Dukungan Kader bagi Program TBC di Puskesmas Sembawa Saat Masa Pandemi COVID-19

Di masa pandemi COVID-19, semua orang harus cepat melakukan adaptasi dengan kondisi yang tidak menentu ini. Berbagai perubahan – perubahan turut menuntut penyesuaian-penyesuaian yang tidak hanya terjadi pada aspek kesehatan namun juga berimbas pada sosial, ekonomi juga perencanaan pembangunan yang berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.

Dalam bidang kesehatan, beban para tenaga kesehatan pun menjadi semakin bertambah dengan adanya pandemi COVID-19 ini. Adanya risiko-risiko seperti tertular penyakit, kelelahan dalam merawat pasien serta timbulnya stigma negatif sangat berpotensi mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas pelayanan medis tenaga kesehatan. Selain itu, petugas disibukan dengan kegiatan vaksinasi COVID-19 di lapangan. Keterbatasan tenaga khususnya tenaga labor di Puskesmas mengakibatkan terhambatnya proses pemeriksaan TBC di Puskesmas.   Oleh karena itu, Puskesmas Sembawa, khususnya petugas labor, memberikan pelatihan pembuatan slide sputum TBC  yang dilakukan sejak bulan September 2021. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses pemeriksaan di Puskesmas Sembawa, sehingga, sampel dahak dapat segera diperiksa dan tidak melebihi batas waktu ideal pemeriksaan 

Staff PMEL SR Sumatera Selatan menjelaskan proses implementasi kegiatan slide sputum TBC: 

“Iya untuk prosesnya, sampel dahak yang dibawa kader, kompor spiritus, kaca preparat, ose atau tusuk sate, masker, dan OPD yang telah dipersiapkan, merupakan beberapa peralatan yang digunakan untuk memulai fiksasi. Pada Kaca Preparat diberi nomor identitas slide sesuai dengan keterangan yang tertulis di Pot Dahak. Pot dahak dibuka dan sampel dahak diambil dengan menggunakan ose/tusuk sate dipindahkan di kaca preparat. Sampel dahak yang dibentuk di kaca preparat dibuat membentuk oval berukuran kurang lebih 2 x 3 CM. Kemudian sejenak didiamkan mengering di udara terbuka. Setelah kering, sediaan dahak tersebut difiksasi dengan cara melewatkan diatas nyala api sebanyak 2-3 kali. Setelah selesai, sediaan disimpan di dalam kotak slide.”

Pelaksanaan kegiatan ini terbilang cukup efektif karena selain menambah keterampilan kader, hal ini juga dinilai mempermudah dan membantu mempercepat proses pemeriksaan di Laboratorium. “Tentunya kegiatan ini berdampak kepada jumlah sputum yang dapat dilakukan pemeriksaan pada setiap hari, minggu, atau bulan. Jika biasanya ada penjadwalan pengantaran sputum bagi kader ke puskesmas, maka sekarang tidak,” tambah Andreansyah. Dengan keterampilan yang ada, kader dapat mengantar sputum kapan pun, dan membuat fiksasi sendiri tanpa menunggu petugas labor, yang mana sputum yang sudah difiksasi disimpan oleh kader ditempat yang telah ditentukan oleh Petugas Labor, untuk kemudian dilakukan pewarnaan dan pemeriksaan oleh Petugas Labor.

Andreansyah juga menjelaskan bahwa adanya pelatihan ini memberikan dampak yang baik pada angka capaian terduga di Puskesmas Sembawa. “Yang biasanya kami dalam sebulan hanya dapat melakukan pemeriksaan bekisar pada angka 40-50an, kini kami dapat mencapai angka lebih dari 50 bahkan menyentuh angka ratusan setiap bulannya,” tutur Andreansyah. Sehingga kegiatan ini dinilai cukup efektif untuk menemukan angka ternotifikasi karena semakin banyak yang diperiksa, semakin banyak kemungkinan kasus TBC yang akan ditemukan.

Adanya kegiatan ini tidak terlepas dari kerjasama multi-sektor yang dijalin oleh SR Sumatera Selatan dengan Puskesmas di daerah intervensinya tersebut. Awalnya, komunikasi dibangun atas dasar pengabdian yang terbentuk dalam wadah Komunitas Desa Peduli TBC (Komdes) yang dibentuk pada November 2020. Komdes bermula dari Desa Pulau Harapan Kec. Sembawa yang berisi dari Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Petugas Puskesmas dan Kader TBC yang kemudian membawa aktivitas kader menjadi berkembang ke wilayah kerja Puskesmas lainnya seperti Desa Lalang Sembawa, Desa Mainan, dan Desa Rejodadi. Kerjasama Kader antar Desa ini juga dikoordinir oleh Petugas Puskesmas Sembawa yang juga merupakan bagian dari Komdes.

Kegiatan tersebut dirasa sangat positif bagi para kader. Menurut Andreansyah, kader merespon dengan sangat antusias karena diberikan keterampilan yang menunjang hasil kinerja di lapangan dan capaian yang mereka peroleh. Kader juga mengapresiasi tinggi ada ilmu yang diberikan oleh Petugas Puskesmas kepada mereka, karena tidak semua kader mempunyai kesempatan yang sama seperti mereka. Andreansyah juga berharap bahwa semoga SR lain dapat menerapkan kegiatan serupa, atau mungkin kegiatan lainnya dengan mengidentifikasi potensi lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan kader, merekatkan hubungan baik dengan fasyankes, atau hal lainnya yang menunjang untuk meningkatkan capaian target.

 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sumatera Selatan

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Permata Silitonga

Perjuangan dan Harapan Bu Ramil untuk Eliminasi TBC-HIV di Nusa Tenggara Timur

Tuberkulosis (TBC) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit yang saling terkait. Jika seseorang yang sebelumnya memiliki bakteri TBC tetapi kemudian terkena atau tertular HIV, maka HIV akan menurunkan daya tahan tubuhnya dan kuman TBC yang ada sebelumnya pun akan aktif, sehingga bisa menyebabkan penyakit TBC. Selain itu, seseorang yang sebelumnya memiliki HIV di dalam tubuhnya juga akan rentan tertular berbagai penyakit menular termasuk TBC karena daya tahan tubuh yang rendah. 

Di Indonesia, berkaitan dengan penyakit TBC-HIV, Kementerian Kesehatan RI mengumumkan bahwa sepanjang tahun 2021, telah terjadi kasus TBC-HIV dengan estimasi jumlah ODHIV yang menderita TBC sebanyak 18.000 kasus dan jumlah kematiannya yang menembus 4.800 jiwa dengan angka tersebut, tentunya penanganan dan penjangkauan kepada pasien TBC-HIV yang optimal sangat diperlukan untuk meminimalisir angka estimasi kasus dan angka kematian akibat penyakit tersebut. Sehingga dengan kondisi yang terjadi saat ini, (Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) selaku  sub-recipient (SR) dari  Konsorsium Penabulu STPI berinisiatif untuk mengkolaborasikan program TBC dengan HIV melalui program TB Care di wilayah cakupan mereka yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT). Program TB-HIV Care yang dijalankan melibatkan kader TBC yang berperan memastikan pasien TBC yang ditemukan dan didampinginya untuk melakukan tes HIV di puskesmas.

Ramil Isdak Tomasui, atau wanita yang terkenal dengan nama Ibu Ramil merupakan salah satu kader yang dipercayai oleh PERDHAKI NTT untuk melakukan tugas mulia sebagai kader pada program TB Care tersebut. Melalui panggilan hatinya, Ibu dua anak ini mempunyai niat yang sangat tulus dari hati untuk mendampingi dan mengunjungi pasien TBC demi memutuskan rantai penularan TBC di masyarakat. Menurutnya, menjadi kader merupakan panggilan Tuhan yang ia rasakan agar mendapatkan berkat dalam kehidupannya. “Saya senang bisa mengurus atau membantu orang sakit untuk memutuskan kuman TBC. Karena dengan menjalankan tugas kemanusiaan ini, saya juga mendapatkan berkat dalam kehidupan saya dan ini adalah panggilan Tuhan buat saya,” tuturnya. 

