Skip to content

Ibu Yenni; Ikon Baru Penggerak TBC di Kota Palu

unnamed (15)

Yenni Oktavianti atau akrab dipanggil Bu Yenni adalah koordinator kader yang lahir dan besar di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sejak lulus kuliah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako pada tahun 2012, Bu Yenni mengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri sebagai guru Bahasa Inggris selama 2 tahun. Disamping itu, Bu Yenni juga pernah bekerja sebagai wartawan kriminal dengan membantu pendampingan kasus kekerasan yang di laporkan melalui KPPA (Koalisi Perlindungan Perempuan dan Anak) Kota Palu. 

Ibu Yenni memulai karirnya di bidang Kesehatan dengan menjadi kader posyandu sejak tahun 2017 di Puskesmas Kamonji , Kecamatan Palu Barat. Ketika menjadi kader posyandu, Bu Yenni rutin memberikan pelayanan posyandu bagi balita,remaja dan lansia. Selain itu, Bu Yenni juga menjalankan kegiatan penyuluhan untuk remaja seputar bahaya NAPZA dan kesehatan alat reproduksi. Dimulai menjadi kader posyandu, ketertarikan beliau pada dunia kesehatan terus bertumbuh dan membuat beliau mendedikasikan penuh dirinya untuk aktif pada kegiatan sosial yang berkaitan dengan kesehatan.

Langkah-langkah beliau pun terus berlanjut hingga akhirnya membawa beliau pada program kesehatan tuberkulosis. Hal itu bermula ketika Bu Yenni aktif dalam mengikuti pelatihan-pelatihan untuk kader puskesmas dan mengetahui adanya peran kader TBC di masyarakat. Awalnya, Bu Yenni mengikuti pelatihan TBC pada bulan Juni 2021 yang dilaksanakan oleh SR Sulawesi Tengah dan dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sama lainnya hingga Desember akhir tahun kemarin. Berawal dari rasa ingin tahu serta semangat beliau yang tinggi untuk membantu pasien TBC, beliau mengajukan diri untuk menjadi koordinator kader. Keinginan tersebut muncul dari diri Bu Yenni sendiri. Beliau berkata, “Saya sangat senang bekerja di dunia sosial dan membantu orang banyak, karena jika kita bisa membantu urusan dari orang tersebut maka orang yang kita bantu mengangkat tangannya untuk mendoakan kita juga agar dimudahkan urusan” ujarnya. Pengajuan beliau disampaikan kepada SR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI selaku pelaksana Program Global Fund untuk Eliminasi TBC Komunitas. Melihat dedikasinya, Ibu Yenni dipercaya sebagai Koordinator Kader dan mengelola lima wilayah puskesmas dampingan yaitu wilayah Tipo, Mabelopura, Nosarara, Sangurara dan Kamonji Sulawesi Tengah. 

Dalam kesehariannya, Bu Yenni rutin melaksanakan penyuluhan dari satu wilayah ke wilayah lain melalui berbagai kesempatan baik secara formal maupun non-formal. Dari bulan Juli 2021, Bu Yenni telah merujuk terduga pasien sejumlah 41 orang melalui penyuluhan-penyuluhan yang beliau lakukan. Ketika menjalankan penyuluhan di lingkungan masyarakat, tahap awal yang beliau lakukan adalah dengan memperkenalkan bagaimana proses penularan TBC dan bahayanya bagi manusia. “Pemaparan tentang bahaya dan proses penularan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa TBC adalah penyakit yang harus kita eliminasi segera,” tuturnya. Selanjutnya, beliau juga mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan terkait dengan kebersihan.”Kesehatan kita berawal dari lingkungan yang bersih,sehat dan nyaman, maka saya terus menginisiasi kepada seluruh masyarakat untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih,” tambahnya.  

