Skip to content

TB Campaign Day 2022 : Stop Stigma & Diskriminasi Terhadap Pasien TBC

WhatsApp Image 2022-06-18 at 19.30.59

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksius yang diakibatkan oleh mycobacterium tuberculosis, penyakit ini bisa menular kepada siapa saja bahkan mematikan. Di Indonesia, estimasi kasus TBC mencapai 824,000 dengan jumlah pasien yang meninggal sebesar 15,186 jiwa sementara jumlah kasus TB yang ditemukan dan diobati baru 443,235 hanya separuh dari estimasi kasus yang ditemukan (data NTP 2021). Di tengah tantangan mencapai target eliminasi TB 2030, upaya mencegah dan menangani penyakit TBC dipersulit dengan adanya stigma terhadap TB di masyarakat.

Stigma terhadap TBC mengakibatkan orang yang mengalami TBC terlambat untuk didiagnosis (melakukan pengobatan), tidak patuh berobat, bahkan putus pengobatan. Dengan demikian, stigma dan diskriminasi secara tidak langsung juga mengakibatkan penyebaran TBC yang lebih luas di masyarakat, bahkan berkembang menjadi resistensi atau TBC kebal obat  yang membuat penanganan TBC menjadi semakin kompleks. Stigma juga menyebabkan orang dengan TBC mengalami diskriminasi di lingkungan sosial. Orang yang mengalami TBC menarik diri dari lingkungan, disisihkan dari pergaulan, sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan sampai kehilangan pekerjaannya dan ada pula yang memutusukan untuk mengakhiri hidupnya. Hal tersebut dapat berkontribusi terhadap munculnya permasalahan ekonomi dan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Semua hal ini, baik psikologis, ekonomi, dan kesehatan, saling berkaitan satu sama lain dan berdampak multiplikatif jika tidak ditangani dengan tepat.

POP TB Indonesia sebagai salah satu komunitas berfokus pada Eliminasi TBC dengan 22 Jejaring Organiasi Penyintas TBC (OPT) di 16 Provinsi  bekerjasama dengan Indonesia Aids Coalition dengan dukungan dana dari Global Fund telah mengadakan capacity building dan TB Campaign Day pada tanggal 17-19 Juni 2022 di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Kegiatan ini berupaya selain meningkatkan kualitas jejaring (OPT) yang menjadi ujung tombak dalam meningkatkan peran komunitas yang berdaya. Seperti yang diungkapakan oleh Bapak Patrick Johanes Laurens (Program Manager Indonesia Aids Coalition) bahwa Organiasi atau komunitas merupakan kendaraan dalam pergerakan Eliminasi TBC di Indonesia. “Sewajarnya kendaraan, kendaraan tersebut harus kuat dan berkualitas. Kembangkan diri dengan adanya perubahan-perubahan yang signifikan dan membangun agar team dan organisasi dapat berkembang” imbuh Bang Patrick.

Selain perubahan sinergi dan penguatan team dari organisasi komunitas, POP TB juga mengadakan pelatihan fundraising & Report Writing. Dua hal ini merupaka kesatuan yang tidak bisa dipisahkan bagi suatu komunitas nirlaba yang bergerak secara volunteer. Fundraising merupakan suatu hal yang harus dilakukan sebagai keberlangsungan suatu organisasi (bahan bakar). Seperti yang disampaikan oleh Thea Y. Hutanamon (Partnership & Development Manager Stop TB Partnership Indonesia) Jiwa kesukarelawanan harus selalu ada di dalam tubuh OPT karena itu dasar dari Fundraising. “Selain narasi yang dituangkan di Proposal fundraising bahwa kita juga harus membangun jejaring dan melakukan branding organisasi agar ketika suatu organisasi memiliki program yang butuh dukungan, hal ini akan mempermudah kerjasama dalam program” Sambung Ibu Thea.

untuk menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC di Indonesia melalui TB Campaign Day, POP TB Indonesia dengan mengajak OPT dari 16 Provinsi melakukan aksi kampanye sosial dan Flashmob berupa edukasi kepada masyarakat dan pengunjung Lego Lego CPI Kota Makassar. Kampanye sosial yang kami lakukukan mengangkat isu stop stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC dengan melakukan survey, sosialisasi dan edukasi kepada pengunjung Lego Lego CPI Kota Makassar. Dari 60 pengunjung yang bersedia menjadi responden dalam survey kami, 30% orang yang pernah mengalami TBC juga mengalami stigma. Adapun stigma dan diskriminasi yang didapatkan adalah dikucilkan dari lingkungan sosial. Kampanye sosial dan edukasi terkait TBC dirasa sangat dibutuhkan oleh Masyarakat setempat agar mereka lebih berhati-hati dan menjaga diri dari penularan TBC dan penanganan yang benar ketika terjangkit.

“Kami di Makassar berharap pemerintah bisa melakukan kampanye edukasi TBC seperti covid, Edukasi covid 19 dimana-mana bahkan ditempat umum atau pasar pun pemerintah membangun baliho untuk edukasi covid, mengapa tidak dengan TBC?” Imbuh seorang pengunjung yang pada saat pengisiian survey oleh peserta kampanye sosial.  Dengan adanya kegiatan kampanye ini kami berharap kegiatan ini dapat mereduksi stigma TBC di masyarakat. Selain kampanye turun ke jalan, kami juga melakukan kampanye digital di medsos. Peserta juga melakukan posting terkait kegiatan TB Campaign dan dengan tagline stop stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC.

Kedepan nya POP TB berharap orang dengan TBC bisa memliki kesempatan yang sama sebagai mahluk sosial dan manusia sebagai fitrahnya. Hal ini sesuai dengan orasi yang disampaikan oleh Ketua POP TB Indonesia, Bapak Budi Hermawan “Kami, POP TB Indonesia berharap dengan adanya kampanye ini, POP TB indonesia menjadi bagian dan berkontribusi terhadap upaya eliminasi TBC 2030 bisa!” Belajar dari kasus covid-19, ketika pasien covid-19 bisa dengan leluasa mengkonfirmasi di media sosial bahwa dirinya terjangkit covid-19 dengan melakukan posting hasil PCR atau antigennya di medsos ataupun dengan memberitahukan langsung kepada keluarga dan tetangga sekitar. Respon positif sosial dengan berduyun-duyun mengirimkan bantuan baik obat ataupun kebutuhan nutrisi yang mendukung penyembuhan untuk covid-19 ketika pasien melakukan isolasi itu pun bisa terjadi dengan mereka yang terkena TBC. Covid-19 dan TBC sama-sama penyakit menular dan mematikan namun adanya perlakukan yang jauh berbeda. Apakah kita salah dalam membranding TBC? Atau masih kurang dalam hal edukasi? Mari kita urai bersama permasalahan yang ada di TBC untuk solusi yang terbaik.

Bagikan Artikel

Cermati Juga