Saat ini, Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh China. Tentunya, situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC di tahun 2030. Pentingnya TBC untuk dieliminasi dikarenakan TBC merupakan penyakit yang dapat menular dengan mudah melalui udara yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya. Ditambah lagi, arus globalisasi, transportasi, dan migrasi penduduk antar negara membuat TBC menjadi ancaman serius. Selain pengobatan TBC tidak mudah dan sebentar, penyakit TBC yang tidak ditangani hingga tuntas dapat berpotensi menyebabkan resistensi obat.
Berdasarkan hal tersebut di atas Program Penanggulangan TBC merubah strategi penemuan pasien TBC tidak hanya “secara pasif dengan aktif promotif” tetapi juga melalui “penemuan aktif secara intensif dan masif berbasis keluarga dan masyarakat“, dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan layanan yang bermutu sesuai standar. Salah satu kegiatan yang penting untuk mendukung keberhasilan strategi penemuan aktif ini adalah melalui Investigasi kontak (IK). IK merupakan kegiatan pelacakan dan investigasi yang ditujukan pada orang-orang yang kontak dengan pasien TBC (indeks kasus) untuk menemukan terduga TBC.
Dalam membantu pemerintah mencapai eliminasi TBC 2030, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bergerak bersama di 30 provinsi dan 190 kabupaten/kota melakukan investigasi kontak melalui sumber daya kader TBC komunitas di wilayah masing-masing. Provinsi Banten, menjadi salah satu wilayah prioritas dalam eliminasi TBC, yang kemudian menjadi wilayah intervensi komunitas. Hal ini terjadi karena delapan wilayah provinsi prioritas, salah satunya Banten, masih terjadi adanya gap treatment coverage.
Perjalanan Ibu Siti dan Ibu Leni saat mengunjungi rumah indeks
Kualitas proses pelaksanaan IK sangat dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya kondisi geografis. Di wilayah Banten sendiri, khususnya Kabupaten Lebak, beberapa daerah masih memiliki akses jalan yang sulit dan bertanah. Hal ini menyebabkan Kader TBC komunitas harus berjuang lebih dalam melakukan kunjungan ke rumah indeks, seperti Ibu Siti Mulyasaroh dan Ibu Leni Sulastri. Kedua kader tersebut terbiasa menyusuri jalanan yang licin akibat hujan dan akses jalan yang sempit di pinggiran sungai. Tak dipungkiri, terkadang keselamatan mereka pun menjadi terancam dikarenakan melalui beberapa medan yang bahaya, seperti jalan setapak yang di sampingnya sungai, jembatan gantung, perkebunan sawit dengan jalanan yang dipenuhi lumpur,jalanan berbatu dan sebagainya. “Saya dan Bu Leni sudah biasa seperti ini Mba. Lebak mayoritas jalannya kaya gini, yang di kota pun sama, kita harus lewat hutan, sungai, panas terik sampai mendung pun sering kita lewati sama-sama,” tutur beliau.
Ibu Siti dan Ibu Leni harus melewati perkebunan sawit dengan jalan yang licin dan berlumpur untuk sampai ke rumah indeks
Tidak hanya akses yang sulit, jarak tempuh menuju indeks pun memerlukan waktu kurang lebih satu jam. Karena kondisi yang tidak memungkinkan, terkadang Ibu Siti dan Ibu Leni harus menitipkan kendaraanya ke warga setempat dikarenakan akses menuju indeks tidak dapat dilalui oleh motor. “Akses jalan tidak semua bisa dilewati oleh kendaraan Mba. Biasanya kami naik motor dulu, terus untuk sampai ke rumah indeks kita titipkan motor ke rumah warga terdekat karena harus jalan ke puncak bukit untuk ke rumah indeks,” papar beliau.
Dengan kondisi tersebut, akan mustahil adanya untuk direalisasikan jika tidak dibarengi dengan niat tulus mewujudkan eliminasi TBC di wilayahnya. Kedua Ibu kader tersebut membuktikan bahwa dalam membantu sesama, akan hilang rasa lelah karena semua dilakukan dengan rasa senang dan ikhlas. “Kami tidak pernah merasa ingin menyerah ataupun capek menjalankan semua ini Mba, melihat pasien mau cek dahak ke Puskesmas saja sudah bikin kita senang karena perjuangan kita nggak sia-sia buat nyemangatin pasien kita berobat,” jelas Ibu Leni. Dengan jarak tempuh yang jauh dan akses yang sulit, tentunya banyak pasien yang terkadang menolak untuk melakukan cek dahak dan mengambil obat di Puskesmas. Hingga Ibu Leni dan Ibu Siti terkadang meminta bantuan tetangga sekitar untuk mengantarkan pasien ke Puskesmas dan memberikan uang bensin untuk perjalanan. “Kami itu ya kadang kasih uang bensin ke tetangga yang mengantar pasien Mba, karena kalau tidak begitu mereka nggak akan mau untuk ke Puskesmas, padahal kondisinya sudah batuk-batuk, anak-anaknya juga banyak, bahkan beberapa warga sini juga tidak punya BPJS,” kata Ibu Siti.
Proses pemberian edukasi dan skrining yang dilakukan oleh Ibu Siti dan Ibu Leni dirumah indeks
Miris melihat situasi yang terjadi di lapangan ketika mengetahui bagaimana dedikasi Kader TBC Komunitas dengan reward yang mereka dapatkan sungguhlah tidak sepadan. Beberapa beban tambahan yang tidak terduga juga terkadang harus mereka pikul demi membuat pasien berkenan untuk berobat dan memulai pengobatan TBC. Sungguh cita-cita eliminasi TBC tidak akan terwujud tanpa adanya jiwa kemanusiaan dari para kader TBC Komunitas ini. “Kami hanya ingin mereka sembuh. Rasa lelah dan lainnya akan tergantikan dengan rasa bahagia jika kami bisa menemani mereka hingga pulih kembali,” tutur Ibu Siti.
Tanpa banyak pinta, Ibu Siti dan Ibu Leni pun menyampaikan bahwa ia hanya ingin disejahterakan dalam segi jaminan keselamatan dan reward yang pantas sesuai dengan perjuangan mereka. “Ya sebagai kader, semoga Bapak/Ibu semua dapat lebih memperjuangkan kami dalam segi pemberian reward ya, karena terkadang reward kami pun habis hanya untuk beli bensin karena jarak tempuh yang jauh. Dengan medan yang sulit, semoga juga adalah jaminan keselamatan bagi kami agar kami juga tenang saat menjalani tugas ini,” pinta kedua Ibu Kader.
Dalam permasalahan ini, sungguh masih banyak kader-kader yang mengalami kejadian serupa di wilayah lainnya, bahkan memiliki medan yang lebih sulit dari Ibu Siti dan Ibu Leni hadapi. Semoga, seluruh stakeholder yang berperan dapat menciptakan inovasi dan strategi yang baik dalam menjamin keselamatan dan kesejahteraan kader-kader di daerah. Sehingga, apresiasi yang diberikan dapat lebih membuat kader TBC komunitas semangat dalam melacak dan menemukan kasus TBC untuk mewujudkan eliminasi TBC di Indonesia. Kader adalah tonggak dari eliminasi TBC. Tanpa mereka, eliminasi TBC hanyalah wacana belaka yang mungkin akan sulit terwujud bila tidak dibantu oleh kader-kader luar biasa kita di daerah. Marilah kita berikan hormat kita kepada seluruh kader TBC Komunitas dan doakan agar selalu sehat dan sukses untuk kehidupan mereka.
Penulis: Winda Eka Pahla