Kolaborasi Komunitas Penabulu-STPI dan BAZNAS RI Galang Dana 24/3

Parentnial, Jakarta – Dalam rangka turut serta menyelamatkan bumi dan dengan semangat menyelamatkan jiwa untuk sehat bersama, Konsorsium Komunitas berkolaborasi dengan BAZNAS RI melakukan penggalangan dana dukungan pasien TBC melalui Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3”.

Gerakan ini dimulai melalui kegiatan peluncuran Penggalangan Dana “24/3”, BAZNAS dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI yang bertajuk “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC, Kamis (7/4/2022).

National Program Director yang juga PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Heny Prabaningrum, dalam keterangannya mengatakan bahwa peluncuran kolaborasi ini bertepatan dengan momentum Ramadhan dan masih dalam suasana peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati setiap 24 Maret.

“TBC masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Pada peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 24 Maret lalu bertema “Invest to End TB, Save Lives” yang dimaknai oleh konsorsium komunitas memperkuat dukungan untuk eliminasi TBC untuk selamatkan jiwa,” kata Heny.

Heny menambahkan, bentuk dukungan tersebut dapat juga dilihat dari aspek pencegahan dan penularan TBC melalui faktor risiko lingkungan.

Agenda ini juga sejalan dengan hari peringatan Kesehatan Internasional, yakni 7 April 2022 yang memiliki tajuk “Our Planet, Our Health”. Dengan menyelamatkan bumi, menurut Heny, maka dapat berkontribusi pada tingkat kesehatan manusia secara luas, termasuk untuk dapat sehat bersama dalam upaya penanggulangan TBC.

“Pihak komunitas yang selama ini berperan dalam mendampingi pasien TBC seringkali menemukan berbagai kendala dan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh pasien TBC,” kata Heny.

Oleh sebab itu, terang Heny, salah satu kegiatan dalam memperingati HTBS, PR PB-STPI adalah melakukan kolaborasi kampanye dan gerakan galang dana untuk pasien TBC dan keluarga secara nasional khususnya di 190 Kabupaten/Kota wilayah kerja.

“Kegiatan penggalangan dana ini akan dilakukan dengan berkolaborasi bersama Badan Amil dan Zakat Nasional (BAZNAS),” tandasnya.

Sementara itu, Pimpinan Baznas RI, Saidah Sakwan, MA, dalam peluncuran kolaborasi gerakan galang dana ini menyampaikan bahwa kolaborasi ini adalah kerjasama dalam rangka jihad kita bersama untuk menyelamatkan jiwa manusia. Apalagi, penyintas TBC di Indonesia termasuk yang mencemaskan jumlahnya.

Saidah menyebutkan, data per Oktober 2021, jumlah estimasi pengidap TBC di Indonesia mencapai 824.000 kasus. Menurutnya, angka tersebut merupakan jumlah yang sangat banyak dengan angka kematian sebanyak 13.110 kasus.

Oleh sebab itu, Saidah mengatakan pihaknya amat menyambut baik kolaborasi ini dalam rangka berjihad menyelamatkan jiwa manusia dimana ia merupakan mandat syariah.

“Dalam narasi Islam, menyelamatkan orang itu menjadi bagian penting dari mandat syariah. Jadi, mandatori kita ada lima dan salah satunya adalah menyelamatkan nyawa,” kata Saidah.

Dia menegaskan, Baznas amat konsen dalam memikul mandat tersebut dan berharap kolaborasi kebaikan ini akan mengeluarkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan kasus TB terbanyak di dunia. Dia berharap donasi ini nantinya membuahkan maslahat untuk umat, bangsa, dan negara.

“Dari donasi yang dikumpulkan ini, berapapun nilainya, akan sangat bermanfaat untuk kontribusi jihad kita menyelamatkan jiwa dan insya Allah membuahkan keberkahan,” katanya.

