Country Team The Global Fund Menilik Implementasi Program TBC di Indonesia

The Global Fund adalah sebuah mekanisme yang dibentuk oleh PBB untuk menghimpun dana bantuan global dengan tujuan memerangi tiga penyakit yaitu AIDS, TBC dan Malaria. Sejak tahun 2003 hingga 2023, Indonesia mendapat alokasi hibah The Global Fund sebesar USD 1,45 Miliar (Rp 20,89 Triliun) yang diberikan kepada Principal Recipient (PR) yaitu Kementerian Kesehatan dan komunitas. Hingga saat ini investasi The Global Fund untuk Indonesia merupakan yang terbesar ke-2 di Asia setelah India. 

Foto bersama tim The Global Fund dengan kader komunitas

PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI merupakan salah satu penerima hibah dari The Global Fund dengan fokus untuk eliminasi TBC. Program yang dilaksanakan selama tiga tahun ini menjadikan komunitas harus bekerja keras di 30 provinsi wilayah intervensi untuk meningkatkan literasi masyarakat terkait TBC dan memastikan bahwa pasien yang sakit TBC dapat dirujuk dan diobati sampai sembuh.

Sehingga, untuk menilik lebih jauh tentang implementasi pelaksanaan program eliminasi TBC, dua supervisor dari The Global Fund yaitu Thuy-Co Caroline Hoang dengan Bryce Cleborne mengunjungi beberapa fasyankes di Indonesia selama dua hari pada tanggal 27-28  Mei 2023.

Tim The Global Fund melihat proses dampingan untuk pasien TBC di Klinik Asisi

Di hari pertama, Thuy-Co dan Bryce mengunjungi Klinik Asisi di Tebet, Jakarta Selatan didampingi beberapa tim dari CCM Indonesia, Kementerian Kesehatan, USAID Star dan PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Kegiatan kunjungan diawali dengan melihat kondisi dari ruang dan alur pemeriksaan yang diterapkan di Klinik Asisi. Ibu Wiwin sebagai salah satu penanggung jawab dari program TBC di Klinik tersebut pun menjelaskan secara detail proses pemeriksaan pasien TBC, stok obat, fasilitas laboratorium dan unsur terkait TBC lainnya. Perlu diketahui bahwa Klinik Asisi merupakan salah satu klinik swasta yang telah ber-MoU untuk kerjasama dalam penemuan terduga dan penatalaksanaan kasus TBC. Setelah menilik alur pemeriksaan beserta dengan fasilitasnya, tim The Global Fund menuju ke aula untuk mendengarkan bagaimana proses eliminasi TBC di Klinik Asisi berjalan. Sesi presentasi dimulai dari Ibu Wiwin yang menyampaikan progress capaian dan bentuk kerjasama yang dijalankan selama ini bersama dengan fasyankes lainnya di wilayah tersebut. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab. Ibu Halimah, sebagai wakil dari kader komunitas pun berkesempatan untuk menyampaikan alur investigasi kontak di wilayahnya serta beberapa isu dilapangan baik dari segi hambatan, capaian, serta penerimaan masyarakat terhadap peran kader itu sendiri. 

Pasien TBC RO mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan tim dari The Global Fund
Pemeriksaan stok obat untuk pasien TBC di RSIJ Cempaka Putih

Melanjutkan kegiatan di hari kedua, tim The Global Fund melakukan kunjungan menuju ke Puskesmas Sawah Besar dan Rumah Sakit Islam Jakarta, Jakarta Pusat. Di kedua fasyankes tersebut, tim  The Global Fund diajak untuk melihat laboratorium, poli TBC, stok obat, dan fasilitas lainnya untuk pasien TBC. Selain itu, tim The Global Fund juga berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu pasien TBC RO di masing-masing fasyankes. Dengan kesempatan itu, pasien diberikan ruang untuk menyampaikan bagaimana proses pengobatan yang dilakukannya selama ini, progress penyembuhan, dampingan dari komunitas, dan bantuan-bantuan yang diterima baik dari Puskesmas/Rumah Sakit maupun komunitas selama ini.

Ibu Ambar (kader komunitas) menceritakan implementasi eliminasi TBC di lapangan

Selanjutnya, di kedua fasyankes tersebut juga terdapat sesi diskusi, yang mana masing-masing fasyankes menyampaikan progress capaian, implementasi serta kerjasama yang dijalin terutama perihal dengan data indeks. Di kedua sesi tersebut, komunitas khususnya Ibu Ambar sebagai salah satu wakil dari kader komunitas mengucapkan terima kasih kepada The Global Fund atas bantuan yang diberikan. Ibu Ambar sebagai kader sangat senang karena bisa membantu pasien hingga sembuh. 

Foto bersama dengan seluruh stakeholder di Puskesmas Sawah Besar

Dengan kunjungan tersebut, besar harapan bahwa The Global Fund dapat menampung semua informasi dan aspirasi sebagai salah satu referensi dalam keputusan pembuatan kebijakan nantinya. Komunitas juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh stakeholder terkait atas bantuan dan kerjasama yang dijalin selama ini sehingga dapat mengoptimalkan proses eliminasi TBC yang dijalankan.

 

Biar Saya Saja yang Sakit (TBC), Anak Saya Jangan (Harus Tetap Sehat)

Foto bersama seluruh narasumber dengan seluruh peserta Diskusi Publik TPT 2022

Sleman, 2 September 2022 – Indonesia merupakan negara ketiga dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi di dunia (GTR 2021). Tidak semua orang yang terinfeksi kuman TBC akan mengalami gejala sakit TBC, kondisi ini dikenal dengan infeksi laten TBC (ILTB). Untuk dapat mengatasi kondisi tersebut diupayakan pemberian obat Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) kepada kontak serumah dan kontak erat dengan pasien TBC yang sehat dan yang berisiko tinggi terkena TBC. Pada semester pertama Tahun 2022, capaian TPT di Indonesia mencapai 3.420 orang, angka ini walaupun masih rendah namun perlu diapresiasi semua pihak, mengingat cakupan pasien TBC bakteriologis baru yang ditemukan pada periode Januari-Juni 2022 sebanyak 91.869 orang. Sehingga dibutuhkan penguatan kolaborasi dan usaha lebih masif untuk memberikan TPT.

Rendahnya cakupan pemberian TPT masih terkendala beberapa hal, antara lain: (a) masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai ILTB dan TPT, termasuk keamanan pemberian TPT; (b) sehingga masih terjadi penolakan yang datang dari orang tua/wali/keluarga anak dengan faktor risiko TBC yang kontak erat atau tinggal serumah dengan pasien TBC serta (c) pemahaman pada tenaga kesehatan yang masih bervariasi terhadap perlu atau tidaknya Pemberian TPT, serta (d) ketersediaan  dan jaminan keberlanjutan logistik TPT di fasilitas kesehatan. Untuk menjawab hal-hal tersebut, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama SR TBC Siklus Indonesia DIY sebagai Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil Penanggulangan TBC menggelar kegiatan Diskusi Publik bertajuk “Tanpa Tuberkulosis, Anak dan Keluarga Sehat, Indonesia Kuat!” di Sekretariat Daerah Kab. Sleman, DIY pada Jumat, 2 September 2022.

Penyampaian Presentasi oleh Country Officer WHO Indonesia, dr. Setiawan Jati Laksono

Menurut Country Officer WHO Indonesia, dr. Setiawan Jati Laksono, Terapi Pencegahan TBC adalah pengobatan yang ditawarkan kepada perseorangan yang diperkirakan memiliki risiko sakit TBC dalam rangka mengurangi risiko sakit TBC tersebut. TPT diperlukan karena mayoritas orang yang terinfeksi TBC tidak memiliki gejala atau tanda TBC, tetapi memiliki risiko untuk mendapatkan sakit TBC. dr. Setiawan juga menegaskan bukti ilmiah dari TPT “TPT sudah terbukti sebagai intervensi yang efektif untuk menghindarkan individu dari sakit TB, bahkan mengurangi risiko mengalami TB sebesar 60-90% dibandingkan dengan individu lain yang memiliki karakteristik yang sama tetapi tidak mendapatkan TPT.” Hal ini juga diperkuat dengan informasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) diwakili oleh DR. dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K), bahwa balita sehat yang kontak dengan pasien TBC harus mendapatkan TPT, TPT terbukti efektif mencegah sakit TBC dan memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Efek samping yang timbul hanya sedikit dan sebagian besar ringan serta dapat sembuh secara sempurna”. Dr. Nastiti juga memberikan penekanan pentingnya memberikan perhatian pada TBC anak, untuk mencegah kasus TBC di masa dewasa, yang berpotensi menjadi sumber penularan baru.

