Perspektif Pasien & Keluarga Dalam Pengobatan dan Dukungan Komunitas

Pasien J, seorang pria berusia 74 tahun, mulai mengalami batuk sehingga anaknya menyarankan untuk memeriksakan diri. Pada bulan April 2024, Pasien J didiagnosis menderita TBC. Setelah itu, kader kesehatan melakukan investigasi kontak (IK) dan menemukan enam kontak serumah (KS) lainnya. Dari hasil pemeriksaan dengan TCM (Tes Cepat Molekuler), satu dari KS lainnya dinyatakan positif TBC. Empat KS yang tidak menunjukkan hasil positif TBC diberikan terapi pencegahan TBC (TPT) dengan regimen 6H untuk mencegah penularan dari ayah atau suami mereka, sesuai dengan saran dari Puskesmas dan kader kesehatan. Dua KS lainnya yang masih berusia balita belum diberikan TPT.

Pasien IH, seorang wanita berusia 32 tahun, mengalami batuk selama satu bulan dan memutuskan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas. Setelah pemeriksaan dahak pada Juni 2024, Pasien IH didiagnosis dengan TBC. Ketika dikunjungi pada bulan ketiga pengobatan, hasil pemeriksaan dahak masih menunjukkan positif. Pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukan pada akhir September 2024. Pasien tidak mengalami efek samping obat (ESO) yang signifikan selama pengobatan. Kader kesehatan mendukung pasien dengan melakukan investigasi kontak (IK), membantu pengambilan obat dan TPT setiap bulan, serta memberikan pendampingan selama proses pengobatan.

Pasien LAM, seorang wanita berusia 29 tahun yang memiliki usaha potong rambut di rumah, mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh hingga akhirnya memeriksakan diri ke Puskesmas dan didiagnosis TBC. Kader kesehatan melakukan investigasi kontak (IK) dan menemukan dua kontak serumah (KS), yaitu seorang pria dewasa berusia 30 tahun dan seorang anak berusia 5 tahun. Pria dewasa menjalani pemeriksaan TCM dan diberikan terapi pencegahan TBC (TPT) dengan regimen 3HP. Anak berusia 5 tahun menjalani skoring dan juga diberikan TPT (3HP). Namun, setelah dua minggu, anak tersebut mulai menunjukkan gejala klinis TBC dan dinyatakan sebagai kasus TBC klinis oleh Puskesmas, sehingga TPT dihentikan dan pengobatan OAT (Obat Anti TBC) dimulai.

Komitmen Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dalam Melanjutkan Mandat Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2030

Pada tahun 2024–2026, PR Konsorsium Penabulu-STPI (PB-STPI) kembali mendapatkan mandat sebagai Principal Recipient (PR) Komunitas untuk kembali menjalankan program Eliminasi TB di Indonesia. Dengan beberapa penyesuaian indikator utama hingga details kegiatan mengacu pada Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020–2024, PR Konsorsium PB-STPI akan melaksanakan program di 190 kabupaten/kota pada tahun 2024 dan 229 kabupaten kota pada tahun 2025–2026.

Tanggal 27 November – 1 Desember 2023, PR PB-STPI melaksanakan kegiatan Workshop Konsolidasi Strategi Program 2024–2026. Kegiatan tersebut menjadi agenda penting untuk melakukan pembaharuan informasi, pembaruan strategi implementasi sesuai dengan perkembangan dan capaian kontribusi komunitas dalam penanggulangan TBC selama tahun 2021–2023. Selain itu, pertemuan ini digunakan sebagai ruang diskusi bersama untuk memperkuat tools perencanaan, monitoring dan evaluasi dari aspek program, keuangan, pengelolaan pengetahuan dan manajemen data.

Workshop Konsolidasi Strategi Program 2024-2026 ini diikuti oleh seluruh komponen PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI meliputi Authorized Signatory (AS), Management Advisory Team (MAT), para Manajer, Koordinator dan Staff dengan membawa harapan bahwa terdapat keluaran hasil yang diharapkan sesuai tujuan seperti kesepahaman grant cycle 7 2024–2026. Terutama pada tersusunnya beberapa dokumen penunjang kegiatan, yaitu: a. Pedoman Pelaksanaan Program (PPP), b.  Panduan Implementasi Program (PIP), c. Rencana Monitoring dan Evaluasi (M&E Plan), dan Rencana Kegiatan 2024–2026 (PoA), serta terciptanya simulasi dan input penggunaan aplikasi enabler.

Selanjutnya, hasil dari kegiatan Workshop akan menjadi landasan dalam pertemuan Konsolidasi Nasional Program Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI yang akan melibatkan seluruh SR dan beberapa SSR dengan capaian tinggi pada tanggal 17 -22 Desember 2023, di Bali. Semoga, Workshop Konsolidasi Strategi Program 2024–2026 yang melibatkan semua divisi kemudian dapat menjadi langkah awal untuk persiapan pelaksanaan program tahun 2024–2026 yang optimal.

 

Kontribusi Komunitas Masyarakat Peduli (KMP) Tuberkulosis dalam Mendukung Eliminasi TBC di Indonesia

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan global hingga saat ini. Indonesia menjadi negara kedua terbesar pengidap TBC setelah India  dengan jumlah kasus diperkirakan mencapai 969.000 per tahun. TBC merupakan penyakit menular yang mempunyai gejala seperti batuk lebih dari dua minggu, demam tinggi, berat badan dan nafsu makan menurun, lemas, dan berkeringat di malam hari. Perlu di garis bawahi, kasus kematian akibat TBC per tahun mencapai 200.000 atau lebih tinggi dari kematian akibat COVID-19.

Suasana anggota KMP Kahu, Bone saat melalukan Forum Group Discussion (FGD) di kegiatan peningkatan kapasitas anggota KMP

Untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, termasuk masyarakat agar berpartisipasi langsung dalam eliminasi TBC di Indonesia. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam mengatasi TBC adalah dengan membentuk Komunitas Masyarakat Peduli (KMP) Tuberkulosis (TBC). Komunitas ini memiliki peran penting dalam mendukung eliminasi TBC di wilayah akar rumput.