Setiap harinya, Ibu Ramil aktif melakukan tugasnya sebagai kader dengan pergi mengunjungi pasien serta mencari suspek untuk diperiksa. Selain menjadi seorang kader TBC, Ibu Ramil juga mahir membuat kue yang kemudian dititipkan di kios-kios dekat rumahnya. Saat melakukan penjangkauan kasus, Ibu Ramil rela menempuh jarak yang sangat jauh dari rumahnya demi mendapatkan suspek para pasien TBC. Jalanan yang sepi serta medan yang rusak tidak menyurutkan semangatnya untuk menjalankan misi kemanusiaan tersebut. Derap langkah yang ia lakukan pun semata-mata dilakukan demi mengurus dan membantu orang dengan sakit TBC agar dapat terjangkau dan didampingi hingga sembuh. Rasa lelah yang Ibu Ramli rasa juga seketika hilang dengan rasa senang yang ia dapati ketika bertemu dengan para pasien TBC. “Ada momen tertentu dimana saya merasa bersyukur sudah mendapat ilmu tentang TBC dan bisa mengurus orang sakit dengan TBC. Saya bahkan sangat senang ketika saya bertemu dan membantu mereka hingga sembuh,” ucapnya. Semua itu rela ia lakukan demi untuk memutuskan penyakit akibat bakteri mycobacterium tuberculosis ini.

Hambatan demi hambatan kerap Ibu Ramil hadapi ketika melakukan penjangkauan kepada masyarakat. Terkadang, beberapa masyarakat tidak berkenan untuk menjawab secara jujur tentang kondisi yang dialaminya. “Ada orang-orang selalu jujur terhadap saya tetapi ada juga yang tidak mau jujur bahwa mereka itu sakit, tapi saya berusaha bagaimana caranya supaya mereka bisa terbuka dengan saya,” katanya. Namun, hal tersebut dapat diatasi oleh Ibu Ramil dengan terus menerus memberikan mereka edukasi terkait dengan penyakit tersebut. Selain itu, adanya pandemi juga kerap dijadikan alasan oleh masyarakat agar tidak dapat dikunjungi oleh para kader kesehatan terutama TBC. Tetapi Ibu Ramil tidak menyerah dan selalu melakukan pendekatan kepada masyarakat agar kehadirannya dipercaya oleh masyarakat.

Dalam eliminasi TBC-HIV, Ibu Ramil memiliki peran yang sangat penting dengan menjadi pendamping pasien dengan penyakit tersebut. Sebagai pendamping pasien TBC-HIV, ia kerap membantu pasien mengambil obat di Puskesmas karena kondisi pasien yang tidak bisa berpergian.  Agar pasien juga dapat segera sembuh, Ibu Ramil juga tak henti-hentinya untuk selalu mengingatkan pasien TBC-HIV agar selalu minum obat tanpa putus. “Saya usahakan untuk selalu ada bagi mereka, karena bagi saya tugas ini adalah tanggungjawab yang harus saya lakukan,” tambahnya.

Selain mendampingi pasien TBC-HIV, Ibu Ramil juga kerap memberikan penyuluhan tentang TBC-HIV ketika melakukan kunjungan kepada masyarakat. Melalui media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang telah diberikan oleh PERDHAKI NTT, Ibu Ramil dengan semangat terus menularkan ilmunya kepada masyarakat di wilayah jangkauannya agar dapat memahami lebih tentang penyakit TBC dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat terhadap penyakit tersebut. 

Dengan usaha-usaha yang telah Ibu Ramil kerahkan, dalam tahun 2021, Ibu Ramil berhasil menemukan 2 pasien TBC-HIV melalui jangkauan yang ia jalankan. Selain itu, bekerja sama dengan kader-kader di wilayah cakupannya, Ibu Ramil berhasil menjangkau 15 pasien TBC yang mana pasien-pasien tersebut juga telah di skrining dan dilakukan pemeriksaan HIV untuk mengetahui lebih dalam tentang kondisi pasien tersebut. Dalam pendampingan pasien, Ibu Ramil juga  berhasil mendampingi 2 pasien TBC-HIV hingga sembuh, dengan 1 pasien yang masih dalam masa pengobatan. 

Dalam pelaksanaan pendampingan pasien TBC-HIV, PERDHAKI NTT memberikan kepercayaan penuh kepada kader untuk mendampingi serta memberikan edukasi seputar TBC-HIV kepada masyarakat. Selain itu, berkolaborasi dengan Puskesmas setempat, PERDHAKI NTT juga membuka jembatan antara Puskesmas dengan para Kader TBC untuk memeriksa pasien TBC yang didampingi kader agar melakukan tes HIV untuk memastikan penanganan seperti apa yang diberikan kepada pasien TBC tersebut. “Kami diberikan kepercayaan penuh ya dari PERDHAKI NTT untuk menjalankan tugas ini, berbekal dengan ilmu yang kami punya, kami juga akan terus menjalankan tugas ini dengan baik,’ ucap Ibu Ramil. 

Ibu Ramil memiliki harapan bahwa pemeriksaan TBC-HIV dapat segera diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya dalam melakukan pengobatan TBC, penting untuk memastikan status HIV pasien TBC. Sebab dengan memastikan tidak adanya virus ini didalam tubuh pasien TBC, maka pengobatan pun dapat berjalan efektif membunuh kuman TBC. Jika diketahui adanya HIV didalam tubuh pasien TBC, maka hal tersebut dapat berpengaruh pada menurunnya daya tahan tubuh si pasien, sehingga perlu ditambahkan pengobatan lanjutan untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien dan pengobatan TBC pun dapat berjalan efektif.


Cerita ini dikembangkan dari SR Nusa Tenggara Timur

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Permata Silitonga

Kreatif! Kader di Lampung Tengah Bantu Vaksinasi COVID-19 Seraya Screening TBC Kepada Warga

COVID-19 atau penyakit yang disebabkan oleh virus corona adalah penyakit yang pertama terdeteksi di Provinsi Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019. Pola penyebarannya begitu cepat dan masif dari manusia ke manusia. Muncul adaptasi baru, yang mana semua orang harus menjaga jarak, menghindari kerumunan, selalu menggunakan masker dan membiasakan dengan budaya hidup baru yang disebut  protokol kesehatan. 

Di Indonesia, kasus COVID-19 pertama terdeteksi pada bulan Maret 2020. Pemerintah langsung melakukan tracking, peraturan larangan bepergian, penutupan tempat ibadah, sekolah, dan regulasi lainnya demi membatasi penularan COVID-19. Cepatnya mutasi yang berkembang dengan munculnya Varian Delta menjadikan COVID-19 cepat menular dan memiliki resiko kematian tinggi. Akibatnya, pada bulan Juni-Juli 2021, Indonesia mengalami gelombang tertinggi penularan COVID-19 dengan rata-rata harian mencapai 50.000 kasus.  

Kurangnya stok kamar di rumah sakit dan tabung oksigen yang langka, menambah miris cerita amukan COVID-19 di Indonesia. Disaat bersamaan, pemerintah melalui segala daya upaya berusaha mempercepat vaksinasi, dengan menggerakan seluruh lapisan baik unsur pemerintah, mulai dari Puskesmas, Rumah Sakit, TNI, Polri, maupun swasta bahkan Organisasi Kemasyarakatan. Berbagai unsur ini diminta menghimpun dan menyelenggarakan vaksinasi COVID-19 secara  massal dan gratis demi mencapai herd-immunity secara komunal di masyarakat.

Adanya pandemi juga berimbas pada penjangkauan kasus yang dilaksanakan oleh para kader TBC di wilayah cakupannya. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan ketakutan masyarakat untuk dikunjungi tenaga kesehatan menjadi hambatan besar yang harus dihadapi para kader TBC di lapangan. Namun, hal-hal tersebut dapat siasati oleh 3 kader TBC dari Lampung Tengah yaitu Mba Erma, Bu Eko, dan Mas Vajar. Mereka tetap menerapkan prokes yang ketat saat berinteraksi untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat. Kerjasama yang dibangun secara baik dengan para pemangku kepentingan seperti RT/RW dan petugas kesehatan lain di lapangan juga membuat yakin masyarakat bahwa kehadiran ketiga kader TBC ini berperan sebagai petugas kesehatan yang akan membantu mereka untuk tetap sehat.