(Diskusi Panel 1 dengan topik “Kebijakan dan Strategi Mendukung TPT di DIY”)

Kekuatan pemerintah dalam pemberian TPT tentu menjadi modal dasar. Menurut Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes DIY, dr. Ari Kurniawati, MPH, telah dibentuk Tim Percepatan Penanggulangan TBC yang disahkan dengan Surat Keputusan Gubernur DIY nomor 55/TIM/2022 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden 67/2021. Salah satu rekomendasi Dinkes DIY untuk melibatkan Tim Percepatan dan kolaborasi dalam Pemberian TPT adalah “seluruh organisasi profesi dapat mensosialisasikan TPT kepada semua anggota profesi; sedangkan untuk fasyankes dapat berperan untuk menyiapkan SDM pelaksana TPT”. Hal ini dikuatkan oleh Ketua KOPI (Koalisi Organisasi Profesi Indonesia) TB DIY, yang merekomendasikan tiga strategi, “untuk peningkatan TPT balita dan kontak serumah kita dapat bersama-sama (1) mengadvokasikan memberikan tanggung jawab keberhasilan TPT pada kepala pemerintahan sehingga menjadikan TPT sebagai sebuah Gerakan bersama; (2) maksimalkan IK dan deteksi ILTB di populasi rentan (3) serta komunitas dapat mengaktifkan peran dasawisma untuk pendampingan anggota yang menerima TPT maupun pengobatan TBC”.  Advokasi kepada pemerintah juga disambut baik oleh H. Koeswanto, S.IP selaku Ketua Komisi D DPRD DIY yang menyatakan dukungannya untuk Pemberian TPT dan upaya penanggulangan TBC di DIY. Menurut Ketua Komisi D DPRD DIY, pemerintah daerah harus yakin dengan upaya penanggulangan TBC dan bersama-sama bertanggung jawab dalam menanggulangi TBC.

(Diskusi Panel 2 dengan topik “Dukungan Organisasi Profesi, Dukungan Komunitas dan Pengalaman Puskesmas dalam Pemberian TPT”)

Bagaimana peran komunitas dan fasilitas layanan kesehatan? Rekomendasi lain dari Dinkes DIY juga membicarakan peningkatan peran komunitas dalam investigasi kontak untuk menemukan kontak yang berhak mendapatkan TPT, memotivasi untuk memulai TPT dan menjadi pengawas menelan obat TPT. Peran komunitas dalam konteks pelaksana dana hibah The Global Fund untuk TBC diwakili Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, juga telah mengembangkan beberapa strategi peningkatan cakupan TPT melalui video partisipatif oleh kader dan Tim Kerja Komunitas mengenai TPT dan implementasi pengawasan menelan obat TBC bersamaan dengan pemberian TPT berbasis keluarga menggunakan lembar edukasi khusus TPT. Rakhmawati selaku PMELC SR Siklus DIY menyampaikan bahwa pihak komunitas mengelola kader-kader TBC untuk dapat melakukan komunikasi persuasif kepada keluarga dengan balita yang kontak serumah dengan pasien TBC. Peran dari komunitas tentu sebagai pendukung dari peran utama fasilitas kesehatan (Puskesmas) yang melakukan skrining pada keluarga (kontak serumah) pasien baru TBC terutama balita dan anak untuk mengetahui status TBC dan segera diberikan TPT jika tidak terkonfirmasi TBC, sebagaimana diungkapkan dr. Cahyo Susilowati selaku dokter fungsional Puskesmas Cangkringan. Beliau juga menyampaikan perlunya pendampingan dengan konseling serta pemantauan efek samping dari TPT.

Diskusi Publik ditutup dengan Closing Remarks dari Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc selaku Ketua Technical Working Group (TWG) TB – CCM Indonesia yang menyatakan bahwa “Asumsinya, ILTB dan pemberian TPT adalah kunci sukes untuk dapat eliminasi TBC. Untuk dapat mengimplementasikan TPT diperlukan kepemimpinan yang kolaboratif dengan budaya kerja berbasis bukti”.  

Selanjutnya Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI akan terus mengupayakan kolaborasi untuk memperkuat dukungan sistem untuk Pemberian TPT sekaligus “demand creation” sehingga gerakan bebas TBC dapat diwujudkan untuk mewujudkan eliminasi TBC 2030. Sebagaimana diungkapkan salah satu pasien TBC yang bersedia memberikan TPT kepada Tim Kerja Komunitas yang mendampingi “Biar saya saja yang sakit (TBC), anak saya jangan (harus tetap sehat)”.

 Komunitas Berdaya, Akhiri TBC di Indonesia!

Rapat Koordinasi Nasional Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI 2022: Evaluasi dan Penyusunan Strategi sebagai Upaya Peningkatan Implementasi Program Eliminasi Tuberkulosis

(Ibu Heny didampingi oleh para manajer menyampaikan arahan kepada 30 SR Provinsi dan 1 SR Tematik dalam acara Rakornas 2022)

Jakarta, 26 Maret 2022 Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dengan tema “Komunitas Berdaya, Akhiri TBC di Indonesia” di Bogor.  Acara dimulai pada hari Senin (18/7/2022) hingga Jumat (22/7/2022). Pertemuan Rakornas tahun 2022 menjadi agenda penting bersama untuk melakukan pembaharuan informasi, strategi implementasi sesuai dengan perkembangan dan capaian kontribusi komunitas dalam penanggulangan Tuberkulosis (TBC) di Indonesia . Selain itu, Rakornas digunakan sebagai ruang untuk memperkuat kemampuan pengelola program dalam menggunakan tools perencanaan, monitoring dan evaluasi dari aspek program, keuangan, pengelolaan pengetahuan dan manajemen data.

Dalam acara pembukaan, Bapak Muhammad Hanif selaku Authorized Signatory PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI menyampaikan bahwa penanganan eliminasi TBC  adalah tantangan yang luar biasa menantang banyak sekali hambatannya, namun beliau yakin bahwa setiap elemen komunitas mempunyai peran pentingnya masing-masing. ”Kita sudah mencapai sesuatu, tapi masih ada tantangan dan waktu untuk memanfaatkan sisa waktu.  Kader, Patient Supporter (PS) dan Manager Kasus (MK) TBC  adalah ujung tombak melakukan Investigasi Kontak, rujukan dan meyakinkan warga dan masyarakat serta membantu memastikan pengobatan TBC sampai selesai. Dan Rakornas ini adalah suatu upaya untuk menemukan solusi dan jalan keluar atas segala hambatan yang terjadi di lapangan,” ucap beliau.

(Ibu Heny Prabaningrum sebagai National Program Director menyampaikan sambutannya di Rakornas)

Dilanjutkan oleh Ibu Henny selaku National Program Director dari PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, beliau menambahkan bahwa “Rapat Koordinasi adalah momentum untuk melakukan refleksi terkait segala pembelajaran yang sudah dilakukan di semester lalu. Kita juga harus mencari dan memutuskan strategi seperti apa yang akan kita ambil dalam upaya peningkatan implementasi program sehingga capaian yang diperoleh juga maksimal,” tambahnya. 

Setelah sambutan dari Authorized Signatory dan National Program Director acara dilanjutkan dengan pemaparan situasi Konsorsium Q5 2022 yang disampaikan oleh para manager. Dwi Aris Subakti (Monitoring Evaluation and Learning (MEL) Manager PR PB-STPI) menjelaskan terkait Capaian Indikator Utama Wilayah Kerja Konsorsium Komunitas Q5 2022, dilanjutkan dengan pemaparan  Kontribusi Pelaksanaan Kegiatan serta Pengelolaan Kader dalam Capaian Indikator Utama yang disampaikan oleh Barry Adhitya (Program Manager PR PB-STPI), kemudian update Perkembangan Serapan Anggaran yang dijelaskan oleh Farhan (Finance and Operation Manager PR PB-STPI), dan yang terakhir yaitu pemaparan Perkembangan Kemitraan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Konsorsium Komunitas yang disampaikan oleh Sugeng (Human Resources and Administration  Manager PR PB-STPI).

 

(Bapak Setiawan Jati Laksono dari WHO Indonesia menjadi moderator  Diskusi Panel 1 dengan tema : Kemitraan Komunitas dengan Pemerintah Menuju Eliminasi TBC di Indonesia)

Selanjutnya di hari kedua, acara dilaksanakan dengan pemberian materi dan diskusi yang disampaikan oleh para narasumber ahli. Diskusi panel 1 di moderatori oleh Setiawan Jati Laksono dari WHO Indonesia dengan mengusung tema “Kemitraan Komunitas dengan Pemerintah Menuju Eliminasi TBC di Indonesia”. Diskusi ini dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia yaitu drg. Agus Suprapto, M.Kes. yang menjelaskan tentang Program Terpadu Kemitraan Penanggulangan Tuberkulosis (PROTEKSI) dan Pelibatan Konsorsium Komunitas untuk Percepatan Eliminasi TBC, kemudian dilanjutkan dengan presentasi dari dr. Tiffany Tiara Pakasi selaku Direktur P2PM Kementerian Kesehatan RI yang memaparkan terkait Strategi Kolaborasi Active Case Finding (ACF) Pemerintah dan Konsorsium Komunitas untuk Percepatan Eliminasi TBC, disambung dengan pemaparan dari Ketua Umum PP Asosiasi Dinas Kesehatan, dr. M. Subuh, MPPM dengan materi Strategi Kolaborasi Adinkes dan Konsorsium Komunitas dalam Pencapaian dan Pemantauan Standar Pelayanan Minimal (SPM) TBC, dan diakhiri dengan penjelasan dari TWG TB,  Adang Bachtiar, MPH, DSc. dengan materi Harmonisasi Target, Capaian, Strategi Implementasi GF TB Pemerintah, Adinkes dan Komunitas.