Pada prinsipnya kerja KMP TBC adalah mengakomodasi kepentingan masyarakat terutama pasien dan penyintas TBC sebagai media komunikasi untuk saling bertukar informasi antar masyarakat. Sehingga keberadaannya menjadi salah satu modal sosial yang cukup besar guna membangun kekuatan di tingkat komunitas. 

KMP memberikan Pemberian Makanan Nutrisi (PMT) kepada pasien TBC SO

Saat ini, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI memiliki 14 KMP yang tersebar di beberapa wilayah intervensi. KMP memiliki keanggotaan yang terdiri dari beberapa lini profesi meliputi dosen, guru, perangkat desa (lurah/RT/RW), bidan, tenaga kesehatan, pemuda desa dan profesi-profesi lainnya. 

Berikut adalah beberapa pemanfaatan KMP TBC Komunitas dalam mendukung eliminasi TBC di wilayah intervensi komunitas:

  • Peningkatan Kesadaran

KMP TBC memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang TBC. Melalui berbagai program dan kegiatan seperti sosialisasi, edukasi door to door, dan kampanye, komunitas mampu memberikan edukasi dan informasi tentang TBC serta cara pencegahan dan pengobatannya secara akurat dan tepat sasaran.

  • Peningkatan Deteksi Dini

Sebagai bagian dari masyarakat, KMP TBC mempunyai akses yang makin lama makin luas ke seluruh lapisan masyarakat. Adanya keanggotaan KMP dari berbagai profesi salah satunya tenaga kesehatan memudahkan koordinasi dan konsolidasi KMP terhadap layanan kesehatan terkait. Hal ini memungkinkan KMP membantu komunitas dalam melakukan deteksi dini kasus TBC pada masyarakat yang bergejala TBC. Ini adalah langkah awal yang krusial dalam rangka pengendalian penyebaran TBC.

  • Pendorong Pengobatan yang Efektif

KMP TBC membantu memotivasi pasien TBC untuk mengikuti pengobatan sampai tuntas. Dengan menerapkan pendampingan yang intensif melalui pemberian dukungan psikososial bagi pasien TBC dari mantan pasien, KMP TBC dapat memastikan bahwa pengobatan TBC pada pasien dilaksanakan sesuai standar dan tepat waktu. Tersedianya program pemberian nutrisi bagi pasien TBC juga dapat mendukung dan memberikan semangat kepada pasien TBC agar menyelesaikan pengobatannya hingga akhir. 

  • Mendorong Partisipasi Aktif Masyarakat dalam Program Pengendalian TBC

KMP TBC mendorong partisipasi aktif masyarakat pada program pengendalian TBC di wilayahnya. Di mana pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat lokal dinilai lebih efektif dalam mencapai target eliminasi TBC, karena terdapat peran aktif masyarakat dalam proses pencegahan dan pengendalian TBC. Hal ini diwujudkan dengan keterlibatan aktif KMP TBC dalam kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Di beberapa wilayah, keluaran Musrenbang dengan keterlibatan KMP menghasilkan output berupa tersedianya Anggaran Dana Desa bagi isu TBC di wilayah masing-masing. Terlebih jika ada jumlah data pasien yang akuntabel, anggaran dana desa dapat dipersiapkan lebih untuk isu TBC di wilayah yang berkaitan. 

Anggota KMP turut berpartisipasi dalam kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa untuk memasukkan isu TBC ke dalam anggaran dana desa setempat

Dengan berjalannya program-program di atas oleh KMP TBC, diharapkan tingkat kesembuhan pasien TBC akan meningkat secara signifikan dan eliminasi TBC dapat terwujud pada tahun 2030.

Shelter sebagai Rumah Singgah untuk Pasien Tuberkulosis Resisten Obat

Di tengah tantangan yang dihadapi oleh pasien tuberkulosis resisten obat (TBC RO), terdapat cahaya harapan yang terus menyala bagi mereka yang tidak menyerah menjalani perjalanan kesembuhan. Pasien TBC RO menghadapi tantangan besar dalam menyelesaikan proses dan tahap pengobatan mereka. Resistensi obat berarti bahwa tuberkulosis yang mereka alami tidak merespon dengan baik terhadap pengobatan standar, dan membutuhkan penggunaan obat yang lebih kuat. Ini berarti pasien perlu menjalani perawatan yang lebih lama dan kompleks, dengan efek samping yang serius dan dampak sosial mungkin dapat dialami terhadap kehidupan mereka.

Tampak depan shelter di kota Makassar, Sulawesi Selatan

Sehingga, dalam upaya memberikan bantuan dan perawatan yang lebih baik bagi pasien TBC RO, shelter hadir sebagai solusi untuk menyediakan rumah singgah yang nyaman dan aman bagi pasien selama perjalanan kesembuhan mereka. Seluruh pasien TBC RO dapat mengakses shelter kapanpun dan dimanapun selama mereka memerlukannya. Jarak antara rumah dengan RS PMDT yang cukup jauh dan bahkan berbeda kabupaten/kota, membuat perjalanan mereka cukup menguras tenaga. Dengan lokasi shelter yang berdekatan dengan RS PMDT, pasien dan keluarga dapat bersinggah untuk istirahat sejenak setelah/sebelum melakukan pemeriksaan di RS PMDT. 

Selain itu, manfaat utama shelter adalah penyediaan lingkungan yang steril dan terkontrol. Pasien TBC RO harus menghindari risiko penularan infeksi kepada orang lain, termasuk anggota keluarga mereka sendiri. Shelter menyediakan ruang yang terpisah, sehingga pasien dapat menjalani perawatan mereka dengan aman dan tidak menghadapi stigmatisasi yang seringkali terjadi di masyarakat. Sehingga di beberapa kota besar, pasien lebih memilih tinggal di shelter dari awal pengobatan hingga selesai pengobatan untuk menghindari terjadinya penularan di kediaman mereka yang cukup sempit. 

