MAKASSAR– Kebutuhan biaya pengobatan bagi satu pasien tuberculosis (TB) multi-drug resistance (MDR) atau TB kebal obat dari awal hingga sembuh diperkirakan mencapai Rp. 222,36 juta. Demikian diungkapkan petugas Poli TB-MDR Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Wahidin Sudirohosodo, Harianti Lara, saat dijumpai oleh mahasiswa program magang Kampus Merdeka BCF-Yamali TB, di ruang kerjanya, Jumat (9/9).
Harianti menegaskan bahwa hal itu sudah seharusnya menjadi peringatan kepada kita semua akan dampak besar dari penyakit TB resisten obat. “Kita bersyukur bahwa saat ini semua biaya itu masih ditanggung oleh pemerintah melalui program GF-TB, akan tetapi bantuan ini ke depan tentu akan ada akhirnya sehingga kesiapan pemerintah daerah dan kesadaran masyarakat diperlukan dalam hal pencegahan dan deteksi dini penyakit TB,” katanya.
Ia melanjutkan bahwa pasien TB MDR dapat menularkan kuman TB kepada masyarakat di sekitarnya. “Penularan kuman TB resisten obat sama seperti penularan kuman TB tidak resisten obat pada umumnya. Orang yang terinfeksi atau tertular kuman TB resisten obat dapat berkembang mengalami sakit TB MDR. Selain itu, penyebabnya juga umum terjadi akibat pasien yang putus berobat pada kasus TB biasa,” tuturnya.
RS Wahidin Sudiorhusodo saat ini sedang mengobati 18 pasien TBC-RO. Jumlah tersebut adalah bagian dari 393 kasus terkonfirmasi TBC-MDR di Provinsi Sulawesi Selatan.
Meski pengobatan pasien TBC-MDR terbilang gratis atau ditanggung oleh pemerintah, namun kenyataannya hal itu belum berbanding lurus dengan tingginya angka berobat dan kesembuhan pasien. Data Dinas kesehatan Sulsel tahun 2021 lalu menyebutkan bahwa dari 393 kasus yang terkonfirmasi, hanya 307 yang memulai pengobatan. Artinya, masih ada 86 pasien yang tidak melakukan pengobatan sementara penularannya juga terus bergulir di masyarakat.
Dikonfirmasi secara terpisah, Koordinator Program TBC Komunitas SR Yamali TB Sulsel, Kasri Riswadi menyebut bahwa di sinilah peran komunitas diperlukan dalam persoalan TBC. “Pemerintah memang butuh support dari berbagai pihak karena ini persoalan bersama. Jadi jika pemerintah berperan dalam menyiapkan fasilitas dan pelayanan medisnya, maka peran komunitas adalah giat melakukan edukasi penyadaran di masyarakat serta melacak pasien yang belum memulai pengobatan agar segera berobat,” tuturnya.
Ia menambahkan, bahwa di Sulsel melalui Yamali TB peran komunitas tidak hanya dalam edukasi dan pelacakan kasus mangkir dan putus obat, tetapi juga pendampingan pasien dan upaya penemuan kasus baru TBC. Aktivitas itu dilakukan melalui kader-kader TB, Manager kasus dan Pasisen Supporter.