Setelah diskusi panel 1 berakhir, acara disambung dengan diskusi panel 2 yang dipimpin oleh Meirinda Sebayang dari Jaringan Indonesia Positif. Narasumber yang hadir yaitu Zero TB yang menjelaskan terkait Pembelajaran dan Kolaborasi Zero TB dengan Komunitas dalam ACF Menggunakan Chest X-Ray di DIY, dilanjutkan pemaparan dari USAID TB Private Sector (TBPS) dengan materi  Peluang Kolaborasi USAID TBPS dengan Komunitas dalam Pendekatan Public Private Mix dan diakhiri dengan penyampaian materi dari SWG TB-HIV dengan tema Strategi Kolaboratif Implementasi RAN TB HIV. Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan pemberian Tanggapan Kolaborasi Konsorsium dan Program Eliminasi di Indonesia yang disampaikan oleh dr. Carmelia Basri, M.Epid (Ahli Tuberkulosis).

Kemudian di hari kedua, pemaparan materi dan update juga disampaikan kembali oleh para manajer dan SR Tematik. Dwi Aris Subakti (MEL Manager PR PB-STPI) menjelaskan terkait Hasil Kajian dan Pembelajaran Konsorsium, Farhan (FO Manager PR PB-STPI) memaparkan Hasil Temuan dan Rekomendasi Auditor, Budi Hermawan (Sub-Recipient Manager  Tematik POP TB) mempresentasikan Peran Strategis SR Tematik dalam Community System Strengthening TBC (CRG, CBMF, Paralegal, Hotline), dan yang terakhir Barry Adhitya (Program Manager PR PB-STPI) menyampaikan terkait Sinkronisasi Program Konsorsium terhadap Strategi Nasional Konsorsium Komunitas dalam Eliminasi TB. Setelah semua presentasi telah selesai disampaikan, peserta diarahkan untuk saling mengelompok per grup dengan fasilitator masing-masing di wilayahnya. Dalam grup tersebut, peserta diwajibkan untuk melakukan forum diskusi terkait status situasi Konsorsium, berdasarkan anvar, hasil monthly meeting SR 2022 terkait dengan indikator utama dan proses Konsorsium Komunitas PB-STPI serta tantangan dan peluang implementasi program Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, antara lain: pencatatan dan pelaporan, managemen, kapasitas dan sumber daya internal SR dan faktor pihak eksternal.

(Anton dari SR Riau mewakili kelompoknya untuk mempresentasikan hasil diskusi)

Berlanjut di hari ketiga, seluruh peserta melanjutkan forum diskusi sesuai dengan pertanyaan yang telah diberikan sebelumnya. Setelah sesi diskusi berakhir, Barry Adhitya sebagai Program Manager memoderatori jalannya presentasi untuk menyampaikan hasil diskusi dari setiap grup. Terdapat empat perwakilan yang mempresentasikan hasil diskusi dari setiap grup yaitu Hidayat SRM NTB, Lukman SRM Banten, Anton SRM Riau dan Beni SRM Jambi. Setelah pemaparan presentasi dari peserta selesai, dr. Carmelia Basri, M.Epid , Authorized Signatory  & Management Advisory Team, National Program Director, serta para Manajer menanggapi hasil presentasi yang disampaikan oleh peserta.

(Thoriq Hendrotomo dari DM Coordinator menyampaikan materi terkait dengan situasi dan kebijakan enabler)

Mengakhiri lokakarya ini, acara masih dilanjutkan dengan pemberian materi dari beberapa narasumber. Pemaparan yang pertama yaitu tentang Refreshment Kader yang disampaikan oleh Field Program Coordinator, Rahmat Hidayat. Kemudian disusul dengan penjelasan tentang situasi dan kebijakan enabler oleh Raisa Afni Afifah (MDR-TB Coordinator), Thoriq Hendrotomo (DM Coordinator) dan Subhan (IC Coordinator),  dan diakhiri oleh penjelasan tentang update Strategi dan Produk Komunikasi Konsorsium oleh Permata Silitonga (KM Coordinator) dan Winda Eka Pahla (Communication Staff).

Di akhir kegiatan rakornas, dr. Carmelia Basri, M.Epid juga memberikan nasihat dan petuah kepada seluruh peserta agar terus bekerja dengan semangat dalam mencapai tujuan. Dan setelah sesi tanggapan berakhir, Eko Komara selaku Authorized Signatory juga menyampaikan bahwa pemberdayaan komunitas akan dapat terus tercipta jika terdapat kesinambungan dan keselarasan bekerja baik antara pemerintah, organisasi masyarakat dan lainnya. Oleh sebab itu, setelah acara Rakornas berakhir, beliau berharap bahwa seluruh elemen dapat berkoordinasi secara harmonis untuk mencapai tujuan bersama. Kemudian, Direktur Program Nasional, Ibu Heny, didampingi para manajer menutup acara rakornas 2022 dengan meminta seluruh peserta untuk bekerja secara kompak. Beliau juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta yang telah hadir untuk bersama-sama mengevaluasi dan menentukan strategi yang akan dilakukan di semester selanjutnya agar mendapat capaian yang lebih baik kedepannya. 

TALKSHOW “TALK x BINCANG TBC 2022” : Mari Cegah TBC Anak Dengan Pemberian TPT pada Balita

(Foto bersama dengan narasumber-narasumber talkshow yaitu Dokter Hetty, Ibu Khadijah, Ibu Julaeha dan Kak Rinaldi)

Tuberkulosis atau TBC merupakan penyakit infeksi yang  banyak menyebabkan kematian. Tidak hanya menyerang orang dewasa, TBC juga dapat terjadi pada anak-anak. Global TB Report 2021 memperkirakan bahwa terdapat 4 juta anak usia di bawah 5 tahun terkena TBC akibat kontak serumah dengan pasien TBC. Sehingga pada kasus ini, pemberian obat TPT (Terapi Pencegahan TBC) menjadi langkah penting untuk dilakukan kepada orang-orang yang melakukan kontak erat dengan pasien terutama bagi balita.

Perlu diketahui, TPT adalah serangkaian program pemberian pengobatan dengan satu atau lebih jenis obat antituberkulosis yang diberikan untuk mencegah berkembangnya penyakit TBC di tubuh seseorang. Pemberian obat TPT dapat diberikan dalam jangka waktu 3-6 bulan secara rutin sesuai dengan pertimbangan dokter. Upaya pemberian TPT ini merupakan usaha untuk mengurangi jumlah balita yang menjadi sakit TBC. Namun, sayangnya, literasi dan pengetahuan masyarakat terkait dengan TPT masih sangat kurang. Bahkan, beberapa keluarga yang kontak erat dengan pasien pun menolak untuk mendapatkan TPT.

Menanggapi kurangnya informasi tentang TPT di masyarakat, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama dengan Stop TB Partnership Indonesia mengadakan acara Talkshow TALK x BINCANG TBC sebagai upaya kolaborasi  untuk mengajak  dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan  informasi TPT kepada anak.

Acara ini menyuguhkan talkshow komunikatif spesial Hari Anak Nasional 2022 dengan mengundang 4 narasumber yaitu Ibu Khadijah (Orangtua Anak Penerima TPT), Ibu Julaeha (Kader TPT Banten), dr. Hetty Wati Napitupulu, SpA (Dokter Spesialis Anak) dan Apt. Rinaldi Nur Ibrahim, S.Farm (Duta TBC) yang diselenggarakan pada tanggal 23 Juli 2022 di kantor PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI.

Acara talkshow dibuka oleh pemaparan dari Apt. Rinaldi Nur Ibrahim yang menjelaskan kondisi TBC di Indonesia. “Indonesia ini berada pada posisi ke-3 di dunia untuk kasus TBC. Sebenarnya kalau dibandingkan dengan tahun 2020, kasus TBC di Indonesia ini mengalami penurunan, namun bukan karena banyak yang sembuh tapi karena angka notifikasi kasusnya menurun akibat dampak pandemi COVID-19,” ucapnya.  Notifikasi yang rendah tersebut juga menunjukkan bahwa kemungkinan penularan TBC masih banyak terjadi. Sehingga, pemberian TPT merupakan langkah yang baik untuk mencegah terjadinya sakit TBC dan menurunkan beban TBC di Indonesia.