Selain pelaksanaan investigasi kontak, para kader TBC juga turut aktif dalam penyelenggaraan vaksinasi. Kader komunitas TBC turut membantu tenaga kesehatan dalam pendaftaran peserta vaksin, penginputan data pada aplikasi, serta memastikan vaksinasi  berjalan tertib, kondusif, dan berjalan sesuai dengan protokol kesehatan.  Hal ini seperti yang disampaikan oleh Erma Afriyandari, salah satu kader Inisiatif Lampung Sehat, Kecamatan Padang Ratu. “Iya saya di  ajak dr. Ana. Dr.Ana adalah petugas TBC di Puskesmas Padang Ratu. Selain petugas TBC Puskesmas, dr. Ana juga di bagian vaksinator jadi saya diajak membantu karena kebetulan saya bisa komputer. Bagian saya berubah ubah sih, kadang di  bagian pendaftaran, kadang di bagian PCare,” ujar Erma.

Ketika membantu kegiatan vaksinasi, Erma juga tak lupa untuk melaksanakan tugasnya sebagai kader TBC. Kepada masyarakat yang dilayani, Erma mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan gejala-gejala umum TBC. “Disaat saya bertemu dengan masyarakat, selain saya tanya riwayat kesehatan, pasti saya juga selipkan beberapa pertanyaan terkait dengan gejala awal TBC seperti sedang batuk tidak? Jika batuk saya sarankan untuk  melakukan pemeriksaan dahak di Puskesmas, jadi sembari pemberian layanan vaksinasi ini, saya juga melakukan  skrining TBC, sehingga capaian yang saya dapatkan lumayan mas,” ujar Erma. Dengan inovasi skrining yang Erma lakukan, ia berhasil memperoleh capaian terduga sebanyak 120 dengan 7 kasus positif TBC sepanjang tahun 2021. 

Hal senada juga disampaikan Bu Ekowati dan Mas Vajarudin sebagai kader TBC di Kecamatan Bandar Mataram. Kedekatan mereka dengan petugas TBC di puskesmas memotivasi beliau untuk mengambil peran pada kegiatan vaksinasi di wilayah cakupannya. Jiwa sosial  mereka sebagai kader TBC yang sudah sering bekerja di tengah-tengah ancaman penyakit menular juga membuat mereka tidak ragu untuk turut serta mensukseskan program vaksinasi tersebut. “Ya kami berdua ikut bantu-bantu di bagian pendaftaran. Saat proses pendaftaran, kami juga menanyakan riwayat penyakit peserta vaksin, punya efek samping obat apa enggak, dan ya kami juga sembari menanyakan beliau ada batuk-batuk atau tidak? Kalau batuk kami kasih pot dahak untuk periksa TBC di Puskesmas. Apalagi saya kan Alumni Pasien Covid juga, jadi saya merasa ini adalah kesempatan saya untuk berbuat agar yang lain tidak sampai merasakan sakit nya COVID-19,” ucap Bu Eko. Dari proses skrining tersebut, Bu Eko dan Mas Vajar berhasil memperoleh 11 temuan kasus positif TBC dari temuan Bu Ekowati 8 Kasus dan Mas Vajarudin 3 Kasus selama tahun 2021.

Melihat hasil yang dicapai, Suroto selaku Program Officer SSR Lampung Tengah berkata, “Kegiatan program vaksinasi yang mereka lakukan dengan menyelipkan skrining TBC terbukti cukup efektif dalam menjaring suspek TBC. Sehingga selain membantu petugas  vaksinator, kader TBC Komunitas pun dapat melakukan edukasi serta mencari suspek TBC.” tuturnya. Suroto menambahkan bahwa partisipasi kader TBC dalam program vaksinasi telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2021 dengan menyisir kampung-kampung di wilayah Kabupaten Lampung Tengah. “Iya kegiatan ini telah dilaksanakan sejak bulan Agustus dan berakhir sampai selesainya program vaksinasi kampung-kampung pada akhir bulan 2021,” tambahnya.

Suroto berharap bahwa dengan upaya-upaya ini, COVID-19 dapat lebih terkendali bahkan segera hilang sekaligus dengan kasus TBC yang dapat tuntas dieliminasi. Ia juga akan terus mendukung kader-kader di wilayahnya agar mendapatkan timbal balik yang setimpal sesuai dengan usaha yang telah mereka lakukan dalam mengeliminasi TBC. “Kami akan terus membantu komunikasi antara  kader dan petugas TBC yang juga tim vaksinasi agar melibatkan kader TBC dalam kegiatan vaksinasi. Selain itu, kami memberikan reward tambahan untuk kader yang mendapat capaian terduga lebih dari target di luar reward dari Global Fund,” tandasnya.


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Tengah

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Dwi Aris Subakti

Ibu Yenni; Ikon Baru Penggerak TBC di Kota Palu

Yenni Oktavianti atau akrab dipanggil Bu Yenni adalah koordinator kader yang lahir dan besar di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sejak lulus kuliah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako pada tahun 2012, Bu Yenni mengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri sebagai guru Bahasa Inggris selama 2 tahun. Disamping itu, Bu Yenni juga pernah bekerja sebagai wartawan kriminal dengan membantu pendampingan kasus kekerasan yang di laporkan melalui KPPA (Koalisi Perlindungan Perempuan dan Anak) Kota Palu. 

Ibu Yenni memulai karirnya di bidang Kesehatan dengan menjadi kader posyandu sejak tahun 2017 di Puskesmas Kamonji , Kecamatan Palu Barat. Ketika menjadi kader posyandu, Bu Yenni rutin memberikan pelayanan posyandu bagi balita,remaja dan lansia. Selain itu, Bu Yenni juga menjalankan kegiatan penyuluhan untuk remaja seputar bahaya NAPZA dan kesehatan alat reproduksi. Dimulai menjadi kader posyandu, ketertarikan beliau pada dunia kesehatan terus bertumbuh dan membuat beliau mendedikasikan penuh dirinya untuk aktif pada kegiatan sosial yang berkaitan dengan kesehatan.

Langkah-langkah beliau pun terus berlanjut hingga akhirnya membawa beliau pada program kesehatan tuberkulosis. Hal itu bermula ketika Bu Yenni aktif dalam mengikuti pelatihan-pelatihan untuk kader puskesmas dan mengetahui adanya peran kader TBC di masyarakat. Awalnya, Bu Yenni mengikuti pelatihan TBC pada bulan Juni 2021 yang dilaksanakan oleh SR Sulawesi Tengah dan dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sama lainnya hingga Desember akhir tahun kemarin. Berawal dari rasa ingin tahu serta semangat beliau yang tinggi untuk membantu pasien TBC, beliau mengajukan diri untuk menjadi koordinator kader. Keinginan tersebut muncul dari diri Bu Yenni sendiri. Beliau berkata, “Saya sangat senang bekerja di dunia sosial dan membantu orang banyak, karena jika kita bisa membantu urusan dari orang tersebut maka orang yang kita bantu mengangkat tangannya untuk mendoakan kita juga agar dimudahkan urusan” ujarnya. Pengajuan beliau disampaikan kepada SR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI selaku pelaksana Program Global Fund untuk Eliminasi TBC Komunitas. Melihat dedikasinya, Ibu Yenni dipercaya sebagai Koordinator Kader dan mengelola lima wilayah puskesmas dampingan yaitu wilayah Tipo, Mabelopura, Nosarara, Sangurara dan Kamonji Sulawesi Tengah. 

Dalam kesehariannya, Bu Yenni rutin melaksanakan penyuluhan dari satu wilayah ke wilayah lain melalui berbagai kesempatan baik secara formal maupun non-formal. Dari bulan Juli 2021, Bu Yenni telah merujuk terduga pasien sejumlah 41 orang melalui penyuluhan-penyuluhan yang beliau lakukan. Ketika menjalankan penyuluhan di lingkungan masyarakat, tahap awal yang beliau lakukan adalah dengan memperkenalkan bagaimana proses penularan TBC dan bahayanya bagi manusia. “Pemaparan tentang bahaya dan proses penularan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa TBC adalah penyakit yang harus kita eliminasi segera,” tuturnya. Selanjutnya, beliau juga mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan terkait dengan kebersihan.”Kesehatan kita berawal dari lingkungan yang bersih,sehat dan nyaman, maka saya terus menginisiasi kepada seluruh masyarakat untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih,” tambahnya.  

