Kupang – NTT. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang utama. TB menjadi penyebab kematian kedua di dunia setelah HIV. Tuberkulosis merupakan sebuah penyakit bakterial kronik yang sebagian besar disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yang menyebar dari satu individu ke individu apabila penderita batuk, bersin, bicara, atau bernyanyi. Penyakit menular ini termasuk penyakit airborne atau bisa menular lewat udara sehingga individu yang tidak sengaja menghirup bakteri aerosol ini bisa terinfeksi dengan mudah.
SR PERDHAKI TB/HIV-NTT memiliki 5 wilayah Kota/Kabupaten yang menjadi wilayah intervensi dalam melakukan penanggulangan TBC/HIV yakni SSR Kota Kupang, SSR Kabupaten Kupang, SSR Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), SSR Kabupaten Sikka dan SSR Kabupaten Sumba Barat Daya. Dalam upaya penanggulangan TBC, NTT sudah melibatkan banyak pihak, mulai dari Pemerintah yang diwakili oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Puskesmas, Rumah Sakit Daerah, Rumah Sakit Polri, Rumah Sakit TNI, Rumah Sakit Swasta, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Komunitas dan masyarakat sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh kader TBC.
Dalam Rapat Koordinasi Wilayah Tingkat Provinsi pada tanggal 4-5 Februari 2022, RAKORWIL dihadiri oleh ke-5 SSR yang menjadi wilayah intervensi SR PERDHAKI-NTT, Romo Ambrosius Ladjar selaku ketua PERDHAKI Keuskupan Agung Kupang yang juga merupakan Pastor Paroki Katedral Kristus Raja Kupang, Ibu Aminah Haslinda selaku Wasor TBC Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT serta Mbak Ikhlas Mulandari selaku Field Program PR Konsorsium Penabulu-STPI yang turut memberikan materi dan diskusi.Terdapat beberapa agenda yang dilaksanakan yakni evaluasi hasil capaian program tahun 2021 yang dilanjutkan dengan diskusi dan sharing mengenai proses penanggulangan TBC di setiap SSR baik keberhasilan dalam capaian dan juga kesulitan serta hambatan. Capaian 2021 mengalami peningkatan yang cukup baik setelah mendapatkan supervisi di akhir tahun oleh PR Konsorsium Penabulu-STPI terutama di daerah SSR Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
SSR Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan luas wilayah yang paling luas diantara 4 SSR lainnya, membuat SSR Kabupaten ini harus lebih ekstra dalam melakukan penjaringan kasus TB khususnya pada Kecamatan yang menjadi wilayah intervensi SSR Kab. TTS. Pada akhir tahun 2021, Kabupaten TTS mencapai angka ternotif yang paling tinggi diantara 4 SSR lainya. Menurut staf program SSR, yang menjadi sasaran penjaringan terduga TBC dan penemuan kasus baru ialah kelompok masyarakat tertentu seperti kelompok lansia dan Posyandu. Bahkan, didalam posyandu, terdapat beberapa kader TB yang membantu dalam melakukan penjaringan terhadap kontak-kontak yang diduga memiliki gejala untuk diperiksa. Selain itu, metode lain yang digunakan oleh SSR TTS adalah dengan menjangkau kasus orang meninggal karena TB, yang mana kader akan langsung turun ke daerah tempat tinggal pasien yang meninggal tersebut untuk melakukan penjaringan TB pada kontak serumah ataupun sekitar rumah indeks bersangkutan atau melakukan investigasi non rumah tangga. SSR TTS juga melakukan investigasi terhadap data indeks kasus di bawah tahun 2020 yang didapatkan dari Puskesmas.
Selain SSR TTS, SSR Sumba Barat Daya juga aktif melakukan koordinasi dengan baik bersama dengan Wasor Kabupaten dan pengelola program Puskesmas dalam rangka proses penjaringan kasus baru TB. Kader – kader PERDHAKI diberikan data indeks kasus bakteriologis untuk dilakukan investigasi kontak, sedangkan tenaga kesehatan melakukan IK (dana dekonsentrasi) kepada indeks kasus klinis. Namun dalam prosesnya, terdapat beberapa kendala yang dihadapi yakni kehadiran kader PERDHAKI yang dianggap menjadi ancaman dan mengganggu zona nyaman fasyankes tertentu yang menjadi wilayah intervensi SSR Sumba Barat Daya. Kendala lain dalam proses penjaringan yakni kejujuran terduga TB yang memiliki gejala namun tidak ingin melakukan pemeriksaan sehingga mempengaruhi angka ternotifikasi di Kab. Sumba Barat Daya yang tergolong rendah.
Namu di sisi lain, ada beberapa hal yang menjadi nilai tambah dan peluang bagi SSR Sumba Barat Daya dalam proses capaian yakni adanya komunikasi yang baik di beberapa fasyankes lain yang menjadi wilayah intervensi SSR Sumba Barat Daya, sehingga telah dibuatkan sebuah group What’s App yang di dalam nya terdapat pengelola program TB Puskesmas, Wasor Kabupaten, nakes dan juga beberapa dokter yang ada di puskesmas untuk mempermudah koordinasi antara kader, pihak PERDHAKI dan pihak fasyankes dalam menyukseskan proses penjaringan kasus TB di wilayah yang menjadi intervensi SSR Sumba Barat Daya. SSR Sumba Barat Daya memiliki Puskesmas atau fasyankes yang menjadi fasyankes kunci dalam memberikan angka indeks terbanyak melalui pemeriksaan TCM dan juga 1 Rumah Sakit Swasta, yakni Rumah Sakit Karitas yang juga ikut menyumbangkan angka indeks. Terkait pemeriksaan lanjutan ke Rumah Sakit, ada kasus dimana ada terduga TB yang ingin melakukan pemeriksaan tingkat lanjutan namun terkendala pada biaya dan juga akses pelayanan Kesehatan sebab BPJS-nya sudah dinonaktifkan sehingga mengakibatkan terduga tidak bisa melakukan pemeriksaan lanjutan. Ini menjadi salah satu kendala yang menghambat pencapaian SSR.