Proses Forum Group Discussion (FGD) pasien bersama dengan Organisasi Penyintas TBC (OPT)

Saat ini, tim komunitas memiliki 10 shelter aktif yang tersebar di beberapa wilayah. Dengan ketersediaan shelter tersebut, pasien merasa terbantu untuk menjalani proses pengobatan yang mereka lakukan. Shelter komunitas juga berperan sebagai tempat penyediaan perawatan terpadu yang lengkap. Pasien tidak hanya mendapatkan obat yang diperlukan, tetapi juga mendapatkan dukungan psikologis dan sosial yang sangat dibutuhkan. Dengan adanya pasien supporter (PS) dan manajer kasus (MK) yang memantau proses pengobatan pasien, melalui sesi konseling kelompok dan individu, pasien dapat berbagi pengalaman dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang penyakit mereka. Ini secara positif mempengaruhi persepsi mereka terhadap penyembuhan, pemulihan, dan mengurangi tingkat kecemasan dan depresi yang seringkali timbul.

Dukungan psikososial yang diberikan dari Pasien Supporter (PS) kepada pasien TBC RO di shelter

Penting untuk mengakui peran vital dan dampak positif yang dibawa oleh shelter bagi proses penyelesaian pengobatan pasien TBC RO. Dalam kondisi pasien yang seringkali sulit baik jiwa dan raga, shelter memberikan tempat yang aman, nyaman, dan mendukung untuk pemulihan pasien. Melalui fasilitas ini, pasien TBC RO dapat merayakan perjalanan kesembuhan mereka, mengatasi stigmatisasi, dan membangun kembali kehidupan yang sehat.

Pemberian nutrisi dari tim SR Sulawesi Selatan kepada pasien TBC RO di wilayah kota Makassar

Dalam upaya memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pasien TBC RO, penting bagi masyarakat, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah untuk bekerja sama dalam mendukung pemberian tempat yang baik dan layak untuk pasien TBC RO. Melalui upaya bersama, kita dapat membawa harapan bagi mereka yang berjuang melawan penyakit yang mematikan ini. 

Implementasi Workshop Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sebagai Usaha Menghentikan Laju Penularan TBC di Congregate Setting

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang diakibatkan oleh infeksi bakteri. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, otak dan organ vital lainnya. Dilansir dari website Yayasan KNCV Indonesia, berdasarkan laporan Global TB Report dari World Health Organization (WHO) tahun 2022, di tahun 2021 menjadikan TBC sebagai penyakit menular paling mematikan kedua di dunia setelah COVID-19. Yang mana angka kematian akibat TBC di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 150.000 kasus (satu orang setiap 4 menit), naik 60% dari tahun 2020 yang sebanyak 93.000 kasus kematian akibat TBC, dengan tingkat kematian sebesar 55 per 100.000 penduduk. Dengan contoh kasus tersebut, diperlukan upaya untuk mencegah dan mengendalikan penularan penyakit infeksi TBC di fasilitas kesehatan maupun dalam konteks masyarakat umum atau komunitas (non-fasilitas kesehatan) agar menekan laju angka kematian dan penularan TBC. 

Implementasi Workshop PPI di Pondok Pesantren Darussalam Pipitan, wilayah Banten

Pada hakikatnya, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi. Pada tahun 2009, WHO menerbitkan pedoman pengendalian infeksi untuk TBC pada berbagai setting, termasuk salah satunya berfokus pada congregate settings. Congregate Setting adalah suatu lingkungan dimana sejumlah orang bertemu dan berbagi ruangan sosial dalam jangka waktu tertentu. Berbagai contoh congregate setting yaitu sekolah, penitipan anak, tempat kerja, shelter (rumah singgah atau lokasi hunian pasca bencana), fasilitas rehabilitasi, asrama, dan lainnya. Situasi dalam congregate setting tersebut dapat meningkatkan risiko infeksi penyakit menular. Potensi dan peningkatan risiko penularan terjadi karena adanya kepadatan sosial dalam jangka waktu tertentu yang terbilang lama, sehingga penularan dapat lebih mudah terjadi. Dari lokasi congregate setting tersebut dapat berpotensi menjadi penyebab penularan kepada kontak dekat atau orang dalam satu rumah. 

Skrining dan edukasi TBC di Balai Disabilitas Sentra Phala Martha Sukabumi

Berdasarkan landasan di atas, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI mengembangkan model pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di congregate setting sebagai upaya promotif dan preventif terhadap infeksi penyakit TBC. Implementasi sosialisasi dan diseminasi uji coba Panduan PPI TBC di congregate settings dilaksanakan selama bulan Oktober – Desember 2022. Kemudian kegiatan implementasi Workshop PPI dibagi menjadi dua tahap, tahap 1 pada bulan Februari – April 2023, dan tahap 2 pada bulan Mei – Juni 2023.

Pada periode tersebut, workshop implementasi PPI dilaksanakan pada beberapa area congregate setting yang dipilih, seperti Sekolah Berasrama, Pondok Pesantren, Panti Asuhan, Panti Jompo, Panti Rehabilitasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), Panti Rehabilitasi Narkoba, Perusahaan/Pabrik, Perkantoran, Barak Militer dan Universitas. Workshop PPI juga melibatkan beberapa komponen pemangku kebijakan lintas program-lintas sektor baik di level nasional, level provinsi, dan level kabupaten/kota. Pada level nasional, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, lewat tim Program bekerjasama dengan Tenaga Ahli PPI (IPCD/IPCN atau Dokter dan Perawat pelaksanaan PPI di Rumah Sakit). Di level provinsi program PPI menggaet beberapa mitra yaitu Tim SR Konsorsium dan Biro Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Wasnaker), dan pada level kabupaten/kota berbagai pihak seperti Tim SSR/IU, Narasumber PPI Rumah Sakit (IPCD/IPCN), Manajemen/Pengurus/Pegawai/Penghuni Congregate Settings (Pondok Pesantren, Panti Asuhan, Panti Jompo, Panti Rehabilitasi ODGJ, Panti Rehabilitasi Narkoba, Perusahaan/Pabrik, Perkantoran, Sekolah Berasrama, Barak Militer, Universitas. Ada juga Perwakilan dari Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Kementerian Agama, Serikat Buruh/Pekerjaan, KOPI TB, IBI/IDI, Rumah Sakit, Puskesmas dan Kader turut mensukseskan kegiatan PPI yang diimplementasikan di 100 kabupaten/kota wilayah intervensi program kerja Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI.