Tidak hanya melaksanakan penyuluhan, Bu Yenni juga sangat aktif berupaya melakukan mendampingi pasien-pasien yang tengah melakukan pengobatan agar mereka tidak putus dalam minum obat. “Saat ini, pasien dalam dampingan saya berjumlah 4 orang, dan alhamdulillah 1 diantaranya sudah sembuh,” ucap Bu Yenni.  Selain itu, dibantu oleh lima kader di setiap wilayah, Bu Yenni berusaha untuk melakukan investigasi kontak semaksimal mungkin–meskipun dengan segala hambatan yang ada–agar dapat menjangkau kasus dengan baik di daerahnya. “Di lapangan saat ini beberapa hambatan masih terjadi, terutama masyarakat yang enggan untuk diperiksa maupun dirujuk meskipun mereka sudah mengalami batuk lebih dari 2 minggu. Selain itu, banyak juga pasien yang tidak terbuka mengenai kondisi kesehatan mereka sendiri,” ucapnya.  

Kurangnya pemahaman TBC oleh masyarakat membuat Bu Yenni, yang juga aktif sebagai pengurus Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) gencar memberikan penjelasan kepada masyarakat sekitar  tentang pemeriksaan dahak untuk mengetahui status TBC. “Saya kebetulan membawahi bidang kesehatan di PKK. Oleh karena itu, saya kadang membuat program pemeriksaan dahak kepada masyarakat dengan gejala awal TBC dan memberitahu mereka bahwa pemeriksaan ini digunakan untuk mengecek kondisi mereka dan menganalisis jenis batuk yang tengah mereka derita,” kata Bu Yenni. 

Selain melakukan pendekatan kepada masyarakat, Bu Yenni membuat program Komunitas Masyarakat Peduli (KMP) TBC dengan menggandeng para pemangku kepentingan dan organisasi masyarakat lainnya seperti Anggota Dewan, RT, Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, dan para pengusaha. “Saya sudah mendapatkan donatur untuk membantu KMP TBC ini” ujarnya. Beliau menyampaikan bahwa program ini telah dikomunikasikan kepada beberapa Anggota Dewan yang berada di wilayah Palu Barat. Tidak hanya itu, beberapa pengusaha rekan-rekan dari Bu Yenni juga akan ikut andil dalam program tersebut dengan memberikan subsidi sembako  untuk para pasien yang kurang mampu. “Keterlibatan stakeholder sangat membantu untuk menyuarakan program ini agar masyarakat bisa lebih paham mengenai penularan, bahaya dan pencegahan dari penyakit TBC ini. Komunikasi rutin dengan RT dan Kamtibmas juga sering kami lakukan untuk membantu menemukan warga yg memiliki gejala untuk segera dirujuk, ” tambahnya. 

Usaha-usaha yang dilakukan Bu Yenni membuahkan hasil yang luar biasa. Semangat masyarakat untuk mulai melakukan cek kesehatan meningkat terutama di kalangan anak muda. “Ada hal menarik saat saya mensosialisasikan varian TBC, hasilnya menambah animo masyarakat untuk mengecek kondisi kesehatan mereka,” ucapnya. Aktifnya kegiatan sosialisasi yang Bu Yenni lakukan menjadikan Bu Yenni menjadi ikon Tuberkulosis di wilayahnya. “Ketika orang-orang melihat saya, yang mereka pikirkan adalah bagaimana perkembangan penderita TBC di lingkungan mereka, karena saya rajin memberitahu masyarakat sekitar untuk mendukung pasien TBC agar segera sembuh,” tambahnya. Selain itu, Bu Yenni dan teman-teman kader di wilayahnya hingga saat ini telah berhasil menemukan 8 pasien ternotifikasi TBC di wilayah cakupannya. 

Dengan kerja keras dan dukungan dari Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Bu Yenni yakin bahwa TBC dapat dieliminasi sesegera mungkin di wilayahnya. “Keberadaan Konsorsium Penabulu sangat membantu pihak Puskesmas dan juga kami dalam menemukan pasien yang terduga tertular TBC, hal ini juga kerap disampaikan oleh para pengelola TBC di Puskesmas,” tuturnya. Kedepannya, Bu Yenni juga berharap bahwa kader di wilayah lain memiliki semangat yang sama bahkan lebih sehingga dapat menemukan dan mengobati pasien TBC sesegera mungkin. “TBC bukan penyakit aib atau kutukan masyarakat, TBC adalah penyakit yang bisa diobati secara tuntas dengan rutin minum obat selama 6 bulan, oleh karena itu mari sebagai kader kita hilangkan stigma negatif TBC dan melangkah maju demi kesehatan dan kesejahteraan bersama.”


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Tengah

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Dwi Aris Subakti

Aksi Peningkatan Penemuan Kasus dengan Kolaborasikan Program HIV dan TBC di Sulawesi Selatan

Tuberkulosis merupakan ancaman kesehatan yang serius, terutama bagi orang yang terkena HIV. Seseorang dengan HIV jauh lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit TBC dalam tubuhnya daripada seseorang tanpa infeksi HIV. Bahkan, di antara orang dengan infeksi TBC laten, HIV adalah faktor risiko terkuat yang membuat penyakit TBC cepat masuk karena daya tahan tubuh yang menurun sehingga mudah terserang penyakit lain.

Data laporan WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa satu dari empat kematian pada pasien TBC terjadi pada seseorang dengan infeksi HIV. Di Indonesia sendiri, Koordinator Substansi Tuberkulosis Kemenkes RI, dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA., menyebutkan bahwa tahun 2019 jumlah kasus TBC muncul sebanyak 845.000 dengan 19.000 di antaranya adalah pasien koinfeksi TBC-HIV.

Angka tersebut menyiratkan bahwa persoalan TBC dan HIV atau perpaduan keduanya hingga saat ini masih menjadi momok di masyarakat. Terlebih adanya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan informasi tentang TBC berkurang, padahal secara angka kasus kedua penyakit tersebut masih sangat tinggi. “Perlu upaya menemukan, mencegah, dan mengobati TBC pada orang dengan HIV, serta pentingnya tes HIV pada semua pasien TBC agar pencegahan dan terapi bisa dilakukan. Oleh karena itu, Yayasan Masyarakat Peduli TB Sulawesi Selatan (Yamali TB) sebagai bagian dari TBC Komunitas membuat program kolaborasi penanganan HIV dan TBC bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Program HIV di Sulawesi Selatan,” tandas Koordinator Program Yamali TB Sulawesi Selatan, Kasri Riswadi. 

Dalam kolaborasi ini, Yamali TB sebagai mitra dari PR Konsorsium Penabulu-STPI berinovasi untuk melakukan penguatan koordinasi bersama lintas program untuk melakukan eliminasi TBC-HIV. Di kota Makassar sebagai daerah irisan program TBC-HIV, Yamali TB menjalin relasi dengan OMS pengelola program HIV seperti SSR Yayasan Gaya Celebes, Yayasan Peduli  Kelompok Dukungan Sebaya (YPKDS), Yayasan Mitra Husada (YMH), serta Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia Daerah (KPAID) kota Makassar. Sistem kolaborasi dibangun dengan saling menarik dan melibatkan jejaring masing-masing yang dimiliki. Program kolaborasi ini disahkan sejak bulan Oktober tahun 2021 melalui kegiatan pertemuan kolaborasi TBC-HIV di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Menyambut baik ajakan dan inisiasi SR Yamali TB Sulsel, salah satu perwakilan OMS Program HIV, yakni Direktur Yayasan Gaya Celebes (YGC), Andi Akbar Hakim menuturkan bahwa upaya penguatan kolaborasi TBC-HIV ini bukanlah hal baru, karena kolaborasi juga telah dilakukan selama ini. “Penguatan memang selalu perlu kita lakukan, saya kira kader TBC dan kader lapangan HIV harus berjalan beriringan untuk saling support satu sama lain,” ucapnya.