Selain itu, capaian lain yang didapat PERDHAKI adalah dengan tingginya angka capaian untuk indikator balita yang menerima TPT terutama di Kab. Sikka. Menurut staff program SSR Kab. Sikka bahwa layanan TPT balita bukanlah hal yang baru karena kasus tersebut sudah menjadi perhatian khusus. Sebelumnya, alur pemberian TPT di Kab. Sikka dilaksanakan tanpa melalui kegiatan investigasi kontak, namun sekarang setelah menjadi perhatian dari SSR Kab. Sikka, pemberian TPT dan OAT mengikuti alur yang seharusnya yakni apabila sudah ada indeks maka kegiatan investigasi kontak akan dilakukan hingga selesai lalu apabila ada kontak balita yang ditemukan pada saat investigasi kontak maka akan dikumpulkan untuk dilakukan tes Mantoux terlebih dahulu untuk menentukan apakah balita mendapat OAT atau mendapatkan TPT.
Selanjutnya paparan oleh Ibu Aminah Haslinda, selaku Wasor TB Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil sekaligus membuka diskusi antara 5 SSR yang memiliki hambatan dalam penanggulangan TBC di daerah.
Menurut Wasor, kedepannya SR dapat membuat jadwal dalam melakukan investigasi kontak agar tidak bertabrakan dengan kader PERDHAKI dan tidak terjadi ‘perebutan’ indeks kasus antara PERDHAKI dan Dinas Kesehatan. Adanya hambatan mengenai pemberian TPT bagi balita di SSR Kabupaten Kupang yakni layanan TPT yang belum berjalan hingga saat ini dan baru dijanjikan oleh Wasor Kabupaten akan dijalankan dalam tahun 2022. Namun menurut Wasor TBC Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur bahwa logistik sebenarnya sudah tersedia di gudang Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, namun sepertinya pihak Dinas Kesehatan Kabupaten kurang tanggap dalam mengontrol ketersediaan obat digudang. Ada juga pengeluhan lain yakni Puskesmas di Kabupaten Kupang yang merupakan wilayah intervensi PERDHAKI ada yang tidak memiliki tenaga analis, sehingga untuk pemeriksaan dahak diarahkan ke Puskesmas lain / langsung ke Rumah Sakit. Kendala ini membuat pemeriksaan terkadang tidak jadi dilakukan karena kendala jarak dan biaya transportasi, bahkan untuk pengantaran specimen dahak pun akan percuma karena kualitas dahak kemungkinan rusak dalam perjalanan. Menurut Wasor TBC Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur bahwa untuk ketersediaan tenaga di dalam fasyankes, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten harus melakukan pengajuan terlebih dahulu ke Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan menurut SSR Kab. Sumba Barat Daya, tenaga pengelola TCM di sana sebenarnya sudah bagus, namun fasilitas penunjang dalam pemeriksaan sampel yang masih kurang memadai. Kader merasa dirugikan karna ketika pengantaran sampel, terhambat dengan listrik di Puskesmas yang padam dan alasan lainnya, padahal kader merasa sulit untuk mendapat sampel.
Persoalan pemeriksaan TCM di wilayah SSR Kab. TTS, sebenarnya sudah sangat membantu namun membutuhkan perhatian dari Dinkes Kabupaten terhadap ketersediaan tenaga analis yang terbatas. Menurut staff program SSR Kab. TTS bahwa beban kerja akan mempengaruhi hasil yang diperiksa. Ada alternatif di salah satu Puskesmas di Kab. TTS yakni di Puskesmas Kualin dimana ada tenaga kesehatan yang bukan analis yang telah dilatih untuk bisa melakukan pemeriksaan TCM sehingga apabila tenaga analis belum datang/berhalangan hadir mereka bisa menggantikannya. Kendala lain yakni layanan TPT balita di Kab. TTS yang menurut pihak Puskesmas bahwa ketersediaan obat tidak ada, padahal menurut Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur bahwa ketersediaan obat sudah ada di gudang namun Puskesmas harus mengajukan ke Dinkes Kabupaten terlebih dahulu dan sepertinya tidak dilakukan oleh Puskesmas.
Terkait layanan TPT balita di Kab. Sumba Barat Daya, sudah ada diskusi dengan Dokter anak dan Dokter umum di beberapa Puskesmas yang juga mengeluhkan hal yang sama, yakni ketersediaan logistic. Namun Wasor TBC Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur menyatakan bahwa ketersediaan obat di gudang Dinkes sudah ada namun sepertinya tidak di cek oleh Dinas Kesehatan Kabupaten.
Berdasarkan hasil Rakorwil bahwa masih perlunya peran aktif dari Dinas Kesehatan Provinsi dalam memantau Dinas Kesehatan di Kota/Kabupaten dalam implementasi program penanggulangan TB agar komunitas yang ikut serta dalam mensukseskan program ini lebih dipermudah dalam melakukan penjaringan terduga dan peemuan kasus TBC.