Visitasi ke ruangan fasilitas berasrama di PT. Ikan Dorang, Surabaya

Dalam prosesnya, implementasi PPI di setiap kab/kota dilakukan selama 3 hari. Di hari pertama, kegiatan yang dilaksanakan meliputi perkenalan dan informasi tujuan pertemuan, paparan informasi dasar TBC dan penjelasan situasi TBC terkini di Kab/Kota yang disampaikan oleh Wasor TB Dinkes kab/kota. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab peserta, pemaparan panduan PPI TBC di congregate setting, diskusi dan curah pendapat, dan diakhiri dengan setting lokasi untuk pelaksanaan hari kedua. Pada hari kedua, kegiatan dimulai dengan visitasi/kunjungan ke ruangan fasilitas berasrama/pabrik/kantor untuk mengukur Air Change/Hour (ACH), relative humidity (RH), temperatur, dan kualitas udara dalam ruangan. Setelahnya, kegiatan diakhiri dengan diskusi pembuatan paparan kegiatan yang meliputi hasil visitasi/kunjungan, rekomendasi prosedur PPI dan alur mekanisme rujukan pasien TBC. 

Untuk peningkatan penemuan kasus aktif, kader di sekitar lokasi PPI juga melakukan skrining dan edukasi kepada beberapa penghuni dari tempat congregate setting tersebut. Kemudian di hari terakhir, kegiatan PPI di tutup dengan penyampaian paparan hasil workshop PPI, diskusi lanjutan dan feedback prosedur pengendalian dan pencegahan penularan TBC, serta penyampaian kesimpulan akhir prosedur pencegahan dan pengendalian penularan TBC. Implementasi workshop PPI di beberapa setting lokasi tersebut mempunyai tujuan:

  1. Memberikan pemahaman mengenai Panduan PPI TBC di area congregate settings
  2. Melakukan asesmen dan rekomendasi ke institusi terkait upaya pencegahan dan pengendalian infeksi TBC
  3. Menyusun, mengembangkan, dan menyepakati prosedur standar institusi dalam upaya pencegahan penularan TBC dan COVID-19, termasuk sistem rujukan dan integrasi institusi dengan surveilans kepada fasyankes setempat
  4. Mendapatkan input perbaikan terhadap dokumen PPI di congregate setting dengan pengalaman dan pembelajaran implementasi yang sudah berjalan
  5. Mendapatkan input untuk pengembangan dan penyusunan Pedoman PPI TBC pada komunitas

Dengan tujuan-tujuan diatas, besar harapan seluruh elemen pemegang kebijakan dan pelaku program kegiatan dari congregate setting dapat menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang disepakati pada setiap akhir kegiatan workshop PPI sesuai settings lokasi. 

 

Dikenal sebagai Ikon TBC, Ibu Siti Setiyani menyumbangkan angka TPT tertinggi di wilayahnya

Tuberkulosis merupakan kasus penyakit menular yang membutuhkan perhatian dari berbagai sektor baik pemerintah, pihak swasta, dan seluruh masyarakat. Dilansir dari Global TB Report 2022, estimasi kasus TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus (satu orang setiap 33 detik). Angka ini naik 17% dari tahun 2020, yaitu sebanyak 824.000 kasus. Dengan kondisi tersebut, diperlukan adanya strategi dan target untuk menurunkan estimasi kasus sehingga kasus kematian akibat TBC juga akan berkurang.

Ibu Siti Setiyani memberikan edukasi TPT kepada orangtua anak penerima TBC

Salah satu langkah yang dapat diterapkan untuk menghentikan laju kasus TBC adalah dengan program Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) di masyarakat. Terapi pencegahan tuberkulosis adalah serangkaian pengobatan untuk mencegah perkembangan penyakit TBC sehingga dapat menurunkan beban kasus TBC. Secara spesifik, TPT diberikan kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), kontak serumah dengan pasien TBC paru yang terkonfirmasi bakteriologis, dan  kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif. Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang enggan mengkonsumsi TPT dikarenakan kurangnya pemahaman fungsi dari TPT itu sendiri. 

Dengan fakta tersebut, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI menjadikan pemberian  TPT sebagai salah satu fokus implementasi program. Bekerja di 30 provinsi dan 190 kabupaten/kota, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI memberdayakan seluruh kader untuk memberikan edukasi terkait TPT kepada seluruh masyarakat yang mereka temui selama kegiatan penemuan kasus secara aktif di lapangan. 

Ibu Siti Setiyani melakukan skrining kepada keluarga pasien TBC

Ibu Siti Setiyani (43 tahun), kader TBC Komunitas dari Puskesmas Sedati, Sidoarjo adalah contoh sukses dari usaha kader dalam menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Beliau sudah bergabung menjadi kader TBC Komunitas sejak tahun 2019. Selama 3 tahun ini, beliau berhasil membawa Puskesmas Sedati menjadi penyumbang terbesar capaian TPT di Sidoarjo. Menurutnya, hal ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak, diantaranya Puskesmas, pemangku kebijakan dan kader lainnya di lapangan. “Saya selalu berkomunikasi dengan PJ-TB Puskesmas Sedati jika ada orang tua yang berkenan untuk anaknya diberikan TPT. Stok obatnya pun tersedia di Puskesmas ya, jadi saya merasa tidak kesulitan untuk membujuk orangtua agar anaknya mendapatkan TPT karena dari berbagai pihak semua sudah siap,” ucapnya. 

Namun, kendala yang beliau sering dihadapi di lapangan pun tidak sedikit, diantaranya penolakan dari sisi orang tua anak, stigma negatif dari masyarakat dan keterjangkauan akses fasilitas kesehatan. Tetapi hal ini dilalui oleh Ibu Siti Setiyani dengan berbagai strategi antara lain adalah:

  1. Koordinasi dan sinergitas yang baik dengan puskesmas dan perangkat desa sebagai bentuk advokasi program TPT kepada pemangku kepentingan
  2. Edukasi TPT kepada masyarakat secara menyeluruh (pengajian, pertemuan RT/RW dan pertemuan PKK) serta menggunakan media promkes yang mudah difahami oleh masyarakat seperti poster, leaflet dan media sosial
  3. Sosialisasi TPT pada Balita fokus kepada orang tuanya. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran orang tua terkait pentingnya TPT pada balita sehingga mengurangi adanya penolakan dari orang tua
  4. Menjalin kemitraan dengan kader kesehatan lainnya (kader posyandu dan kader lingkungan) dan ormas (kelompok pengajian, karang taruna, PKK) dalam hal perluasan informasi kesehatan, khususnya TBC dan TPT
  5. Kerjasama lintas program dengan program UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) lainnya. Seperti penyuluhan TPT yang dilakukan pada kegiatan Posyandu Balita, Pos Gizi Desa, Posyandu Lansia dan Posyandu Remaja