(Ibu Julaeha, Kader dari SR Banten menceritakan usahanya dalam memberikan edukasi TPT kepada masyarakat di wilayahnya)

Banyaknya kasus TBC juga dialami oleh provinsi-provinsi di daerah contohnya yaitu Banten. Ibu Julaeha selaku kader TBC mengatakan bahwa wilayah kerjanya yaitu Banten menduduki peringkat ke-3 dengan kasus TBC tertinggi di Indonesia.”Kasus di wilayah kami masih tinggi. Sehingga butuh adanya sosialisasi terhadap masyarakat. Karena eliminasi TBC tidak hanya dapat bertumpu kepada tenaga kesehatan, namun juga para pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah baik dari tingkat desa hingga nasional,” tuturnya. 

Sehubungan dengan situasi tersebut, dr. Hetty sebagai dokter spesialis anak memberikan tanggapan terkait dengan kondisi genting yang terjadi saat ini. Beliau menyampaikan bahwa pemberian TPT adalah langkah yang baik sebagai upaya eliminasi TBC terutama pada anak-anak.”TBC ini merupakan penyakit infeksi yang dapat terjadi dalam jangka panjang di tubuh kita. Sehingga, semua anak terutama balita yang kontak dengan pasien TBC Paru harus diberikan TPT. Karena daya tahan tubuh anak-anak belum cukup kuat sehingga ada kemungkinan resiko terinfeksi kuman TBC yang nanti didalam tubuhnya dapat terjadi infeksi TBC Laten bahkan TBC,” jelasnya. 

Walaupun sudah kita pahami bahwa pemberian TPT sangat penting untuk mencegah TBC, namun adanya pro kontra opini di masyarakat terkait dengan TPT yang masih sering dijumpai oleh Ibu Julaeha. “Saat melakukan Investigasi Kontak, kami masih sering menemui beberapa orangtua yang menolak untuk kita kunjungi apalagi untuk mendapatkan TPT. Maka saya sebagai kader berharap semua pemangku kepentingan dapat turun tangan untuk membantu mensosialisasikan informasi terkait TPT kepada seluruh masyarakat,” ucapnya.

(Ibu Khadijah selaku orang tua dari anak yang menerima TPT menyampaikan pendapatnya terkait dengan TPT)

Dibalik banyaknya orang tua yang menolak untuk anaknya mendapatkan TPT, Ibu Khadijah sebagai orang tua anak yang menerima TPT mempunyai pandangan lain. Beliau sangat yakin bahwa TPT dapat membantu anaknya untuk terhindar dari TBC. “Kondisi anak saya setelah mendapatkan TPT kondisinya sehat dan baik. Saya menginformasikan keluarga saya bahwa TPT ini sangat baik untuk kesehatan keluarga. Jadi anak saya, bahkan kami sekeluarga juga memutuskan untuk melakukan TPT,” jelas beliau. 

Di akhir dialog, seluruh narasumber mengajak seluruh masyarakat untuk bertekad melakukan eliminasi TBC 2030. Mari kita lindungi generasi Indonesia dari kuman TBC dengan melakukan TPT. Semoga, kegiatan Talkshow TALKS x BINCANG TBC ini, dapat membantu meningkatkan literasi masyarakat terkait dengan TPT dan membantu Indonesia bebas TBC tahun 2030. 

 

BAZNAS dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Luncurkan Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3” untuk Pasien Tuberkulosis

JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PB-STPI) berkolaborasi dalam meluncurkan Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3” untuk pasien tuberkulosis (TBC). Setiap tahunnya HTBS diperingati pada 24 Maret, yang mana tahun 2022 bertema “invest to End TB, Save Lives”. Konsorsium PB-STPI memaknai tema tersebut dengan mengupayakan dukungan finansial melalui kolaborasi penggalangan dana untuk pasien TBC bersama BAZNAS.

Berlokasi di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, peluncuran galang dana diisi dengan webinar bertema “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC”. Kegiatan dibuka oleh Pimpinan BAZNAS, Direktur Utama RSIJ dan Authorized Signatories PB-STPI. RSIJ sebagai RS swasta pertama di Jakarta yang merintis layanan TBC sangat mengapresiasi upaya kolaborasi BAZNAS dan PB-STPI.

“Masalah kesehatan saling berkelindan, khususnya berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Sangat mengapresiasi terlibatnya BAZNAS.Jika kita bisa melakukan upaya secara kolektif, maka akan semakin kuat dalam menanggulangi TBC.” ujar dr Pradono selaku Dirut RSIJ CP.

Sementara itu Pimpinan BAZNAS RI, Saidah Sakwan MA menyebut sinergi yang terjalin merupakan bentuk dukungan BAZNAS dalam mengentaskan penyakit TBC.

“Melalui kolaborasi ini BAZNAS berupaya meningkatkan pemahaman terhadap pendekatan filantropi sebagai upaya investasi yang berkelanjutan dalam mendukung Gerakan eliminasi TBC,” ujar Saidah.

Menurut Saidah, sebagai langkah awal penggalangan dana akan dimulai pada April-Juni 2022, dengan membuat sebuah sistem untuk fundraising dari BAZNAS yang diperuntukkan kepada pasien TBC.

Turut hadir sebagai pembicara Pimpinan BAZNAS RI Rizaludin Kurniawan M.Si pada talkshow BAZNAS dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dengan tema “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC”.

Konsorsium Penabulu-STPI menjelaskan, kegiatan kampanye dan galang dana untuk pasien TBC ini sangat diperlukan karena dana yang tersedia dari The Global Fund saat ini fokus pada pengobatan, penemuan kasus, serta pendampingan pasien. Namun, pasien dan keluarga pasien TBC memerlukan dukungan lain selama masa pengobatan, seperti bahan pangan, vitamin, dan dana kebutuhan harian.

Sejalan dengan pengalaman sebagai penyitas TBC, yakni Budi, Ketua POP TB. “Terdapat beragam hambatan dalam menuju jalur kesembuhan yang dihadapi oleh pasien TBC. Agar dapat menjalankan proses pengonbatan dan sembuh, maka pasien TBC membutuhkan dukungan mulai dari gejala muncul, mengakses perawatan, diagnosis, mulai pengobatan, menjalani pengobatan dan rehabilitasi. Penting untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, rumah sehat, bantuan sosial dan pendampingan psikososial”, jelasnya.

dr. Cut Yulia selaku PJ Poli TB MDR RSIJ menyampaikan bahwa durasi pengobatan yang lama dan kompleksitas pengobatan menyebabkan dampak ekonomi karena masih banyak perusahaan yang belum bisa menerima pegawai dengan TB sehingga menyebabkan pasien kehilangan pekerjaan. Keadaan seperti ini mempengaruhi kepatuhan dan akses pasien terhadap pengobatan, efek samping obat (ESO) yang beragam juga seringkali menyebabkan turunnya motivasi berobat.

“Untuk itu, kami bersama BAZNAS berupaya dalam mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TBC di Indonesia dengan memenuhi kebutuhan gizi pasien TBC melalui penggalangan dana ini,” ujar dr Nurul Nadia.

Authorized Signatory Konsorsium Penabulu-STPI, dr Nurul Nadia mengucapkan terima kasih kepada BAZNAS yang telah memfasilitasi penggalangan dana ini dengan baik.”Semoga Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3″ dapat berjalan dengan sukses dan bermanfaat bagi para pasien TBC.”

dr. Erlina Burhan, selaku Ketua Organsiasi Profesi Tuberkulosis (KOPI TB) menyampaikan perlu adanya kolaborasi seluas-luasnya dan mengapresiasi upaya BAZNAS dan PB-STPI. “Jika kita tetap mempertahankan “business as usual”, maka kita tidak akan bisa mencapai target eliminasi TB pada 2030,” jelasnya.

Penggalangan Dana 24/3 dengan tema “Dukung Sembuh; Sehat Bersama” merupakan program Konsorsium Penabulu-STPI dan BAZNAS untuk pasien TBC berupa pemberian PMT atau santunan untuk 30 provinsi di seluruh Indonesia. “Upaya ini diharapkan dapat mendukung pasien untuk sembuh dan bisa sehat bersama, ” ujar Barry Adithya, Program Manager PB-STPI.

Bertepatan dengan hari Kesehatan sedunia, peluncuran galang dana juga mengangkat tema terkait Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC. Dengan menyelamatkan bumi, maka dapat berkontribusi pada tingkat kesehatan manusia secara luas, termasuk untuk dapat Sehat Bersama dalam upaya penanggulangan TBC.

Kondisi rumah menjadi salah satu prioritas yang perlu diupayakan dalam eliminasi TBC. “Saat pasien menjalani pengobatan dan tinggal di rumah yang tidak sehat, keadaan ini bisa meningkatkan risiko penularan dalam rumah yang sangat tinggi.” Ujar Ruli Oktavian, ketua YAHINTARA. Oleh karena itu, YAHINTARA selalu mengembangkan pembangunan rumah yang mudah dan murah.