Kegiatan kolaborasi dibagi menjadi dua hal sesuai dengan tujuan dan pelaksanaan agenda dalam eliminasi TBC-HIV. Pertama, agenda program diimplementasikan dengan memastikan setiap pasien TBC yang ditemukan oleh Yamali TB langsung melakukan pemeriksaan HIV dan juga sebaliknya, setiap pasien HIV yang ditemukan oleh OMS Program HIV langsung melakukan pemeriksaan TBC. “Komitmen bersama kita adalah jika ada pasien TBC yang diedukasi, diperiksakan dan positif HIV, maka Yamali TB memastikan OMS HIV mengambil alih dalam hal pendampingan dari sisi HIVnya, demikian sebaliknya,” jelas Kasri. 

Tahapan pertama yang mereka lakukan adalah edukasi dari kader TBC. Ketika mengetahui pasiennya mempunyai gejala TBC-HIV selanjutnya kader akan memastikan pemeriksaan HIV di Puskesmas. Jika pasien tersebut positif, maka Kader TBC akan melibatkan pendamping HIV untuk didampingi terkait status HIV begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh OMS HIV ketika mengetahui pasiennya mempunyai gejala TBC. Sehingga dalam rangka mendukung program tersebut, Yamali TB menggerakkan ratusan kader yang telah dibekali informasi TBC dan HIV melalui pelatihan pengetahuan tentang kedua penyakit tersebut, memfasilitasi kegiatan penjangkauan dan pemeriksaan, serta bekerjasama dengan pihak lain untuk mendukung upaya-upaya baik tersebut.

Selain pemeriksaan dan pelatihan, agenda kedua yang diimplementasikan adalah dalam bentuk advokasi. Agenda advokasi meliputi lobi eksekutif dan legislatif untuk peningkatan anggaran program TBC-HIV, pembentukan lorong/kampung atau RT/RW bebas TBC-HIV, serta pelibatan lintas sektor untuk aksi sosialisasi dan edukasi TBC maupun HIV. Dalam kegiatan ini, Yamali TB dan OMS program HIV aktif dalam melibatkan pihak lain sebagai bentuk penguatan program eliminasi TBC-HIV. Sektor lain terlibat pada peran, kapasitas dan relasinya masing-masing. Sebagai contoh Yamali TB dan OMS program HIV melibatkan Dinas Kesehatan terkait data pencatatan dan pelaporan, Dinas Ketenagakerjaan untuk proses edukasi dan sosialisasi TBC maupun HIV di jejaringnya, demikian halnya OMS lainnya seperti Aisyiyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang mempunyai basisnya masing-masing sesuai bidang mereka. Selain itu, Yamali juga melibatkan beberapa lembaga filantropi seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah (Lazismu), serta Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) untuk program nutrisi bagi pasien TBC-HIV.

Sejak dijalankannya program ini, respon sangat baik diperlihatkan terutama oleh para populasi kunci. Mereka merasa sangat terbantu terlebih dengan adanya akses informasi yang diterima dengan baik dan pemeriksaan yang terfasilitasi satu sama lain. “Selama ini, pasien HIV terkadang enggan memeriksakan TBC karena biasa dibebani biaya maupun sebaliknya, tapi dengan kolaborasi ini semua disinergikan sehingga terkoneksi dengan baik sehingga mereka melakukan pemeriksaan secara gratis,” tutur Kasri Riswadi.

SR Manager SR Yamali TB Sulsel, Wahriyadi, juga menambahkan bahwa, “Selama ini dalam implementasi program TBC Komunitas, edukasi HIV kepada pasien TB sudah aktif dilakukan oleh kader, bahkan hal itu masuk sebagai salah satu indikator penunjang program. Sehingga pasien merasa terbantu oleh informasi komunikatif yang telah diberikan oleh para kader,” tambah Wahriyadi.

“Kita tentu berharap bahwa kolaborasi program TBC-HIV dapat berjalan di provinsi dan daerah lain, mengingat bahwa TBC dan HIV ini tak terpisahkan. Banyak hal dapat kita lakukan, seperti identifikasi mitra dan relasi potensial, kemudian dilanjutkan dengan menjalin komunikasi dan silaturahmi,” ucap Kasri. Ia juga berharap bahwa kedepannya, seluruh SR dapat menciptakan aksi bersama di wilayah masing-masing untuk penguatan dan penjangkauan kasus baik TBC maupun HIV sehingga kedua masalah ini dapat dicegah dan dieliminasi hingga tuntas. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Selatan

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Dihindari hingga Dicari : Perjalanan Pak Sukri Memberdayakan Pasien TBC MDR

Kurangnya motivasi, timbulnya efek samping ketika minum obat, lelah akan keadaan membuat sebagian pasien tuberkulosis (TBC) memutuskan tidak melanjutkan pengobatan mereka. Hal ini dapat menyebabkan kondisi pasien memburuk dan mengalami resistensi (kebal) terhadap obat antibiotik. Oleh karena itu, dukungan psikososial diperlukan untuk mendukung pasien selama masa pengobatan. Selain petugas kesehatan, anggota masyarakat yang terlatih dapat berperan sebagai Patient Supporter (PS). Sebagai pendamping pasien minum obat, PS adalah salah satu ujung tombak dalam penyembuhan pasien TBC karena mempunyai andil besar melalui komunikasi yang efektif, edukasi, serta memotivasi pasien agar rutin minum obat. 

Sukri Sikumbang merupakan salah satu PS pasien TBC MDR di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Selain menjadi PS, beliau berwirausaha dengan membuka depot air isi ulang di daerahnya. Lelaki yang akrab dipanggil Pak Sukri ini juga aktif dalam beberapa organisasi masyarakat. Beliau aktif di organisasi Muhammadiyah sebagai Pimpinan Cabang Muhammadiyah Stabat, Kabupaten Langkat dan mempunyai rekam jejak sebagai pengurus Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) di kelurahan yang ia tempati.

Sejak bulan Maret tahun 2017, beliau bergabung dengan TB Care ‘Aisyiyah sebagai Kader TBC. Walaupun bukan berasal dari latar belakang pendidikan kesehatan, hal tersebut tidak mengurungkan niat beliau untuk menjalankan tugas mulia ini. Dedikasi yang tinggi menjadikannya semangat dan senang dalam melaksanakan pendampingan pasien. 

“Tak banyak orang yang mau dan mampu untuk menjadi PS. Prinsip saya, sedikit ilmu yang saya miliki tetapi bisa bermanfaat bagi orang lain,” tuturnya. Pak Sukri yang memulai karir dengan menjadi kader memperoleh ilmu-ilmu tentang pendampingan pasien peroleh melalui pelatihan-pelatihan tentang penanggulangan TBC yang diselenggarakan oleh TB Care ‘Aisyiyah, SSR Kabupaten Langkat, SR Yayasan Mentari Meraki Asa serta belajar secara mandiri.

Semangatnya juga ia teruskan dengan menjadi kader TBC di Yayasan Mentari Meraki Asa selaku mitra dari PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Dedikasinya yang kuat serta pengalamannya di masyarakat membuatnya berniat berperan sebagai PS pasien TBC MDR. “Beliau rajin dan semangat dalam melakukan pendampingan. Pengalaman beliau juga menjadi salah satu tolak ukur untuk melibatkan beliau menjadi PS,” tutur Azmil Husairi selaku Manajer Kasus yang bertanggung jawab dengan pelaporan dan wilayah kerja Pak Sukri.

Saat ini, beliau mendampingi 11 pasien yang masih dalam masa pengobatan di kecamatan yang berbeda. Salutnya, beliau bergerak melakukan pendampingan ke pasien bersama dengan istrinya yaitu Ibu Aminah yang merupakan  Koordinator Kader  di Yayasan Mentari Meraki Asa. Bersama dengan istri, beliau bergerak bersama ke lapangan untuk mengetahui  kondisi pasien yang sebenarnya dalam setiap kunjungan. “Keterlibatan istri pada penjangkauan pasien sangat berarti bagi saya. Ia juga sangat berperan sekali dalam menemani berkomunikasi dengan pasien-pasien perempuan. Jika ada pasien perempuan yang sungkan komunikasi sama saya karena saya laki-laki, saya dibantu oleh istri saya,” tambahnya. 

Pekerjaan yang mereka jalani bukan tanpa hambatan. Untuk melakukan pendampingan pasien, Pak Sukri harus melalui jarak tempuh yang jauh dan medan yang sulit. “Jalanan yang berliku serta melewati perkebunan kelapa sawit yang sangat luas, inilah keadaan yang saya jalani mba,” katanya. Jarak tempuh dari rumah Pak Sukri menuju rumah pasien memakan waktu sekitar 2,5 jam perjalan dengan sepeda motor yang ia kendarai. Tapi keadaan tersebut tidak membuat beliau menyerah untuk membantu pasien TBC hingga sembuh. 