Dengan ketekunan komunikasi beliau pada masyarakat, Ibu Siti Setiyani sering dijuluki sebagai ikon TBC di wilayahnya. Proses edukasi hingga pendampingan pengobatan yang beliau lakoni dengan telaten membuatnya dicari oleh warga ketika mereka mempunyai gejala TBC. “Sekarang malah ada warga yang ngadu ke saya ingin anaknya mendapatkan TPT karena kontak serumah dengan pasien TBC. Nggih langsung saya dampingi minum obat sampai sekarang,” jelas beliau. Menurutnya, berbagai cara tersebut dapat berjalan baik tentunya didukung dengan kemampuan komunikasi yang baik oleh kader. “Kita harus tau dengan siapa kita berbicara, intinya ya pintar menempatkan diri dan berbaur Mbak,” tambahnya. 

Ibu dari sang anak memberikan obat TPT

Selain itu, orangtua dari anak penerima TPT merasa sangat terbantu dengan kehadiran kader TBC Komunitas di wilayah Sidoarjo. Bagi mereka, adanya kader memberikan mereka pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Proses pendampingan dan pengobatan pun berjalan lancar dengan dukungan dan bantuan dari kader TBC Komunitas. ”Alhamdulillah untuk penerimaan TPT ini, untuk pertama kalinya anak saya tanpa efek samping apapun, bahkan dia untuk asupan makannya banyak, makannya semakin banyak, energik dan tidak gampang sakit dari obat yang dia terima. Terima kasih kepada Ibu Siti Setiyani, pastinya karena sudah memberikan perlindungan kepada anak saya dari penyakit TBC,” ucap orangtua anak penerima TPT tersebut. Semoga, adanya kader TBC Komunitas memberikan kesadaran akan pentingnya pemberian TPT di masyarakat sehingga laju kasus dapat terhenti dan TBC dapat tereliminasi sesegera mungkin. 


Penulis: Winda Eka Pahla

Kolaburasi Kuat Kader dan Puskesmas Purwokerto Barat, Ciptakan Angka Capaian Tertinggi di Jawa Tengah

Seperti yang kita ketahui bersama, Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit yang dapat menular melalui udara, dari pasien TBC ke orang-orang disekitarnya. Dalam 1 tahun, jika pasien TBC yang terkonfirmasi bakteriologis tidak diobati secara cepat, tepat dan sesuai standar, maka ia berpotensi menularkan kepada 10-15 orang di sekitarnya. Dengan kondisi tersebut, diperlukan penemuan kasus secara aktif untuk mendeteksi secara dini dan akurat terhadap orang yang berkontak dengan sumber infeksi TBC. Investigasi Kontak (IK) merupakan kegiatan pelacakan dan investigasi yang ditujukan pada orang-orang yang kontak dengan pasien TBC (indeks kasus) untuk menemukan terduga TBC. Kontak yang memiliki gejala TBC akan dirujuk ke layanan kesehatan untuk pemeriksaan lanjutan dan bila hasil diagnosanya positif TBC, akan segera diberikan pengobatan sesuai standar. Sejak tahun 2021, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PB-STPI) turut aktif dalam melakukan kegiatan IK di 190 kabupaten/kota wilayah intervensi. Sehingga dari tahun 2021-2022, melalui kader-kader komunitas yang turun langsung untuk melakukan IK, berhasil menjaring 15.894 kasus TBC.

Pak Sugeng melakukan kunjungan ke rumah indeks kasus (pasien) untuk skrining dan edukasi TBC

Dari seluruh wilayah intervensi Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, wilayah Banyumas, Jawa Tengah merupakan salah satu penyumbang capaian terbesar kegiatan IK. Banyumas memiliki capaian notifikasi kasus tertinggi di Jawa Tengah yaitu sebesar 1.001 (184%) dan berkontribusi 20% dari total capaian Jawa Tengah (6.661). Praktik baik dari Banyumas ini, adalah kerjasama antar kader yang aktif dalam melakukan IK di masyarakat, salah satunya adalah Bapak Muhammad Sugeng. Pak Sugeng, merupakan salah satu kader komunitas di wilayah Purwokerto Barat. Di wilayahnya, beliau dikenal sebagai kader yang cermat dalam melakukan pendekatan kepada pasiennya. Beliau sangat runtut  dalam memberikan edukasi dengan menjelaskan apa itu TBC,  faktor penyebab TBC, gejala TBC dan pengobatan terkait TBC. Beliau juga selalu memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasien dengan juga memberikan edukasi TBC kepada lingkungan sosial pasien. “Saya pernah mendapat laporan bahwa orang yang terkena TBC berjualan dan masyarakat sekitarnya tahu sehingga menyebabkan jualannya tidak laku. Maka dari itu, ketika melakukan IK saya juga memberikan pengetahuan kepada masyarakat sekitarnya agar pasien TBC tidak diasingkan,” ucap Pak Sugeng.

Pemberian pot dahak dari kader komunitas kepada pasien TBC

Pak Sugeng mengatakan bahwa terdapat suka duka menjadi kader komunitas. Baginya, bentuk suka yang beliau rasakan adalah proses silaturahmi yang terjalin di lingkungan pasien TBC, bahkan sampai tingkat kecamatan, kelurahan, dan RT/RW. “Saya sangat senang ketika harus bersilaturahmi dengan banyak orang. Karena yang awalnya ngga kenal lalu jadi akrab, otomatis jadinya kita tambah keluarga baru,” jelas Pak Sugeng. Dukanya pun beliau rasakan ketika melakukan kunjungan pasien namun alamat yang dikunjungi tidak jelas. “Saya sering bingung kalau kunjungan tapi ternyata alamatnya kurang tepat. Terkadang kasus seperti ini terjadi karena domisili atau pasien pindah rumah namun tidak lapor kepada RT/RW setempat. Tapi alhamdulillah banyak senangnya daripada dukanya karena yang selalu saya rasakan adalah bahagia ketika menjalankan tugas,” tutur beliau.

