan tentang pelaporan raw data RO dan data Kementerian Kesehatan. Setelah itu, peserta membentuk kelompok sesuai dengan asal SR untuk melakukan input raw data/ data individu ke SITK. Pada sesi ini, seluruh tim Data Management PR dan fasilitator terlibat untuk memastikan peserta fokus selama sesi dan form dapat terisi dengan baik.

(Dwi Aris Subakti selaku MEL Manager menutup kegiatan Pelatihan Manajer Kasus)

Kemudian di hari terakhir pelatihan Manajer Kasus, mereka melanjutkan proses penginputan data dengan memperbaiki data variabel-variable terkait perawatan TBC RO. Setelah Manajer Kasus selesai melakukan input, mereka memberikan hasil input pendampingan kepada  SR untuk dilakukan verifikasi. Pada malam harinya, acara pelatihan ini ditutup oleh Dwi Aris Subakti selaku MEL Manager yang menyampaikan agar ilmu yang diperoleh dapat diaplikasikan dan diterapkan secara baik ketika para MK kembali untuk melaksanakan tugasnya.