Dia menambahkan, kolaborasi ini juga akan semakin meneguhkan gerakan economic empowerment untuk mengentaskan penyintas TBC yang umumnya masalah ini amat berdampak pada ekonomi keluarga.*/Fiqih Ulyana

Kolaborasi Konsorsium Komunitas dan BAZNAS RI Galang Dana 24/3

Nasional News, Jakarta Dalam rangka turut serta menyelamatkan bumi dan dengan semangat menyelamatkan jiwa untuk sehat bersama, Konsorsium Komunitas berkolaborasi dengan BAZNAS RI melakukan penggalangan dana dukungan pasien TBC melalui Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3”.

Gerakan ini dimulai melalui kegiatan peluncuran Penggalangan Dana “24/3”, kolaborasi antara BAZNAS dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI yang bertajuk “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC, Kamis (7/4/2022).

National Program Director yang juga PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Heny Prabaningrum, dalam keterangannya mengatakan bahwa peluncuran kolaborasi ini bertepatan dengan momentum Ramadhan dan masih dalam suasana peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang diperingati setiap 24 Maret.

“TBC masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Pada peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 24 Maret lalu bertema “Invest to End TB, Save Lives” yang dimaknai oleh konsorsium komunitas memperkuat dukungan untuk eliminasi TBC untuk selamatkan jiwa,” kata Heny.

Heny menambahkan, bentuk dukungan tersebut dapat juga dilihat dari aspek pencegahan dan penularan TBC melalui faktor risiko lingkungan.

Agenda ini juga sejalan dengan hari peringatan Kesehatan Internasional, yakni 7 April 2022 yang memiliki tajuk “Our Planet, Our Health”. Dengan menyelamatkan bumi, menurut Heny, maka dapat berkontribusi pada tingkat kesehatan manusia secara luas, termasuk untuk dapat sehat bersama dalam upaya penanggulangan TBC.

“Pihak komunitas yang selama ini berperan dalam mendampingi pasien TBC seringkali menemukan berbagai kendala dan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh pasien TBC,” kata Heny.

Oleh sebab itu, terang Heny, salah satu kegiatan dalam memperingati HTBS, PR PB-STPI adalah melakukan kolaborasi kampanye dan gerakan galang dana untuk pasien TBC dan keluarga secara nasional khususnya di 190 Kabupaten/Kota wilayah kerja.

“Kegiatan penggalangan dana ini dilakukan dengan berkolaborasi bersama Badan Amil dan Zakat Nasional (BAZNAS),” tandasnya.

Sementara itu, Pimpinan Baznas RI, Saidah Sakwan, MA, dalam peluncuran kolaborasi gerakan galang dana ini menyampaikan bahwa kolaborasi ini adalah kerjasama dalam rangka jihad kita bersama untuk menyelamatkan jiwa manusia. Apalagi, penyintas TBC di Indonesia termasuk yang mencemaskan jumlahnya.

Saidah menyebutkan, data per Oktober 2021, jumlah estimasi pengidap TBC di Indonesia mencapai 824.000 kasus. Menurutnya, angka tersebut merupakan jumlah yang sangat banyak dengan angka kematian sebanyak 13.110 kasus.

Oleh sebab itu, Saidah mengatakan pihaknya amat menyambut baik kolaborasi ini dalam rangka berjihad menyelamatkan jiwa manusia dimana ia merupakan mandat syariah.

“Dalam narasi Islam, menyelamatkan orang itu menjadi bagian penting dari mandat syariah. Jadi, mandatori kita ada lima dan salah satunya adalah menyelamatkan nyawa,” kata Saidah.

Dia menegaskan, Baznas amat konsen dalam memikul mandat tersebut dan berharap kolaborasi kebaikan ini akan mengeluarkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan kasus TB terbanyak di dunia. Dia berharap donasi ini nantinya membuahkan maslahat untuk umat, bangsa, dan negara.

“Dari donasi yang dikumpulkan ini, berapapun nilainya, akan sangat bermanfaat untuk kontribusi jihad kita menyelamatkan jiwa dan insya Allah membuahkan keberkahan,” katanya.