Kerjasama yang baik antara Puskesmas Purwokerto Barat dengan Pak Sugeng dan rekan kader lainnya dinilai menjadi faktor pendukung utama dalam kesuksesan eliminasi TBC ini. “Alhamdulillah koordinasi antara kader komunitas dengan Puskesmas Purwokerto Barat sangat luar biasa. Kami mendapatkan suspek dan pot dahak dari Puskesmas, kemudian kalau hasilnya positif, kami langsung memberitahu kepada Puskesmas sehingga cepat untuk ditangani. Kemudian masalah data-data kami juga tidak pernah ada hambatan,” jelas Pak Sugeng.

Koordinasi Pak Sugeng dengan Mba Dini (PJ-TB) terkait pemberian data indeks kasus

Hal ini didukung oleh pendapat dari Mba Qiam Dwi Ramdhani sebagai Penanggung Jawab Program TBC di Puskesmas terkait. Menurutnya, kader komunitas sangat membantu untuk penemuan indeks kasus di Purwokerto Barat. “Selain mereka berpengalaman, mereka juga dapat membantu kami mengajak kader-kader kelurahan untuk lebih aktif lagi, sehingga kasus indeks di Puskesmas Purwokerto barat bisa di temukan lebih maksimal.” Beliau juga menambahkan bahwa setiap tersedianya kasus indeks, pihak Puskesmas selalu mengkomunikasikan dengan kader komunitas agar dapat di kunjungi dan di laporkan ke pihak Puskesmas untuk progressnya. Mereka juga memiliki grup Whatsapp yang di dalamnya terdapat kader komunitas sehingga komunikasi yang dijalin lebih terjaga.

Dari pelajaran cerita di atas tersebut, terlihat jelas bahwa dengan adanya koordinasi yang dijalin secara baik, maka akan memberikan dampak yang baik pula terhadap capaian eliminasi TBC. Semoga adanya kader komunitas di tengah-tengah masyarakat dapat membuat masyarakat lebih ter-edukasi dan terduga kasus TBC lebih maksimal untuk di temukan di Puskesmas Purwokerto Barat.


Penulis: Winda Eka Pahla

Pak Marzuki, Penyintas TBC yang Berdedikasi Membantu Menemukan Kasus TBC, Obati, dan Mendampingi Sampai Sembuh

PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI berkontribusi dalam penanggulangan tuberkulosis di Indonesia melalui penemuan kasus TBC berbasis komunitas. Dalam penemuan kasus TBC, salah satunya dilakukan melalui kegiatan community outreach yang diimplementasikan di 30 provinsi dan 190 kabupaten/kota wilayah intervensi program kerja komunitas. Community outreach adalah kegiatan penemuan kasus secara aktif (active case finding) yang memberikan layanan edukasi dan skrining TBC kepada populasi-populasi berisiko yang sulit memiliki akses ke pelayanan kesehatan, Dengan melaksanakan community outreach yang berdasarkan Indeks Kasus TBC, maka komunitas dapat melakukan edukasi dan skrining secara sistematis dan terukur. Menyasar masyarakat di sekitar indeks kasus dalam satu wilayah tertentu, yang sesuai dengan wilayah kerja pemerintahan; Dusun, Rukun Tetangga atau Rukun Warga.  

Potret Pak Marzuki sebagai Koordinator Kader Komunitas wilayah Tegalsiwalan, Probolinggo saat melakukan community outreach

Pak Marzuki, merupakan salah satu koordinator kader TBC Komunitas, di Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo. Beliau telah berdedikasi menjadi kader TBC selama 6 tahun. Hal ini bermula ketika pada tahun 2014 ia terdiagnosis terkena TBC dan harus menjalani pengobatan hingga 6 bulan lamanya. Saat menjadi pasien TBC, beliau bertemu dengan Penanggung Jawab Tuberkulosis (PJ-TB) Puskesmas Tegalsiwalan, yaitu Pak Bakhri. Pak Bakhri lah yang mendampingi dan memantau Pak Marzuki selama pengobatan. Ketika sembuh, Pak Marzuki langsung dipercaya untuk menjadi kader TBC di wilayah Tegalsiwalan. “Saya sangat merasakan butuhnya dukungan selama menjadi pasien TBC, oleh karena itu, setelah sembuh saya langsung berdedikasi untuk mengabdikan diri saya menjadi kader TBC di wilayah Tegalsiwalan agar menemukan pasien dan mendampingi mereka hingga sembuh,” ucap beliau. 

Pak Marzuki memberikan edukasi dan skrining TBC di pondok pesantren wilayah Tegalsiwalan

Menurut beliau, untuk melakukan proses-proses skrining atau investigasi kontak, beliau harus sensitif dan cermat untuk mencari lokasi penyuluhan. “Sebelum melakukan community outreach,  kita harus mencari sebanyak-banyaknya referensi lokasi dan mempunyai feeling bahwa kegiatan community outreach di lokasi tersebut dapat meraih capaian yang banyak,” jelasnya. Di wilayah Tegalsiwalan, beliau lebih sering bekerjasama dengan pihak pondok pesantren untuk mengadakan kegiatan tersebut. Hal ini karena potensi banyaknya penemuan kasus TBC di pondok pesantren, yang merupakan salah satu contoh dari congregate setting. Congregate Setting adalah suatu lingkungan dimana sejumlah orang bertemu dan berbagi ruangan sosial dalam jangka waktu tertentu atau biasanya lama. Situasi dalam congregate setting tersebut dapat meningkatkan risiko penularan penyakit menular, salah satunya TBC. 

Pak Marzuki saat menyerahkan pot dahak ke Puskesmas untuk diperiksa

Selain di pondok pesantren, Pak Marzuki dengan para kader lainnya juga aktif untuk mendengarkan informasi dari masyarakat. “Untuk bisa meningkatkan capaian community outreach, kami harus peka dan mendengarkan informasi yang datangnya dari masyarakat. Misalnya di suatu wilayah mayoritas masyarakatnya batuk-batuk, gejalanya sangat mendekati dan bisa diprediksi bahwa itu TBC, maka kami langsung datang dan memberikan pengertian terkait TBC,” jelasnya. Pak Marzuki menyampaikan bahwa keaktifan kader di wilayahnya berjalan sesuai yang diharapkan.