“Pada kesempatan kali ini, BAZNAS juga memberikan bantuan awal kepada 20 pasien dan keluarga pasien TBC sebagai simbolisasi peluncuran penggalangan dana “24/3”. Kami berharap penggalangan dana ini dapat dilakukan di 30 provinsi dan berjalan secara berkelanjutan,” jelasnya.

Untuk melihat peluang pendekatan filantropi sebagai alternatif co-financing eliminasi TBC, Dr. Adang Bachtiar selaku Ketua TWG TB Indonesia menyampaikan bahwa perlu adanya komitmen politis dari berbagai pihak dalam meningkatkan sumber daya dalam menanggulangi TBC. Komitmen ini bisa menjadi salah satu strategi transisi jika pendanaan dari GF sudah selesai di Indonesia.

Bilangan Komitmen Penanggulangan TBC dan Pelibatan Komunitas untuk Optimalisasi Investasi Selamatkan Jiwa

Jakarta, 23 Maret 2022 – Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasus Tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia (2021), dan hal ini menjadikan beban ekonomi bagi Negara. Pada tingkat global, terdapat kebutuhan mendesak untuk menginvestasikan sumber daya agar dapat mengakhiri TBC. Dalam konteks penanggulangan TBC di Indonesia, telah terjalin kerjasama antar pihak pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS), akademisi dan swasta. Sebagai OMS, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PR PB-STPI) memaknai HTBS dengan melakukan advokasi melalui kegiatan Outlook Tuberculosis 2022: Optimalisasi Investasi untuk Akselerasi Eliminasi TBC, Selamatkan Indonesia dari TBC. Berlangsung melalui Webinar pada 23 Maret, Outlook TBC 2022 menjadi ruang aspirasi bagi komunitas untuk mendapatkan acuan perkembangan strategi pemerintah dalam menanggulangi TBC serta mempersiapkan strategi untuk bermitra dan mengadvokasikannya kepada jejaring lintas sektor.

Diawali dengan keynote speaker dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), oleh Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS (Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) menyampaikan bahwa penanggulangan TBC berkaitan erat dengan arah transformasi kesehatan dalam G20. Pemerintah berupaya untuk melibatkan semua pihak agar dapat berperan dalam upaya skrining dan deteksi serta mengalokasikan anggaran dalam memenuhi kebutuhan pasien TBC. Lebih lanjut, beliau menjelaskan pentingnya penguatan kemitraan bersama komunitas untuk dapat bersama mengoptimalkan akselerasi dan pemenuhan tujuan, “pendampingan dari komunitas sangat berdampak pada keberhasilan pengobatan,” tegasnya.

Pernyataan yang disampaikan oleh Dirjen P2P Kemenkes menjadi pemicu diskusi untuk panel pertama yakni “Peluang Indonesia untuk Berkolaborasi dalam Memenuhi Komitmen UNHLM TBC 2022”. Diskusi tersebut dipimpin oleh dr. Nurul Nadia Luntungan, MPH (Authorized Signatory PR Konsorsium Penabulu-STPI) dan menghadirkan 5 narasumber ahli. Sejalan dengan hal tersebut, dr. Donald Pardede, MPPM (Dewan Penasehat STPI) menekankan kembali bahwa terdapat rekognisi peran komunitas dalam mengoptimalkan strategi kunci dan peta jalan mencapai tujuan eliminasi TBC. Bapak Donald kembali mengingatkan bahwa target Indonesia untuk eliminasi TBC bukan hal yang mudah, namun tetap harus optimis dalam mengurangi penularan TBC. Khususnya pada 7 komitmen UNHLM yang menjadi acuan eliminasi TBC, diantaranya (1) negara harus memenuhi dalam diagnosis dan pengobatan; (2) negara harus hadir dalam pengobatan TBC; (3) negara harus hadir dalam mendukung pendanaan yang berkesinambungan; (4) negara harus hadir dalam mengakhiri stigma TBC; (5) negara memastikan ketersediaan vaksin; (6) negara memfasilitasi pengembangan kerangka multisektoral dan (7) Negara melaporkan kemajuan penanganan TBC.

Sejalan dengan hal tersebut, dr. Donald Pardede, MPPM (Dewan Penasehat STPI) menekankan kembali bahwa terdapat rekognisi peran komunitas dalam mengoptimalkan strategi kunci dan peta jalan mencapai tujuan eliminasi TBC. Bapak Donald kembali mengingatkan bahwa target Indonesia untuk eliminasi TBC bukan hal yang mudah, namun tetap harus optimis dalam mengurangi penularan TBC. Khususnya pada 7 komitmen UNHLM yang menjadi acuan eliminasi TBC, diantaranya (1) negara harus memenuhi dalam diagnosis dan pengobatan; (2) negara harus hadir dalam pengobatan TBC; (3) negara harus hadir dalam mendukung pendanaan yang berkesinambungan; (4) negara harus hadir dalam mengakhiri stigma TBC; (5) negara memastikan ketersediaan vaksin; (6) negara memfasilitasi pengembangan kerangka multisektoral dan (7) Negara melaporkan kemajuan penanganan TBC.

Di lain sisi, berdasarkan Global TB Report (2021) diketahui bahwa target TB Global masih dibawah capaian, khususnya pada rendahnya angka orang yang didiagnosis dan dilaporkan. Oleh karena itu, pada penyampaiian paparannya, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa pemimpin Negara perlu melakukan langkah pendanaan triple dan quadruple untuk dapat menyelamatkan jiwa dan mengakhiri TBC. Jika merujuk pada target tujuan pembangunan berkelanjutan dan target UNHLM, maka Indonesia perlu melakukan peninjauan target serta peningkatan upaya. Lebih lanjut, Prof Tjandra menyampaikan adanya peluang momentum presidensi G20 dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia. “Pada G20, TBC perlu dilihat sebagai investasi geopolitik dimana negara-negara yang tergabung di G20 merepresentasikan dari 50% kasus TBC di dunia.” Ujar Prof Tjandra.

Dengan begitu, tahun 2022 di tataran global, Indonesia memiliki bilangan komitmen UNHLM yang perlu dipenuhi dan peluang pembaharuan komitmen politis pada G20. Selanjutnya Pemerintah Indonesia juga perlu mengoperasionalisasikan serta merealisasikan bilangan komitmen yang tercantum pada mandat Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 (Perpres 67/2021) tentang penanggulangan TBC.

Outlook TBC 2022 menghadirkan 3 Kementerian yang menjadi penanggung jawab pemenuhan bilangan komitmen di tahun 2022, diantaranya adalah Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri. Mewakili Kemenko PMK, dr Nancy D Anggraeni M. Epid (Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kemenko PMK) menyampaikan bahwa amanat Perpres 67/2021 telah diupayakan melalui pembentukan wadah kemitraan di tingkat nasional yang disahkan dengan Keputusan Menteri Kemenko PMK nomor 40/2021. Tujuannya adalah untuk meningkatkan peran masyarakat dan mitra dalam percepatan penanggulangan TBC dengan fokus utama pada upaya promotif, preventif dan rehabilitatif. Wadah kemitraan tersebut telah menyusun rancangan konsep Program Terpadu Kemitraan Penanggulangan TBC untuk Masyarakat Indonesia (PROTEKSI). Pada konsep ini terlihat peluang besar keterlibatan OMS dalam menjalankan perannya sebagai komunitas. Tidak hanya itu, pasal 28 Perpres 67/2021 juga menyebutkan bahwa secara taktis perlu dibentuk Tim Percepatan TBC di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dengan begitu, pihak komunitas dapat ikut serta secara bermakna dalam tim percepatan tersebut. Hal ini sejalan dengan penyampaian informasi dari Bapak Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes (Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kemenkes) “Kemenkes mengharapkan agar komunitas dapat terlibat aktif menjadi salah satu unsur dalam tim percepatan penanggulangan TBC dan dapat berkoordinasi dengan Dinkes untuk meningkatkan keterlibatan pasien TBC, mantan pasien dan melakukan pendampingan pengobatan pasien TBC.”

Hal ini didukung dengan adanya peran sentral Kemendagri dalam Perpres 67/2021 untuk memastikan implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan. Bapak R. Budiono Subambang, ST, MPM (Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Kementerian Dalam Negeri) menyampaikan bahwa Kemendagri telah menerbitkan Permendagri No.59 tahun 2021 tentang penerapan SPM dimana didalamnya disebutkan bahwa penemuan kasus menjadi kewajiban minimal pemerintah daerah yang harus 100% dicapai. Permendagri tersebut menjadi instrumen yang akan digunakan untuk pelaksanaan tugas sesuai amanat Perpres 67/2021. Selain itu, Kemendagri juga telah menyetujui adanya penambahan nomeklatur baru untuk TBC yang diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan penganggaran kegiatan pembiayaan rujukan orang terinfeksi TBC. Pelaksanaan SPM Kesehatan wajib dilaporkan kepada Kemendagri berkenaan dengan Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD).