Ia menambahkan bahwa ketika awal mula terjun ke lapangan sebagai PS, ada rasa takut yang amat dalam ketika membayangkan jika dirinya tertular TBC dengan tipe yang sama. Namun, pemikiran itu ia patahkan dengan terus meyakinkan diri sendiri dan menguatkan hati agar tidak ragu dan takut. “Saya berpikir bahwa saya akan mendampingi orang orang yang mengalami sakit TBC MDR, takut sih mbak awalnya, tapi saya harus buang pemikiran itu karena siapa lagi yang akan membantu jika bukan kita,” tambahnya. 

Walaupun ada resiko yang dihadapi, Pak Sukri dan istri mengatakan bahwa segala sesuatu yang sedang mereka jalani saat ini merupakan sebuah panggilan hati. Mereka tulus dan ikhlas untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. “Saya berpikir, pasien TBC MDR mengalami masa pengobatan yang panjang, minum obat yang banyak dan efek samping yang cukup berat, sehingga pasien tersebut membutuhkan orang tempat ia bertanya, bercerita tentang efek samping selama minum obat, dan saya harus bisa mendampinginya agar ia tidak merasa dikucilkan oleh masyarakat karena sakitnya,” ucap Pak Sukri. 

“Setiap pasien yang saya dampingi mempunyai cerita/momen tersendiri. Tapi yang paling spesial ada satu pasien yang 5 kali saya ke rumahnya, ia tetap tidak mau bicara pada saya”, tuturnya. Beliau adalah Bu Lilis, pasien dengan TBC MDR ini sudah dikunjungi rutin oleh Pak Sukri dan Istri. Saat didatangi, beliau tidak pernah berkenan untuk berkomunikasi secara tatap muka dengan Pak Sukri. Sehingga melalui perantara istrinya, Pak Sukri terus-menerus memberikan pemahaman tentang peran Pasien Supporter

Berbekal pengetahuan dan komunikasi yang Pak Sukri miliki, beliau menjelaskan dengan tulus dari hati dan kelembutan hingga akhirnya pasien tersebut mau dan menerima Pak Sukri dengan tangan terbuka untuk melakukan pendampingan. Pak Sukri juga menambahkan bahwa Bu Lilis selalu cek jadwal pendampingan dan langsung menghubungi dan bertanya kapan Pak Sukri akan datang. Bu Lilis sembuh dari penyakit tuberkulosis setelah 1,5 tahun berjuang dan bisa kembali melakukan aktivitas seperti sedia kala. “Saya sangat bahagia bisa sembuh. Selama pengobatan, saya selalu nurut perkataan Pak Sukri, beliau juga sangat sabar menghadapi saya”, tutur Bu Lilis.

Rutin mengunjungi pasien, menanyakan tentang berapa sekarang jumlah obat yang diminum, menyemangatinya agar tetap semangat  rutin minum obat, dan meyakinkannya bahwa TBC MDR ini bisa sembuh dengan kepatuhan minum obat serta mengikuti anjuran dokter merupakan cara-cara yang Pak Sukri lakukan untuk membangun kepercayaan antara beliau dengan pasien. “Saya melaksanakan benar-benar dari hati yang tulus, bersyukurlah Allah yang memberikan kita kesehatan dan ilmu tentang TBC sehingga kita dapat menyenangkan hati para pasien dengan kehadiran kita,” ucapnya. Ia juga menambahkan bahwa di tengah banyaknya kasus pandemi COVID-19, ketika melakukan pendampingan beliau memberikan pemahaman dan melaksanakan penyuluhan secara detail kepada pasien maupun lingkungan sekitar pasien  agar mereka dapat memahami tentang TBC dan dapat membedakan antara TBC dengan COVID-19. 

Usaha pendampingan pasien yang Pak Sukri jalani pun membuahkan hasil. Sejak 2017 melakukan pendampingan pasien, Pak Sukri telah berhasil mendampingi 10 pasien hingga sembuh. Pengalaman Pak Sukri mengilustrasikan bahwa masyarakat yang sakit TBC resisten obat butuh dukungan sesama anggota masyarakat untuk menyemangati mereka meraih kesembuhan. Saat diwawancarai, Pak Sukri juga ingin memberikan semangat kepada seluruh teman-teman PS yang berjuang di lapangan saat ini. Beliau berpesan, “Laksanakan tugas mulia ini dengan senang hati dan ikhlas. Bersyukur kita yang diberi peran  sebagai patient supporter, karena tugas ini sangat mulia dan bisa menjadi ladang amal untuk kita semua.” 

 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sumatera Utara

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Inovasi Para Kader Sebagai Bentuk Perjuangan untuk Eliminasi TBC di Pontianak

Tuberkulosis (TBC) bukan lagi penyakit yang asing ditelinga kita. Saat ini, TBC masih menjadi masalah dunia meskipun upaya penanggulangan TBC sudah diterapkan di setiap negara. Dilansir dari web resmi Kementerian Kesehatan, Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi triple burden TBC, yakni TBC, TBC Resistant Obat (RO), dan TB-HIV. Bahkan berdasarkan data Global TB Report 2021, Indonesia berada pada peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah orang dengan TBC terbanyak, setelah India dan Cina.

Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang turut berupaya mencapai Indonesia bebas TBC di tahun 2030. Berbagai upaya program dijalankan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, termasuk oleh organisasi masyarakat sipil. Bersama Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Yayasan Bina Asri Kalimantan Barat sebagai sub-recipient (SR) program ‘Eliminasi TBC di Indonesia’ berkomitmen untuk mengkoordinasikan kegiatan di 7 wilayah kerja salah satunya adalah Pontianak. Dikutip dari Laporan Tuberkulosis Nasional 2021, kasus TBC di Pontianak adalah 2.545 dari 672.440 penduduk. Hal utama yang dilakukan oleh Yayasan Bina Asri adalah mendukung giat para kader di wilayah Pontianak menjangkau orang-orang terdampak TBC. 

Yayasan Bina Asri dengan bantuan para kader di Pontianak berupaya memutus mata rantai penularan TBC dengan menyebarkan informasi tentang TBC kepada masyarakat. Cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan penyuluhan di Pasar Tradisional Flamboyan, Kampus Muhammadiyah dan Pesantren Manba’usshafa. Tiga tempat tersebut mereka pilih bukan tanpa alasan. Salah satu kader yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Sulastri Ningsih. Wanita yang di akrab dipanggil Sulastri ini telah mengawali langkah sebagai kader TBC sejak bulan April yang lalu.

“Kenapa kami memilih di pasar? Karena protokol kesehatan di pasar sangat kurang. Selanjutnya, untuk pesantren kami lakukan di sana karena lingkungan yang padat dan isi kamar yang juga padat. Dan untuk kampus, kami pilih karena memang kampus merupakan lembaga pendidikan yang padat, disana juga banyak sekali mahasiswanya,” tuturnya. 

Niat baik Yayasan Bina Asri disambut baik oleh pihak pesantren, pasar Flamboyan dan kampus Muhammadiyah untuk melaksanakan penyuluhan tentang bahaya TBC, stigma TBC di masyarakat, dan langkah yang harus dilakukan ketika mengetahui diri sendiri/orang terdekat terinfeksi TBC. Saat penyuluhan para peserta sangat antusias bertanya terkait dengan bahaya TBC. Sulastri menjelaskan, “Mereka sangat mengapresiasi kedatangan kami. Banyak sekali pertanyaan yang muncul terutama terkait TBC seperti bagaimana bentuk gejalanya dan cara agar terhindar dari TBC,” paparnya.  