“Saya sebagai koordinator kader mengatakan kepada seluruh kader untuk menemukan sebanyak-banyaknya suspek dalam satu indeks. Jangan sampai kita kunjungan hanya mendapatkan satu pot dahak,” lengkapnya. Ia pun menyampaikan bahwa dalam upaya penanggulangan TBC, peran kader TBC terhadap notifikasi kasus sangat dibutuhkan karena mereka lah yang mendatangi warga dengan gejala TBC, mengedukasi dan mendampingi pelaksanaan pemeriksaan TBC sekaligus pengobatan sampai selesai. 

Dari tahun 2021 hingga 2022, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI telah melakukan penemuan kasus melalui community outreach sejumlah 79.499 dengan rincian semester 1:14.498, semester 2: 23.589, semester 3: 26.012, semester 4: 15.297. Kontribusi tersebut tentunya tidak akan diraih tanpa kerja keras kader TBC dan para stakeholder yang selama ini membantu.


Penulis: Winda Eka Pahla

Potret Tulus Kader TBC Komunitas Melakukan Kunjungan dari Rumah ke Rumah

Saat ini, Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh China. Tentunya, situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC di tahun 2030. Pentingnya TBC untuk dieliminasi dikarenakan TBC merupakan penyakit yang dapat menular dengan mudah melalui udara yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya. Ditambah lagi, arus globalisasi, transportasi, dan migrasi penduduk antar negara membuat TBC menjadi ancaman serius. Selain pengobatan TBC tidak mudah dan sebentar, penyakit TBC yang tidak ditangani hingga tuntas dapat berpotensi menyebabkan resistensi obat.

Perjalanan Kader melewati jembatan gantung untuk mencapai rumah indeks

Berdasarkan hal tersebut di atas Program Penanggulangan TBC merubah strategi penemuan pasien TBC tidak hanya “secara pasif dengan aktif promotif” tetapi juga melalui “penemuan aktif secara intensif dan masif berbasis keluarga dan masyarakat“, dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan layanan yang bermutu sesuai standar. Salah satu kegiatan yang penting untuk mendukung keberhasilan strategi penemuan aktif ini adalah melalui Investigasi kontak (IK). IK merupakan kegiatan pelacakan dan investigasi yang ditujukan pada orang-orang yang kontak dengan pasien TBC (indeks kasus) untuk menemukan terduga TBC. 

Dalam membantu pemerintah mencapai eliminasi TBC 2030, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bergerak bersama di 30 provinsi dan 190 kabupaten/kota melakukan investigasi kontak melalui sumber daya kader TBC komunitas di wilayah masing-masing. Provinsi Banten, menjadi salah satu wilayah prioritas dalam eliminasi TBC, yang kemudian menjadi wilayah intervensi komunitas. Hal ini terjadi karena delapan wilayah provinsi prioritas, salah satunya Banten, masih terjadi adanya gap treatment coverage.

Perjalanan Ibu Siti dan Ibu Leni saat mengunjungi rumah indeks

Kualitas proses pelaksanaan IK  sangat dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya kondisi geografis. Di wilayah Banten sendiri, khususnya Kabupaten Lebak, beberapa daerah masih memiliki akses jalan yang sulit dan bertanah. Hal ini menyebabkan Kader TBC komunitas harus berjuang lebih dalam melakukan kunjungan ke rumah indeks, seperti Ibu Siti Mulyasaroh dan Ibu Leni Sulastri. Kedua kader tersebut terbiasa menyusuri jalanan yang licin akibat hujan dan akses jalan yang sempit di pinggiran sungai. Tak dipungkiri, terkadang keselamatan mereka pun menjadi terancam dikarenakan melalui beberapa medan yang bahaya, seperti jalan setapak yang di sampingnya sungai, jembatan gantung, perkebunan sawit dengan jalanan yang dipenuhi lumpur,jalanan berbatu dan sebagainya. “Saya dan Bu Leni sudah biasa seperti ini Mba. Lebak mayoritas jalannya kaya gini, yang di kota pun sama, kita harus lewat hutan, sungai, panas terik sampai mendung pun sering kita lewati sama-sama,” tutur beliau. 

Ibu Siti dan Ibu Leni harus melewati perkebunan sawit dengan jalan yang licin dan berlumpur untuk sampai ke rumah indeks

Tidak hanya akses yang sulit, jarak tempuh menuju indeks pun memerlukan waktu kurang lebih satu jam. Karena kondisi yang tidak memungkinkan, terkadang Ibu Siti dan Ibu Leni harus menitipkan kendaraanya ke warga setempat dikarenakan akses menuju indeks tidak dapat dilalui oleh motor. “Akses jalan tidak semua bisa dilewati oleh kendaraan Mba. Biasanya kami naik motor dulu, terus untuk sampai ke rumah indeks kita titipkan motor ke rumah warga terdekat karena harus jalan ke puncak bukit untuk ke rumah indeks,” papar beliau.

Dengan kondisi tersebut, akan mustahil adanya untuk direalisasikan jika tidak dibarengi dengan niat tulus mewujudkan eliminasi TBC di wilayahnya. Kedua Ibu kader tersebut membuktikan bahwa dalam membantu sesama, akan hilang rasa lelah karena semua dilakukan dengan rasa senang dan ikhlas. “Kami tidak pernah merasa ingin menyerah ataupun capek menjalankan semua ini Mba, melihat pasien mau cek dahak ke Puskesmas saja sudah bikin kita senang karena perjuangan kita nggak sia-sia buat nyemangatin pasien kita berobat,” jelas Ibu Leni. Dengan jarak tempuh yang jauh dan akses yang sulit, tentunya banyak pasien yang terkadang menolak untuk melakukan cek dahak dan mengambil obat di Puskesmas. Hingga Ibu Leni dan Ibu Siti terkadang meminta bantuan tetangga sekitar untuk mengantarkan pasien ke Puskesmas dan memberikan uang bensin untuk perjalanan. “Kami itu ya kadang kasih uang bensin ke tetangga yang mengantar pasien Mba, karena kalau tidak begitu mereka nggak akan mau untuk ke Puskesmas, padahal kondisinya sudah batuk-batuk, anak-anaknya juga banyak, bahkan beberapa warga sini juga tidak punya BPJS,” kata Ibu Siti. 

