Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang menyebabkan masalah kesehatan terbesar kedua di dunia setelah HIV. Terlebih, saat ini Indonesia menjadi negara yang berada pada nomor urut tiga penderita TBC terbanyak di dunia. Laporan WHO juga memperkirakan angka kematian tuberkulosis di Indonesia yaitu sekitar 35 per 100.000 penduduk atau terdapat sekitar 93.000 orang meninggal akibat tuberkulosis pada tahun 2018 (NSP, 2020 – 2024). Hal tersebut membuat kita harus bergerak cepat dalam melakukan eliminasi TBC untuk meminimalisir terjadinya penularan TBC di masyarakat.
Selain itu, data tahun 2018 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 51,2% (4.704 dari 9.180 kasus) pasien TBC MDR (Multi Drug Resistant) atau yang bisa juga disebut dengan TBC RO (Resisten Obat) yang didiagnosis tidak memulai pengobatan karena kurangnya akses diagnosis yang berkualitas dan pengobatan yang berpusat pada pasien. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam Strategi Nasional TB 2020-2024 pada strategi 2 tercantum bahwa diperlukannya peningkatan akses layanan tuberkulosis bermutu yang berpihak pada pasien.
Salah satu operasionalisasi dalam memastikan layanan tuberkulosis yang berpihak pada pasien dan memberikan solusi pada rintangan yang dialami pasien adalah dengan menyediakan tempat singgah sementara (shelter) bagi pasien MDR TB. Saat ini, PR Konsorsium Penabulu-STPI memiliki 14 shelter yang tersebar di wilayah intervensi daerah PR Konsorsium Penabulu-STPI yang mana salah satunya berada di provinsi Lampung.
Shelter di Lampung diperuntukkan sebagai rumah singgah, transit minum obat pasien, juga sebagai rumah edukasi bagi pasien dan keluarga yang membutuhkan pendampingan serta motivasi dari Manajer Kasus (MK) dan Pasien Suporter (PS) dalam proses pengobatan untuk kesembuhan pasien TBC MDR. Selain itu, shelter juga diperuntukkan sebagai tempat kegiatan untuk MK & PS yang digabungkan dengan kantor Sekretariat KOMPPI LAMPUNG (Komunitas Masyarakat Peduli Penyakit Infeksi) serta Kantor OMP BADAK (Basmi dan Akhiri) TBC Lampung.
Irma Syafitri, salah satu MK SR Lampung menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria pasien yang diperkenankan untuk tinggal di shelter tersebut seperti para pasien pasca suntik dari RS PMDT yang akan singgah untuk istirahat karena ESO (Efek Samping Obat) dan setelah ESO mereda pasien akan pulang ke rumahnya masing-masing; selanjutnya adalah pasien dari luar kota Bandar Lampung yang akan menginap atau transit sebelum dan sesudah ke RS PMDT dikarenakan akses transportasi yang sulit; kemudian yang terakhir adalah para pasien yang diberikan edukasi dan pendampingan bersama PS/MK dengan menerapkan protokol kesehatan dan kepatuhan pengobatan serta menghilangkan/mengurangi traumatik dampak Covid-19.
“Di shelter, kami memberikan edukasi dan motivasi kepada pasien dan keluarga tentang TB MDR, pengobatannya, efek samping obatnya, pencegahan, penularan hingga pendampingan yang dibutuhkan pasien saat harus konsultasi ke Ahli Jiwa/Psikiater pada malam hari,” tutur Irma.
“Pelayanan makan dan minum pasien juga kami berikan 2 x 24 jam selama pasien dan keluarganya menginap di shelter yang mana dana untuk itu kami ambil dari uang Iuran MK/PS. Di masa pandemic, shelter juga pernah digunakan sebagai tempat ambil obat pasien saat Kondisi buruk Pandemi Covid 19, selama 10 hari, dimana saat itu RS Full Bed dipenuhi pasien Covid 19,” tambah Irma terkait dengan pelayanan di shelter.
Beberapa kegiatan lainnya yang juga dilakukan di shelter adalah FGD dengan pasien dan keluarga, Posyandu Lansia bekerjasama dengan Pemerintahan Kelurahan, pengajian bersama lingkungan dan Majlis Masjid sekitar Shelter, dan tempat melakukan vaksinasi, bekerjasama dengan Puskesmas dan POLRES/POLSEK.
Dalam proses kerjanya, 1 MK bertanggung jawab untuk bertugas di shelter secara bergiliran setiap harinya sesuai dengan jadwal piket yang telah ditentukan. Selain PS dan MK, beberapa kader juga turut bekerjasama dengan MK/PS melakukan CASE FINDING TB RO, ataupun berkunjung untuk berkonsultasi menangani permasalahan yang timbul saat pendampingan pasien TBC RO maupun SO.
Selain melakukan pendampingan, para PS dan MK juga mengadakan kegiatan sell out yang kegiatannya dilakukan di shelter sebagai Basis Stock.
“Iya mba di masa pandemi kami membantu pasien yang memiliki usaha jual buah segar yang dikemas kemudian dibawa ke shelter dan kami jualkan langsung, maupun melalui WA Group “Pejuang Siger”. Usaha yang lain seperti minuman kemasan GURENJA (Gula Aren Jahe), usaha konektor hijab juga kami bantu pasarkan dengan cara dibeli sendiri ataupun promosi melalui WA Group”Pejuang Siger.” Pejuang Siger adalah group yang beranggotakan mantan pasien, pasien yang masih berobat, tenaga kesehatan, Kader, MK dan PS Mba,” tutur Irma Syafitri.
Dalam membantu pasien, Irma mengakui bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah bentuk rasa kepedulian untuk melindungi dan membantu pasien hingga sembuh. “Seyogyanya kami memberikan optimalisasi pelayanan kepada pasien dan juga masyarakat sekitar shelter untuk memberi rasa nyaman bagi yang membutuhkan dengan keberadaan,” ucap Irma. Bagi Irma, Shelter adalah Rumah Asa dimana bisa digambarkan secara umum mereka yang sudah mendapatkan pelayanan di shelter akan merasa senang.