Tidak hanya melaksanakan penyuluhan, Bu Yenni juga sangat aktif berupaya melakukan mendampingi pasien-pasien yang tengah melakukan pengobatan agar mereka tidak putus dalam minum obat. “Saat ini, pasien dalam dampingan saya berjumlah 4 orang, dan alhamdulillah 1 diantaranya sudah sembuh,” ucap Bu Yenni.  Selain itu, dibantu oleh lima kader di setiap wilayah, Bu Yenni berusaha untuk melakukan investigasi kontak semaksimal mungkin–meskipun dengan segala hambatan yang ada–agar dapat menjangkau kasus dengan baik di daerahnya. “Di lapangan saat ini beberapa hambatan masih terjadi, terutama masyarakat yang enggan untuk diperiksa maupun dirujuk meskipun mereka sudah mengalami batuk lebih dari 2 minggu. Selain itu, banyak juga pasien yang tidak terbuka mengenai kondisi kesehatan mereka sendiri,” ucapnya.  

Kurangnya pemahaman TBC oleh masyarakat membuat Bu Yenni, yang juga aktif sebagai pengurus Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) gencar memberikan penjelasan kepada masyarakat sekitar  tentang pemeriksaan dahak untuk mengetahui status TBC. “Saya kebetulan membawahi bidang kesehatan di PKK. Oleh karena itu, saya kadang membuat program pemeriksaan dahak kepada masyarakat dengan gejala awal TBC dan memberitahu mereka bahwa pemeriksaan ini digunakan untuk mengecek kondisi mereka dan menganalisis jenis batuk yang tengah mereka derita,” kata Bu Yenni. 

Selain melakukan pendekatan kepada masyarakat, Bu Yenni membuat program Komunitas Masyarakat Peduli (KMP) TBC dengan menggandeng para pemangku kepentingan dan organisasi masyarakat lainnya seperti Anggota Dewan, RT, Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, dan para pengusaha. “Saya sudah mendapatkan donatur untuk membantu KMP TBC ini” ujarnya. Beliau menyampaikan bahwa program ini telah dikomunikasikan kepada beberapa Anggota Dewan yang berada di wilayah Palu Barat. Tidak hanya itu, beberapa pengusaha rekan-rekan dari Bu Yenni juga akan ikut andil dalam program tersebut dengan memberikan subsidi sembako  untuk para pasien yang kurang mampu. “Keterlibatan stakeholder sangat membantu untuk menyuarakan program ini agar masyarakat bisa lebih paham mengenai penularan, bahaya dan pencegahan dari penyakit TBC ini. Komunikasi rutin dengan RT dan Kamtibmas juga sering kami lakukan untuk membantu menemukan warga yg memiliki gejala untuk segera dirujuk, ” tambahnya. 

Usaha-usaha yang dilakukan Bu Yenni membuahkan hasil yang luar biasa. Semangat masyarakat untuk mulai melakukan cek kesehatan meningkat terutama di kalangan anak muda. “Ada hal menarik saat saya mensosialisasikan varian TBC, hasilnya menambah animo masyarakat untuk mengecek kondisi kesehatan mereka,” ucapnya. Aktifnya kegiatan sosialisasi yang Bu Yenni lakukan menjadikan Bu Yenni menjadi ikon Tuberkulosis di wilayahnya. “Ketika orang-orang melihat saya, yang mereka pikirkan adalah bagaimana perkembangan penderita TBC di lingkungan mereka, karena saya rajin memberitahu masyarakat sekitar untuk mendukung pasien TBC agar segera sembuh,” tambahnya. Selain itu, Bu Yenni dan teman-teman kader di wilayahnya hingga saat ini telah berhasil menemukan 8 pasien ternotifikasi TBC di wilayah cakupannya. 

Dengan kerja keras dan dukungan dari Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Bu Yenni yakin bahwa TBC dapat dieliminasi sesegera mungkin di wilayahnya. “Keberadaan Konsorsium Penabulu sangat membantu pihak Puskesmas dan juga kami dalam menemukan pasien yang terduga tertular TBC, hal ini juga kerap disampaikan oleh para pengelola TBC di Puskesmas,” tuturnya. Kedepannya, Bu Yenni juga berharap bahwa kader di wilayah lain memiliki semangat yang sama bahkan lebih sehingga dapat menemukan dan mengobati pasien TBC sesegera mungkin. “TBC bukan penyakit aib atau kutukan masyarakat, TBC adalah penyakit yang bisa diobati secara tuntas dengan rutin minum obat selama 6 bulan, oleh karena itu mari sebagai kader kita hilangkan stigma negatif TBC dan melangkah maju demi kesehatan dan kesejahteraan bersama.”


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Tengah

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Dwi Aris Subakti

Bagikan Artikel

Cermati Juga