Proses pemberian edukasi dan skrining yang dilakukan oleh Ibu Siti dan Ibu Leni dirumah indeks

Miris melihat situasi yang terjadi di lapangan ketika mengetahui bagaimana dedikasi Kader TBC Komunitas dengan reward yang mereka dapatkan sungguhlah tidak sepadan. Beberapa beban tambahan yang tidak terduga juga terkadang harus mereka pikul demi membuat pasien berkenan untuk berobat dan memulai pengobatan TBC. Sungguh cita-cita eliminasi TBC tidak akan terwujud tanpa adanya jiwa kemanusiaan dari para kader TBC Komunitas ini. “Kami hanya ingin mereka sembuh. Rasa lelah dan lainnya akan tergantikan dengan rasa bahagia jika kami bisa menemani mereka hingga pulih kembali,” tutur Ibu Siti.

Tanpa banyak pinta, Ibu Siti dan Ibu Leni pun menyampaikan bahwa ia hanya ingin disejahterakan dalam segi jaminan keselamatan dan reward yang pantas sesuai dengan perjuangan mereka. “Ya sebagai kader, semoga Bapak/Ibu semua dapat lebih memperjuangkan kami dalam segi pemberian reward ya, karena terkadang reward kami pun habis hanya untuk beli bensin karena jarak tempuh yang jauh. Dengan medan yang sulit, semoga juga adalah jaminan keselamatan bagi kami agar kami juga tenang saat menjalani tugas ini,” pinta kedua Ibu Kader. 

Dalam permasalahan ini, sungguh masih banyak kader-kader yang mengalami kejadian serupa di wilayah lainnya, bahkan memiliki medan yang lebih sulit dari  Ibu Siti dan Ibu Leni hadapi. Semoga, seluruh stakeholder yang berperan dapat menciptakan inovasi dan strategi yang baik dalam menjamin keselamatan dan kesejahteraan kader-kader di daerah. Sehingga, apresiasi yang diberikan dapat lebih membuat kader TBC komunitas semangat dalam melacak dan menemukan kasus TBC untuk mewujudkan eliminasi TBC di Indonesia. Kader adalah tonggak dari eliminasi TBC. Tanpa mereka, eliminasi TBC hanyalah wacana belaka yang mungkin akan sulit terwujud bila tidak dibantu oleh kader-kader luar biasa kita di daerah. Marilah kita berikan hormat kita kepada seluruh kader TBC Komunitas dan doakan agar selalu sehat dan sukses untuk kehidupan mereka. 


Penulis: Winda Eka Pahla

 

 

Dukung Eliminasi TBC 2030, SSR Sinergi Sehat Indonesia Bantul Ikut Terlibat dalam Penanggulangan TBC

Foto Bersama dalam Kegiatan Konfrensi Pers Pernyataan Bersama Upaya Penanggulangan Tuberkulosis di Kabupaten Bantul

Pengendalian penyakit Tuberkulosis termasuk satu dari lima prioritas kesehatan nasional. Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, estimasi kasus TBC pada tahun 2021 berjumlah 969.000 kasus TBC, namun baru 443.235 kasus TBC yang ditemukan dengan jumlah kematian sebanyak 15.186 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, penularan penyakit TBC mayoritas ditemukan pada kelompok usia produktif. Penularan penyakit TBC juga dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, pola hidup yang kurang aktif, penggunaan tembakau, dan alkohol (WHO, 2020).

Di Kabupaten Bantul, pada bulan Januari sampai November 2022, tercatat ada 1.216 kasus TBC yang ditemukan di seluruh fasilitas kesehatan di Kabupaten Bantul. 619 diantaranya adalah kasus TBC anak dan 12 kasus pasien TBC Resisten Obat. Jumlah tersebut masih 50% dari estimasi 2.431 kasus TBC di Kabupaten Bantul. Artinya masih banyak orang dengan TBC yang masih belum ditemukan dan diobati.

Proses Kegiatan Konfrensi Pers Upaya Kolaborasi Penanggulangan Tuberkulosis di Kabupaten Bantul

Selain masih banyaknya estimasi orang dengan TBC yang belum ditemukan, angka pasien yang putus berobat TBC di Kabupaten Bantul juga cukup tinggi yaitu sebesar 3,93% dari jumlah pasien yang diobati tahun 2021. Pasien yang tidak menjalani pengobatan sampai tuntas dikhawatirkan akan membuat pasien terkena TBC Resisten Obat. Oleh karena itu pendampingan bagi pasien TBC agar dapat menjalani pengobatan sampai tuntas sangat dibutuhkan.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk menekan angka penularan penyakit TBC di Kabupaten Bantul. Salah satunya adalah memberikan Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi kontak erat pasien TBC, menguatkan jejaring internal dan eksternal fasilitas kesehatan, serta kolaborasi multi sector melalui pendekatan District based Public Private Mix (DPPM).

Dinkes Bantul menyatakan komitmennya untuk saling berkolaborasi dalam peningkatan penemuan kasus TBC di Bantul

Melalui pendekatan DPPM, Dinas Kesehatan Bantul, fasilitas kesehatan, dan Komunitas saling berkolaborasi untuk meningkatkan angka penemuan kasus TBC serta memastikan pasien mendapatkan pengobatan sesuai standar dan berpusat pada pasien. SSR Sinergi Sehat Indonesia Bantul sebagai TBC Komunitas melakukan peranannya dalam penemuan kasus TBC melalui kegiatan Investigasi Kontak (tracing), Sosialisasi TBC ke masyarakat, mendorong pemberian TPT pada kontak erat pasien TBC, pelacakan dan edukasi pasien TBC putus berobat, serta pendampingan pasien TBC. Harapannya dengan adanya upaya kolaborasi tersebut dapat meningkatkan penanggulangan TBC di Kabupaten Bantul.

Mari kita temukan, obati sampai sembuh kasus TBC di Wilayah Kabupaten Bantul

TOSS TBC !