Pengalaman-pengalaman yang diceritakan oleh anggota masyarakat seperti kader yang pernah merawat atau bertemu dengan pasien TBC diharapkan memberikan pandangan baru terhadap masyarakat bahwa TBC memang benar-benar terjadi di lingkungan sekitarnya. Yayasan Bina Asri berharap penyuluhan di tempat yang padat juga dapat dilakukan oleh kader-kader TBC di SSR lainnya. Kader adalah ujung tombak kesehatan yang paling dekat untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Sulastri sebagai seorang kader juga mengatakan “Saya ingin masyarakat memandang pasien TBC sebagai keluarga kita sendiri dan tulus membantu mereka dalam pengobatan dengan tidak membedakan atau mendiskriminasi mereka.” Dengan giatnya penyuluhan di masyarakat, diharapkan stigma di masyarakat dapat berubah sehingga tidak mengasingkan pasien TBC justru mampu memberikan semangat bagi mereka. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Kalimantan Barat

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Berjuang Bersama Memberantas Tuberkulosis di Subang

Kabupaten Subang adalah salah satu daerah di Jawa Barat dengan jumlah penduduk yang padat sebanyak 1.579.018 jiwa. Kabupaten yang terletak di daerah pesisir pantai utara ini terbagi dari 30 kecamatan, 245 Desa, dan 8 kelurahan dengan  luas wilayah sebesar 2051,76 km.

Di Kabupaten Subang, penyakit menular Tuberkulosis (TBC) masih banyak ditemukan, hal ini pun diperkuat oleh data dari Laporan Tuberkulosis Nasional 2021 dengan 3.609 orang jatuh sakit sepanjang tahun 2021. Selain itu, Dinas Kesehatan Subang juga melaporkan bahwa TBC berada di urutan keempat sebagai satu-satunya penyakit menular yang menyebabkan kematian terbanyak setelah penyakit stroke, jantung koroner (CAD) dan gagal ginjal CKD. Kondisi tersebut menyiratkan upaya menurunkan jumlah kasus TBC yang membutuhkan peran berbagai pihak. 

Kondisi ini direspon oleh Sub-Sub-Recipient (SSR) Kabupaten Subang yang merupakan bagian dari Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dengan memberikan dukungan komunitas dalam proses perawatan TBC. Dalam hal ini, SSR Subang melakukan langkah awal dengan memperkuat jejaring multipihak bersama beberapa pemangku kepentingan terutama Dinas Kesehatan Kabupaten Subang.

Program Staff SSR Subang, Irfan Maulana, mengatakan, “Dengan Dinas Kesehatan kita selalu diskusi untuk bersinergi dalam penjangkauan dan penemuan kasus TBC di Kabupaten Subang. Kami membangun komunikasi bahwa komunitas hadir untuk membantu Puskesmas agar orang dengan gejala TBC terdeteksi secara dini, masyarakat memahami penyakit ini, mendampingi pasien TBC selama berobat, serta melacak pasien mangkir”.  

Selain itu, kader komunitas yang dikelola oleh SSR Subang juga diberi kepercayaan dan dukungan oleh petugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Keberadaan kader dinilai sebagai angin segar karena dapat membantu dalam menjangkau orang dengan penyakit TBC di masyarakat sebagai perpanjangan tangan Puskesmas. Hal ini membuat kader bersemangat melaksanakan kegiatan untuk memutus mata rantai penularan TBC. 

Tuti, salah satu kader dari Cikalapa Subang menyatakan antusiasmenya karena mendapat dukungan penuh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. “Saya sangat senang ketika mendapat dukungan dan kepercayaan dari Dinkes, rasanya seperti dikasih suntikan semangat dalam melakukan penjangkauan. Orang-orang Dinkes juga sangat komunikatif dan responsif sehingga kami sering melakukan diskusi terkait kondisi di lapangan,” tuturnya. 

Selain dukungan secara moril, Dinas Kesehatan juga menyediakan fasilitas dan ruang berbicara untuk para kader dan komunitas. “Di Dinas Kesehatan, kita diberikan ruangan untuk tempat berkumpul. Jadi, jika kita ingin melakukan pertemuan, pelatihan, ataupun diskusi, kita nggak repot-repot cari tempat deh’’ kata Tuti. 

Pada beberapa kesempatan, Dinas Kesehatan mengenalkan para kader kepada para pemangku kepentingan lainnya dan diberi ruang untuk memaparkan tugas-tugas yang dilakukan oleh kader TBC Komunitas di lapangan. “Yang jelas saya makin merasa dirangkul dengan diberikannya kesempatan untuk berbicara, kami nggak jalan sendiri, dan Dinkes selalu membersamai langkah kami,” tambah Tuti. 

Adanya dukungan tersebut meningkatkan produktivitas kader ketika melakukan penjangkauan. Dalam pencapaian notifikasi kasus, Kabupaten Subang berhasil menjangkau lebih banyak kasus dengan jumlah kader aktif yang meningkat. Irfan mengatakan, “Dulu itu sudah dilatih 140-an kader mba, kemudian yang aktif di bawah 20 kader. Bertahap sekarang yang aktif sampai 60,” tuturnya. 

Peningkatan keaktifan kader juga sangat berpengaruh pada capaian hasil yang didapatkan oleh SSR Subang. “Bahkan, di kuartal 3, kami mendapatkan hasil capaian kasus yang cukup baik dibandingkan kuartal sebelumnya” tutur Irfan. Bertambahnya angka penemuan kasus berkaitan dengan meningkatnya keaktifan para kader di lapangan. Semua terjalin karena komunikasi dan koordinasi yang baik antara SSR Subang dengan Dinas Kesehatan untuk mendukung kerja-kerja kader serta Puskesmas.

Dengan kemajuan saat ini, Tuti sebagai kader berharap bahwa kedepannya program yang sedang dilakukan komunitas dapat berkesinambungan sehingga pasien-pasien TBC Sensitif Obat (SO) maupun TBC Resisten Obat (RO) semakin berkurang. Tuti juga menyampaikan agar rekan-rekan kader dapat terus bersemangat dalam melaksanakan tugasnya dengan dukungan-dukungan yang sudah diberikan. 

SSR Kabupaten Subang berkomitmen akan terus bergerak menyukseskan eliminasi TBC bersama kader di masyarakat. “Semuanya berjalan dan mengikuti ritme dari hulu ke hilir dengan upaya selalu menjaga komunikasi dan koordinasi serta persepsi yang sama dengan stakeholder dalam mewujudkan sinergitas yang baik,” tutur Irfan. Relasi yang baik akan terus dibangun oleh SSR Subang baik itu ke pemerintah, komunitas dan organisasi masyarakat sipil lainnya, dan para kader untuk Kabupaten Subang bebas TBC. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Jawa Barat

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

 

Kisah Dua Kader yang Rela Berjalan Lebih Dari 1 Jam Demi Membantu Sesama

Pulau Bali adalah pusat pariwisata Nusantara dengan kekayaan budaya yang indah dan penduduk yang ramah. Namun, dibalik semua hal tersebut,  ancaman tuberkulosis (TBC) terus menghantui kehidupan di Pulau Dewata ini. Pada tahun 2021, diperkirakan 12.406 orang jatuh sakit dengan TBC. Penyakit menular ini dapat mematikan, sayangnya, hingga sekarang masih banyak masyarakat dengan gejala batuk terus menerus yang menolak memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan. 

Situasi tersebut juga terjadi di Kabupaten Buleleng dimana Sub-Sub-Recipient (SSR) Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), dengan dukungan Principal Recipient (PR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, bersama Puskesmas Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat berkoordinasi untuk mencegah dan mengendalikan TBC. Utamanya, organisasi berbasis masyarakat seperti PPTI berperan dalam memobilisasi masyarakat dalam penemuan orang dengan gejala TBC untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini. Selain itu, kader TBC melakukan pendampingan di masyarakat agar pasien TBC tidak mangkir atau putus berobat dan memastikan mereka berobat sampai sembuh. Sebagai agen perubahan di masyarakat, kader memiliki andil dalam mengedukasi masyarakat tentang TBC, termasuk berupaya menghapuskan stigma dan diskriminasi terkait penyakit ini. 

Salah satu kegiatan penting yang dilakukan oleh PPTI Buleleng bersama Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat untuk memastikan setiap orang dengan TBC dapat terdiagnosa dan diobati adalah investigasi kontak. Kegiatan ini dilakukan oleh kader-kader yang dibekali pengetahuan dan keterampilan oleh PPTI Cabang Buleleng. Investigasi kontak merupakan upaya pelacakan dan skrining gejala aktif TBC pada orang-orang yang berhubungan atau melakukan kontak erat dengan pasien TBC. Individu yang merupakan kontak erat pasien TBC lebih rentan terinfeksi dan jatuh sakit sehingga upaya ini diperlukan untuk menemukan orang yang bergejala TBC agar dapat diperiksa dan diobati sedini mungkin. 