Diskusi pada panel pertama memberikan asupan informasi peluang keterlibatan komunitas dengan mengupayakan advokasi serta kemitraan untuk mendukung penuh bilangan komitmen penanggulangan TBC. Agar dapat memberikan gambaran terkait kontribusi komunitas dan pengalaman kemitraan dengan Dinas Kesehatan, maka Outlook TBC 2022 dilanjutkan dengan diskusi panel 2 yang dimoderatori oleh Heny Akhmad MPA, MSc (National Director Program PR PB-STPI).

Seyogyanya, peran komunitas yang tercantum pada pasal 29 Perpres 67/2021 telah dilaksanakan secara komprehensif dengan prinsip kemitraan. Sudiyanto selaku Sub-Recipient Manager (SRM) Inisiatif Lampung Sehat menyampaikan bahwa upaya advokasi kepada pihak eksekutif dilakukan dengan mengupayakan dukungan sarana layanan, SDM dan alur pelayanan. Sedangkan untuk legislatif, advokasi dilaksanakan dengan dukungan Perda serta anggaran. Penting melakukan jejaring organisasi dengan perguruan tinggi, lembaga vertikal, perbankan, serta organisasi yang memiliki keterkaitan dengan TBC. Tidak hanya itu, OMS yang mengelola kader TBC menyampaikan bahwa komunitas memiliki kegigihan dalam penemuan kasus dan case holding. Dalam proses pendampingan pasien TBC, Tri Lestari selaku SRM YABHYSA Jawa Timur menyampaikan bahwa dalam proses pendampingan, kader seringkali mendapatkan penolakan dari pasien untuk periksa dan berobat. Namun, dengan adanya Perpres, hal tersebut menambah semangat kader dan eksistensinya sangat diakui. Yang mana, kader mempersepsikan kegiatan penemuan kasus dan pendampingan pasien TBC sebagai tugas negara. Selain itu, pelibatan kader menjadi salah satu kunci dalam melakukan advokasi ke pemerintah desa terkait pelibatan dalam membantu meringankan beban pasien TBC secara sosial dan ekonomi. Peran tim komunitas juga mengupayakan bantuan psikososial bagi pasien dan menjadi pintu awal untuk mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Tidak hanya itu, dr. Christian Lambogia selaku Koordinator Program Sub-Sub Recipient (SSR) PELKESI Manado menyampaikan bahwa pengalaman kemitraan dilakukan dengan cara proses sosialisasi kepada pihak yang berpotensi seperti CSR dan lembaga filantropi. Untuk penyuluhan dan kampanye TBC seringkali dilakukan dengan ceramah dan diskusi dengan pendekatan kolaborasi melalui tokoh agama.

Adanya kemitraan yang baik antara pihak komunitas dan pemerintah daerah ditunjukkan dengan manfaat dan dampak dari kemitraan tersebut. Hal ini disampaikan oleh drh. Berty Murtiningsih, M.Kes yang merupakan Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan DIY “Dampak kolaborasi adalah perluasan sosialisasi TBC, adanya peningkatan pendampingan pasien TBC, peningkatan penemuan kasus TBC dan adanya konsistensi keberhasilan pengobatan TBC.” Dengan prinsip menemukan sebanyak-banyaknya dan mengobati sebaik-baiknya, Dinkes DIY juga melakukan inisiasi pembentukan Tim percepatan eliminasi TBC dengan pelibatan semua OPD dan organisasi mitra TBC, termasuk pihak komunitas.

Outlook TBC 2022 ditutup dengan penyampaian dari Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc (Direktur Center for Health Administration and Policy Studies FKM UI) terkait rekomendasi serta rencana tindak lanjut yang perlu diupayakan oleh pemangku kepentingan. “Pertemuan ini menunjukkan bahwa OMS telah melakukan peran sensitif dan spesifik untuk eliminasi TBC yang bermitra dengan pemerintah,” jelasnya. Pada peran sensitif, OMS melakukan upaya edukasi, pencegahan dan memperkuat ketahanan tanggap darurat. Sedangkan pada peran spesifik, OMS melakukan upaya peningkatan akses pencarian pengobatan. Peran OMS terbukti efektif sehingga keberdayaan perlu didukung. OMS yang efektif dalam perencanaan dan penganggaran terbukti efisien dan berkelanjutan. Peran Kemenkes adalah kunci untuk mendorong tatanan daerah dalam perencanaan dan penganggaran melalui Kerjasama dengan Kemendagri termasuk menuju agenda G20. Di lain sisi, OMS dapat menjadi jembatan dan saluran kepentingan vertikal, horizontal dan diagonal untuk perencanaan eliminasi TBC yang sinkron pada semua sektor.

Adanya perpres TBC menunjukkan bahwa disease-oriented yang eksklusif telah berakhir dan dilanjutkan dengan paradigma Health in All Policy. Diperlukan kepemimpinan yang kolaboratif dengan budaya kerja keras berbasis bukti untuk mencapai resiliensi. Dengan adanya
pengarusutamaan eliminasi TBC, hal ini perlu dimanfaatkan sebagai peta jalan dari pusat dan daerah. Untuk dapat mencapai hasil optimal maka perlu adanya sinergitas dan kolaborasi antar pihak. Senada dengan pesan kunci dari Prof Tjandra yang menyampaikan bahwa Perpres dapat menjadi peluang nasional untuk mencapai eliminasi TBC 2030 dengan penekanan pada upaya multisektor, target per daerah dan perkembangan pencapaian berkala. PR PB-STPI yang ikut berperan dalam penanggulangan TBC di 30 Provinsi dan 190 Kabupaten/Kota akan menjadikan diskusi pada Outlook TBC 2022 sebagai bahan advokasi dan kemitraan untuk Optimalisasi Investasi untuk Akselerasi Eliminasi TBC, Selamatkan Indonesia dari TBC.

Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Tingkatkan Kapasitas Manajer Kasus TBC Resisten Obat

(Salah satu perwakilan SR menyampaikan presentasi hasil diskusi kelompok)

DENPASAR – Dilansir dari web resmi Kementerian Kesehatan RI, Indonesia merupakan 1 dari 10 negara yang menyumbang 77% kesenjangan secara global untuk estimasi kasus TB RO dengan estimasi kasus sebanyak 24 ribu. Dari banyaknya kasus tersebut, hanya 48% pasien TBC RO yang memulai pengobatan di lini kedua. Cakupan keberhasilan pengobatan juga masih sangat rendah yaitu di angka 45%. Sehingga rendahnya cakupan angka pasien TBC RO yang mulai pengobatan dan capaian angka keberhasilan pengobatan TBC RO berpotensi untuk meningkatkan penularan TBC RO, menimbulkan resistensi pengobatan yang lebih kompleks dan meningkatkan angka kematian.

Manajer Kasus (MK) sendiri mempunyai peranan yang bertanggung jawab terhadap tata kelola dalam kasus TB RO, mulai dari pasien terdiagnosis sampai menyelesaikan pengobatan dan juga pemberian dukungan, baik dukungan medis maupun psikososial. Untuk meningkatkan peran  MK di komunitas terutama dalam pencatatan dan pelaporan, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI melaksanakan Pelatihan Manajer Kasus yang dilaksanakan di Hyatt Regency, Sanur, Bali pada tanggal 10-14 Desember 2021.

(Ibu Heny didampingi oleh para Manager menyampaikan sambutannya)

Kegiatan diikuti oleh 128 peserta MK yang berada di 30 provinsi  cakupan kerja PR Konsorsium Penabulu STPI. Acara dibuka oleh Ibu Heny Akhmad selaku Direktur Program Nasional yang  bersama Manajer Program dan Manajer Monitoring, Evaluation, and Learning PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI.  Pembukaan dilanjutkan dengan perkenalan dan penguatan komitmen belajar yang dipimpin oleh Lina Harahap, staf Data Management, sebagai MC. 

(Lina Harahap sebagai Master of Ceremony memimpin jalannya acara)

Hari selanjutnya, acara dimulai dengan pemaparan materi oleh Rahmat Hidayat Koordinator Field Program tentang Evaluasi Implementasi Pendampingan  TBC RO, dilanjutkan oleh Raisa Afni menjelaskan tentang Alur Pendampingan Pasien TBC RO oleh Komunitas dan  ditutup yang menjelaskan tentang Alur Kegiatan Per BL TBC RO. Setelah pemaparan materi selesai, peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang evaluasi pencatatan dan pelaporan TBC RO, lalu menuliskan hasil alur pencatatan dan pelaporan yang dipahami dan yang sudah diimplementasikan. Aktivitas dilanjutkan dengan pemaparan presentasi dari hasil diskusi yang dibagi menjadi beberapa subtopik yaitu Implementasi Pendampingan oleh Pasien Suporter, Persiapan dan Penetapan Manajer Kasus, Interaksi & Penilaian awal, Enabler, Terminasi Pasien, Koordinasi Multi Pihak,  dan Pengorganisasian Kasus serta Perencanaan & Rujukan Sosial.