Luh Gorsini dan Sri Artati kader dari Puskesmas Banjar 1 merupakan kader TBC yang melakukan investigasi kontak. Hatinya tergerak untuk melakukan investigasi kontak setelah mengikuti pelatihan oleh PPTI dan melihat situasi pasien TBC di tengah masyarakat. Dalam melaksanakan perannya, mereka harus menempuh perjalanan kaki selama lebih dari 1 jam melewati perbukitan dan pedesaan untuk mencapai rumah pasien TBC yang berlokasi di pelosok desa kabupaten Buleleng. Perjuangan wanita 50-an tahun ini tidak tanpa hambatan, namun mereka berkata, “Kalau lihat reward sih nggak seberapa ya Mbak dibanding kerjaan kita nyamperin pasien yang rumahnya jauh-jauh. Yang penting niat kita dari hati, saya kalau lihat mereka itu sedih rasanya, kadang kan (masyarakat) yang memang di pelosok-pelosok ini jarang mendapat perhatian, jadi ya siapa lagi kalau bukan kita-kita ini,” ujar kader Luh Gorsini.

Saat diwawancarai oleh staf komunikasi PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Sri Artati juga menyampaikan keprihatinannya, “Masker pun pasien ada yang ambil dari bekas-bekas orang di jalan mbak, itu dia pakai, saya sampe sedih. Syukurnya saya bawa perbekalan masker, itu saya berikan ke mereka”. Mengingat bahwa ada sesama yang membutuhkan pendampingan dan kehadirannya menggerakkan semangat dua kader ini menekuni perannya sebagai kader TBC.

Luh Gorsini dan Sri Artati juga mengakui bahwa kunjungan ke rumah pasien TBC  gampang-gampang susah karena penolakan dari  pasien untuk kader melakukan pelacakan di sekitar tempat tinggalnya. Kebanyakan pasien TBC di daerah Pedawa Lambo di kabupaten Buleleng adalah pedagang kebutuhan pokok. Mereka enggan mendukung investigasi kontak karena tidak ingin status kesehatannya  diketahui oleh masyarakat sekitar karena kekhawatiran dagangannya yang tidak laku dan  kehilangan pendapatan . 

Terlebih di masa pandemi ini, masyarakat juga memiliki asumsi bahwa petugas kesehatan datang untuk melakukan pelacakan  Covid-19, sehingga, masyarakat menolak untuk ditemui. Kader pun sudah memberikan penjelasan terkait peran mereka sebagai kader TBC kepada masyarakat namun ada saja masyarakat yang tetap menolak pelaksanaan investigasi oleh kader. 

Luh Gorsini dan Sri Artati berharap kisahnya ini dapat memberikan motivasi untuk kader lainnya  dalam melakukan investigasi kontak. “Kader yang sudah mengikuti pelatihan harus bisa dan mau melakukan investigasi kontak karena sudah diberi kepercayaan  yang besar apalagi untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, jika bukan kita maka siapa lagi”, tutur Luh Gorsini. 

Sri Artati juga menambahkan bahwa investigasi kontak yang ia dan teman-teman kader lainnya lakukan adalah semata-mata untuk membantu mereka terhindar dari penyakit yang mematikan ini. Dengan kegiatan tersebut, mereka merasa senang bisa menambah wawasan serta berkenalan dekat dengan warga yang mereka temui. Kedepannya, Luh Gorsini dan Sri Artati ingin masyarakat dapat lebih sadar dan paham tentang bahaya TBC, serta, bagi pasien yang sedang melakukan pengobatan juga taat mematuhi jadwal pengobatan dengan baik.

 


Cerita ini dikembangkan dari SR Bali

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Thea Yantra Hutanamon

Kolaborasi Bersama Peduli Eliminasi TBC di Daerah Istimewa Yogyakarta

Tuberkulosis (TBC) adalah salah satu penyakit tertua di Indonesia. Penemuan relief orang dengan TBC di Candi Borobudur menandakan bahwa penyakit ini tersebar di wilayah sekitar candi, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 800-an Masehi. Menilik situasi TBC di DIY saat ini, dengan 9.074 kasus TBC yang muncul di tahun 2021, penyakit menular dan mematikan ini masih menjadi momok di tengah-tengah masyarakat. 

Belum tuntasnya pemberantasan Mycobacterium Tuberculosis hingga saat ini mengindikasikan situasi yang semakin menantang, khususnya bagi pasien TBC Resisten Obat (RO) yang kebal terhadap beberapa jenis obat anti TBC yang paling efektif. Pasien TBC RO mengalami proses pengobatan yang cukup berat selama 9-20 bulan dengan efek samping obat yang berat. Memperhatikan kondisi tersebut, Sub-Recipient (SR) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI di DIY yang diprakarsai oleh Siklus Indonesia melakukan kolaborasi multi-pihak bersama Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah DIY, LazisMu DIY, serta Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Universitas Ahmad Dahlan.

Dalam program ini, Siklus Indonesia aktif dalam memberikan dukungan baik dalam bentuk fisik maupun moral melalui dukungan spiritual, transportasi berupa ambulan gratis, paket sembako, paket makan siang, dan masker untuk para pasien TBC RO. Selain itu, Siklus Indonesia juga memberikan dukungan kepada Manajer Kasus (MK) dan Pasien Supporter (PS) dengan menyediakan beberapa kebutuhan yang selama ini mereka belum memiliki seperti dukungan transport, serta dukungan perlindungan kesehatan berupa multivitamin dan biaya untuk BPJS Kesehatan. 

Dukungan tersebut berkat sinergi antara LazisMu dengan Siklus Indonesia dalam bentuk dukungan dana. Dana diserahterimakan oleh LazisMu melalui Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah DIY lalu diteruskan kepada Siklus Indonesia yang kemudian menyalurkan dana tersebut untuk dikelola langsung oleh MK. “Untuk BPJS Kesehatan dan tambahan transport PS serta MK, kami berikan dalam bentuk cash, multivitamin dibelikan oleh MK kemudian dibagi kepada tim PS dan sembako diserahkan langsung oleh LazisMu dalam bentuk sembako,” papar Rakhma selaku Koordinator Program & MEL Siklus Indonesia yang terlibat pada program tersebut.

Mufi, salah satu MK DIY juga menyampaikan rasa bahagianya atas bantuan dari Siklus Indonesia. Ia menyatakan, “Selama ini dari program Global Fund TBC Komunitas belum ada fasilitas untuk dukungan BPJS Kesehatan, nutrisi dan multivitamin, sehingga ketika MK dan tim pendampingan pasien TBC RO mendapatkan dukungan-dukungan tersebut, saya dan tim merasa senang dan merasa terbantu dengan kerjasama multipihak ini.”

Sinergi kerjasama multipihak pada program ini memberikan dampak yang sangat positif terhadap pasien TBC RO, MK dan PS terutama di wilayah DIY. Pasien TBC RO merasa sangat terbantu dengan dukungan ini, mengingat bahwa mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pokok selama pengobatan karena tidak lagi bekerja. Mereka juga merasa dipedulikan oleh banyak orang, sehingga semakin semangat dalam menjalani pengobatan. 

Semangat sinergi kerjasama multipihak ini diharapkan nantinya dapat dijadikan sebagai contoh untuk daerah lain dalam mendukung upaya eliminasi TBC 2030. Melihat manfaat dari upaya Siklus Indonesia bersama berbagai pihak, bentuk kerjasama tersebut dapat diberikan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh para pihak. Dukungan tidak harus berbentuk uang, namun sangat dapat dalam bentuk apapun, bahkan hanya sekedar waktu luang misalnya. Apapun bentuknya sangat bermanfaat selagi para pihak memiliki kemauan untuk berkontribusi. Bentuk kerjasama multipihak ini juga dapat meningkatkan efektivitas upaya untuk menyukseskan eliminasi TBC sekaligus mengatasi hambatan yang masih ada dalam penanggulangan TBC. 

 


Cerita ini disusun oleh : Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communication Staff)

Editor : Thea Yantra Hutanamon