(Peserta membaca form yang telah diberikan oleh panitia)

Di hari ketiga, acara dilanjutkan dengan pembekalan tentang semua jenis form untuk proses input data pasien. Sebelum praktik penginputan dimulai, Irman selaku Data Management Staff memaparkan terlebih dahulu tentang penjelasan modul TBC RO di SITK Sistem Informasi Tuberkulosis (SITK). Thoriq Hendrotomo selaku Koordinator Data Management juga turut menjelaskan tentang pelaporan raw data RO dan data Kementerian Kesehatan. Setelah itu, peserta membentuk kelompok sesuai dengan asal SR untuk melakukan input raw data/ data individu ke SITK. Pada sesi ini, seluruh tim Data Management PR dan fasilitator terlibat untuk memastikan peserta fokus selama sesi dan form dapat terisi dengan baik.

(Dwi Aris Subakti selaku MEL Manager menutup kegiatan Pelatihan Manajer Kasus)

Kemudian di hari terakhir pelatihan Manajer Kasus, mereka melanjutkan proses penginputan data dengan memperbaiki data variabel-variable terkait perawatan TBC RO. Setelah Manajer Kasus selesai melakukan input, mereka memberikan hasil input pendampingan kepada  SR untuk dilakukan verifikasi. Pada malam harinya, acara pelatihan ini ditutup oleh Dwi Aris Subakti selaku MEL Manager yang menyampaikan agar ilmu yang diperoleh dapat diaplikasikan dan diterapkan secara baik ketika para MK kembali untuk melaksanakan tugasnya.

Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Padukan Fokus Kolektif Mewujudkan Eliminasi Tuberkulosis

(Direktur Program Nasional didampingi oleh para manajer memberikan ucapan terima kasih kepada seluruh SR)

DENPASARTuberkulosis (TBC) adalah masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan  solusi  multisektoral, salah satunya dengan  keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas  Data resmi dari Kementerian Kesehatan menunjukkan Indonesia adalah episentrum TBC terbesar ketiga di dunia pada tahun 2021. Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI yang secara resmi telah menjadi Principal Recipient (PR) Komunitas program TBC melalui kerjasama dengan Global Fund Tahun 2021-2023 memiliki mandat untuk berkontribusi menurunkan beban TBC melalui peran serta masyarakat. Pada 5-10 Desember 2023, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI melaksanakan Lokakarya Asistensi Implementasi Teknis yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas manajemen program, keuangan, serta monitoring, evaluation, and learning (MEL) 30 Sub-Recipient (SR) untuk mengembangkan rancangan strategi dan perencanaan implementasi program hibah ini di tahun 2022. Acara tersebut berlangsung selama 5 hari melibatkan 93 peserta di Hyatt Regency Bali, Sanur.

(Dr. dr. Rita Kusriastuti, Wakil Ketua CCM Indonesia memberikan sambutan pada pembukaan kegiatan Lokakarya Asistensi)

Acara ini dibuka oleh Dr. dr. Rita Kusriastuti selaku Wakil Ketua CCM Indonesia, Nurul Nadia selaku Authorized Signatory Yayasan STPI, dan Budi Susilo mewakili Eko Komara selaku Authorized Signatory Yayasan Penabulu untuk memberikan arahan dan motivasi kepada PR dan SR untuk mencapai kinerja yang lebih baik di tahun 2022. Beliau-beliau juga mengajak para peserta agar dapat adaptif dengan situasi dan kondisi di lapangan, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19 yang menghambat kegiatan di lapangan. 

(Ibu Heny Akhmad memberikan sambutan pada hari kedua acara Lokakarya)

Acara hari kedua pada Senin 6 Desember 2021 dimulai dengan pembukaan dari Direktur Program Nasional  Ibu Heny Akhmad yang kemudian dilanjutkan dengan pemaparan tentang program TBC dalam empat panel dengan topik berbeda. Panel pertama membahas tentang Situasi Terkini Penanganan TBC dengan menghadirkan dr. Endang Lukitosari MPH (Wakil Koordinator Substansi TBC Resisten Obat Kementerian Kesehatan) dan dr. Setiawan Jati Laksono (WHO Indonesia Country Office). Dilanjutkan panel kedua tentang Kebijakan Multisektor TBC yang disampaikan oleh Dr. Agus Suprapto (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan, Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan), dr. Tiara Tiffany Pakasi, M.A. (Koordinator Substansi TBC Kementerian Kesehatan), R. Budiono Subambang, S.T., MPM (Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Kementerian Dalam Negeri) dan Ir. Eppy Lugiarti, MP Plt. (Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan). Panel ketiga membicarakan tentang Peran Serta Komunitas Mendukung Pasien TBC Sektor Swasta dengan materi yang disampaikan oleh dr. Mohammad Bey Sonata (USAID Indonesia TB Lead), dan dr. Carmelia Basri, M. Epid (Ahli Penanggulangan Penyakit Menular Langsung dan Sistem Kesehatan). Panel terakhir adalah  pembahasan terkait Gambaran Besar Keterkaitan Program TBC di Indonesia yang disampaikan oleh dr. Setiawan Jati Laksono (WHO Indonesia Country Office) dan Prof. DR. Adang Bachtiar, MD, MPH, D.S (Ketua TWG Tuberkulosis Indonesia). Setelah penyampaian materi, seluruh peserta aktif dalam mengutarakan pemikiran, pertanyaan dan pendapat mereka terkait dengan topik-topik yang telah disampaikan oleh para pembicara pada sesi refleksi dan tanggapan yang dipimpin oleh Donald Pardede (Management Advisory Team) dan  Heny Akhmad (National Program Director PR PB-STPI). 

(Dwi Aris Subakti selaku Manajer Monitoring, Evaluation and Learning memberikan materi tentang Kerangka Strategi Implementasi Program TBC Komunitas 2022)

Selanjutnya di hari ketiga, Dwi Aris Subakti  selaku Manajer Monitoring, Evaluation, and Learning menjelaskan Kerangka Strategi Implementasi Program TBC Komunitas 2022 serta menghimbau kepada seluruh peserta agar terus berupaya meningkatkan kualitas kerja agar mencapai target yang ditentukan dengan maksimal. Selanjutnya, Barry Adhitya selaku Manajer Program menyampaikan arahan programatik untuk meningkatkan upaya SR dan SSR merancang dan melaksanakan kegiatan di daerah serta berkoordinasi dengan SR Tematik. 

Pemaparan selanjutnya adalah update dan arahan tentang implementasi program yang  disampaikan oleh perwakilan setiap divisi PR Konsorsium Penabulu-STPI. Koordinator Field Program PR PB-STPI, Rahmat Hidayat menyampaikan Update Panduan Implementasi Program, dilanjutkan dengan Bunga Pelangi sebagai Koordinator Advokasi dan Kemitraan PR PB-STPI memaparkan Rencana Advokasi Komunitas. Di sesi selanjutnya, dua perwakilan dari divisi MEL yaitu Thoriq Hendrotomo selaku Koordinator Data Management menyampaikan tentang Update Pencatatan dan Pelaporan TBC Komunitas 2022, kemudian dilanjutkan oleh Thea Hutanamon selaku Koordinator Knowledge Management yang menjelaskan tentang Tata Kelola Pengetahuan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Sedangkan, mewakili  Finance & Operations, Subhan selaku Koordinator Internal Control yang menyampaikan Update Mekanisme Pembiayaan dan Pembayaran Aktivitas TBC Komunitas 2022. Pada hari ketiga acara ini empat SR dengan capaian terbaik turut membagikan pengetahuan kepada peserta  lainnya upaya yang telah mereka lakukan untuk melakukan investigasi kontak, berkontribusi menemukan kasus TBC baru, dan mengupayakan balita mendapatkan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Setelahnya, tim Internal Control memfasilitasi SR wilayah provinsi dan SR Tematik mereview Budget dan Plan of Action 2022.

(Barry Adhitya selaku Manajer Program memberikan materi tentang penyaluran Enabler oleh komunitas)

Hari keempat diawali oleh Barry Adhitya selaku Manajer Program  menjelaskan tentang Update Rancangan Pembiayaan Enabler Pasien TBC RO yang akan diberikan oleh Konsorsium Penabulu STPI kepada pasien TBC Resisten Obat mulai Januari 2022 hingga Desember 2023 di 190 kabupaten/kota wilayah kerja Konsorsium. Setelah pemaparan enabler selesai, peserta melanjutkan diskusi kelompok didampingi oleh fasilitator dari Tim Field Program untuk menyusun Annual Work Plan dan presentasi rencana kegiatan triwulan 1 2022. 

(Perwakilan kelompok menyampaikan diskusi implementasi program 2022)

Mengakhiri lokakarya ini, pada 9 Desember 2021 setiap SR mempresentasikan hasil diskusi tentang rencana implementasi program triwulan 1 tahun 2022 di daerah masing-masing. Setiap SR memaparkan tentang estimasi target yang akan mereka capai, menjelaskan cara-cara yang akan mereka lakukan untuk mencapai target tersebut dalam waktu tertentu, serta estimasi serapan anggaran implementasi program.  Direktur Program Nasional, Ibu Heny, didampingi para manajer menutup acara lokakarya dengan mengajak setiap individu dalam pertemuan ini berjanji memberikan upaya terbaik dalam mencapai Eliminasi TBC dan menyampaikan rasa terima kasihnya atas giat serta komitmen   31 SR untuk bekerja secara cepat dan tepat di 2022.

Pelatihan Tuberkulosis bagi Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis di Komunitas

Dalam memerangi penyakit tuberkulosis (TBC), Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PB-STPI) bergerak bersama 14 organisasi masyarakat sipil serta 17 kelompok ranting perwakilan Konsorsium di tingkat nasional serta di 30 provinsi sebagai Sub-Recipient (SR) dan 138 Sub-Sub Recipient (SSR) di 190 kota/kabupaten. Dalam mendukung upaya penanggulangan TBC di 22 kota/kabupaten baru, yang belum pernah diintervensi oleh komunitas TBC, PR PB-STPI melaksanakan “Pelatihan Tuberkulosis bagi Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis di Komunitas”. Pertemuan diselenggarakan pada 26 September sampai dengan 1 Oktober 2021 di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Pelatihan dibuka oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) dr. Siti Nadia Tarmizi, MPH bersama Heny Prabaningrum, Direktur Program Nasional Konsorsium PB-STPI. Direktur P2PML menyampaikan kepada peserta, “Kita harus menemukan kasus TBC dan memberikan terapi pencegahan sebanyak-banyaknya untuk memutus mata rantai penularan.  Kita tidak bisa menunggu pandemi COVID-19 selesai. Komunitas perlu bersama tokoh agama & tokoh masyarakat mengatasi TBC sebagai upaya pemenuhan hak asasi manusia untuk mencapai eliminasi.”

Kegiatan diawali dengan dua Mata Pelatihan Dasar (MPD) yaitu ‘Kebijakan Program Penanggulangan Tuberkulosis’ yang disampaikan oleh Koordinator Substansi Tuberkulosis, dr. Tiffany Tiara Pakasi dan ‘Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK)’ oleh Sub Koordinator Puskesmas, dr. Wing Irawati, dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI).

Melanjutkan kedua MPD tersebut, Mata Pelatihan Inti (MPI) pertama tentang ‘Informasi Dasar Tuberkulosis’ disampaikan oleh dr. Sulistya Widada, Subkoordinator Tuberkulosis Sensitif Obat Kemkes RI. Peserta juga mengikuti enam MPI lain yang disampaikan fasilitator dari PR PB-STPI yang didampingi oleh Dr. drg. Siti Nur Anisah, MPH widyaiswara Kemkes RI sebagai berikut: a) ‘Eliminasi TBC Berbasis Hak Asasi Manusia’, b) ‘Eliminasi TBC Responsif Gender’, c) ‘Jejaring TBC di Komunitas’, d) ‘Perencanaan Program Eliminasi TBC Berbasis Komunitas’, e) ‘Monitoring dan Evaluasi Program Eliminasi TBC Berbasis Komunitas, f) ‘Sensitisasi Tuberkulosis di Masyarakat’.

 

 

Saat akhir pelatihan, PR PB-STPI memberikan apresiasi kepada beberapa peserta terbaik. Tim SR Bali mendapatkan apresiasi dengan skor test terbaik, SR Manager Sulawesi Barat mendapatkan apresiasi dengan penilaian teknik fasilitasi terbaik, dan SR Manager Jambi terpilih sebagai peserta yang paling aktif dan inspiratif selama sesi pelatihan.

Beberapa peserta menyampaikan kesan pesan saat penutupan kegiatan, “Senang ada banyak sekali materi yang didapatkan, dari pagi sampai malam”, ujar Damayanti, SR Manager Sulawesi Tengah. Wiwin dari Bali menambahkan, “Tetapi materi bisa dicerna dan dinikmati, fasilitatornya juga sangat menginspirasi”, ujar staf Program dan MEL dari SR Bali ini. Selain itu, SR Manager Sumatera Utara, Zubaidah menyampaikan, “Senang bisa berbagi pengalaman, berbagi ilmu, tanpa batasan-batasan umur. Kita bersama di sini dengan satu tujuan mengeliminasi TBC.”

Setelah mengikuti kegiatan ini, 15 SR akan melatih staf SSR dan koordinator kader di wilayah intervensi baru di provinsi Sumatera Utara, Bangka Belitung Jambi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Simpul Kolaborasi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Eliminasi TBC di Indonesia

Setiap menit 96 orang di Indonesia jatuh sakit dengan Tuberkulosis (TBC) – termasuk TBC resisten obat, TBC anak, dan TB-HIV (WHO, Global TB Report, 2020). Jumlah ini melebihi kuota satu gerbang kereta rel listrik. Hal ini sangat memprihatikan karena permasalahan kesehatan di negara yang memiliki latar belakang perekenomian yang serupa dengan Indonesia – kini telah didominasi dengan penyakit tidak menular; sementara TBC tetap menjadi satu-satunya penyakit menular yang menempati urutan ke-5 penyakit yang paling mematikan di Indonesia.

Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi negara kedua setelah india dengan  kasus TBC terbesar di dunia.Negara memiliki tugas untuk memastikan masyarakat yang terdampak TBC dapat mengakses perawatan kesehatan yang berkulitas secara tepat waktu dan terjangkau. Selanjutnya, dibutuhkan partisipasi yang kuat dari banyak para aktor non-pemerintah untuk turut serta mengatasi tantangan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Menilik kesempatan dan kemampuan yang ada, maka dua organisasi berbasis masyarakat – Yayasan Penabulu dan Yayasan Kemitraan Strategis Tuberkulosis Indonesia (Stop TB Partnership Indonesia/STPI) bersatu dan membentuk sebuah kemitraan yang kuat dengan tujuan membantu pemerintah dalam pengendalian TBC di Indonesia.  Kemitraan yang dibangun ini memiliki prinsip untuk mengutamakan pelibatan organisasi masyarakat sipil (OMS) serta komunitas dalam pembangunan. Latar belakang dan pengalaman yang berbeda tidak mengurungkan niat kolaborasi dalam menjalankan visi-misi kedua lembaga ini untuk Indonesia, khususnya pada sektor kesehatan .

Dalam skema kemitraan untuk program Eliminating TB in Indonesia yang didukung oleh Global Fund to Fight Against HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria untuk 2021-2023, kedua lembaga ini adalah mitra setara yang saling melengkapi dengan kelebihannya masing-masing. Melalui Konsorsium Komunitas, Penabulu-STPI menggalang sumber daya guna mendukung organisasi masyarakat sipil dan komunitas membantu masyarakat terdampak TBC mengakses pencegahan, diagnosis, dan pengobatan sampai sembuh.

Bersama-sama, Penabulu-STPI memposisikan diri sebagai sebuah simpul jaringan di antara konstelasi para penggiat TBC. Kolaborasi yang unik ini berfokus pada satu tujuan program yaitu Eliminasi TBC. Selain itu, bentuk Konsorsium Komunitas yang dipilih juga menuntut kedua Lembaga ini untuk membangun kapasitas OMS dan komunitas lainnya dalam jaringan.

Konsorsium Komunitas, yang dibentuk Penabulu-STPI, berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan TBC dan TB-HIV berbasis komunitas dan berpusat pada pasien guna meningkatkan notifikasi dan keberhasilan pengobatan. Selain itu, Konsorsium Komunitas mendorong peran OMS dan komunitas, khususnya yang terdampak TBC, dalam mempengaruhi Pemerintah untuk mengeliminasi TBC melalui pendekatan multisektor dan berpusat pada masyarakat. Dan, sebagai pendukung jaringan OMS dan komunitas penggiat TBC, Penabulu-STPI mengupayakan peningkatan kapasitas OMS dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi upaya pencegahan dan pengendalian TBC secara berkesinambungan.

Konsorsium Komunitas terdiri dari 14 organisasi masyarakat sipil serta 17 kelompok ranting perwakilan Konsorsium di tingkat nasional serta di 30 provinsi sebagai Sub-Recipient dan 138 Sub-Sub Recipient yang berkegiatan di 190 kota/kabupaten. Dalam pelaksanaan program, Penabulu-STPI mendukung OMS dan komunitas tidak hanya untuk menyesuaikan intervensi dengan kerangka strategi yang dirancang tetapi juga untuk mengadopsinya dalam konteks lokal serta kebutuhan masyarakat di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, kolaborasi melalui bentuk Konsorsium ini  diharapkan dapat memunculkan pembelajaran dan praktik baik serta pola pemikiran baru dari para pelaksana program di daerah.