Dia menambahkan, kolaborasi ini juga akan semakin meneguhkan gerakan economic empowerment untuk mengentaskan penyintas TBC yang umumnya masalah ini amat berdampak pada ekonomi keluarga.*/Fiqih Ulyana

Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dan BAZNAS Kolaborasi Menanggulangi TBC

Beritakota.id, Jakarta Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PB-STPI) berkolaborasi dalam meluncurkan Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3” untuk pasien tuberkulosis (TBC) Kamis (7/3). Setiap tahunnya Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) diperingati pada 24 Maret, yang mana tahun 2022 bertema “invest to End TB, Save Lives”. Konsorsium PB-STPI memaknai tema tersebut dengan mengupayakan dukungan finansial melalui kolaborasi penggalangan dana untuk pasien TBC bersama BAZNAS.

Berlokasi di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, peluncuran galang dana diisi dengan webinar bertema “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC”. Kegiatan dibuka oleh Pimpinan BAZNAS, Direktur Utama RSIJ dan Authorized Signatories PB-STPI.

RSIJ sebagai RS swasta pertama di Jakarta yang merintis layanan TBC sangat mengapresiasi upaya kolabroasi BAZNAS dan PB-STPI. “Masalah Kesehatan saling berkelanjutan, khususnya berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Sangat mengapresiasi terlibatnya BAZNAS.Jika kita bisa melakukan upaya secara kolektif, maka akan semakin kuat dalam menanggulangi TBC.” ujar dr Pradono selaku Dirut RSIJ CP.

Konsorsium Penabulu-STPI menjelaskan, kegiatan kampanye dan galang dana untuk pasien TBC ini sangat diperlukan karena dana yang tersedia dari The Global Fund saat ini fokus pada pengobatan, penemuan kasus, serta pendampingan pasien. Namun, pasien dan keluarga pasien TBC memerlukan dukungan lain selama masa pengobatan, seperti bahan pangan, vitamin, dan dana kebutuhan harian.

Sejalan dengan pengalaman sebagai penyitas TBC, yakni Budi, Ketua POP TB. “Terdapat beragam hambatan dalam menuju jalur kesembuhan yang dihadapi oleh pasien TBC. Agar dapat menjalankan proses pengonbatan dan sembuh, maka pasien TBC membutuhkan dukungan mulai dari gejala muncul, mengakses perawatan, diagnosis, mulai pengobatan, menjalani pengobatan dan rehabilitasi. Penting untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, rumah sehat, bantuan sosial dan pendampingan psikososial”, jelasnya.

dr. Cut Yulia selaku PJ Poli TB MDR RSIJ menyampaikan bahwa durasi pengobatan yang lama dan kompleksitas pengobatan menyebabkan dampak ekonomi karena masih banyak perusahaan yang belum bisa menerima pegawai dengan TB sehingga menyebabkan pasien kehilangan pekerjaan. Keadaan seperti ini mempengaruhi kepatuhan dan akses pasien terhadap pengobatan, efek samping obat (ESO) yang beragam juga seringkali menyebabkan turunnya motivasi berobat.

“Untuk itu, kami bersama BAZNAS berupaya dalam mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TBC di Indonesia dengan memenuhi kebutuhan gizi pasien TBC melalui penggalangan dana ini,” ujar dr Nurul Nadia.

Authorized Signatory Konsorsium Penabulu-STPI, dr Nurul Nadia mengucapkan terima kasih kepada BAZNAS yang telah memfasilitasi penggalangan dana ini dengan baik.”Semoga Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3″ dapat berjalan dengan sukses dan bermanfaat bagi para pasien TBC.”

dr. Erlina Burhan, selaku Ketua Organsiasi Profesi Tuberkulosis (KOPI TB) menyampaikan perlu adanya kolabroasi seluas-luasnya dan mengapresiasi upaya BAZNAS dan PB-STPI. “Jika kita tetap mempertahankan “business as usual”, maka kita tidak akan bisa mencapai target eliminasi TB pada 2030,” jelasnya.

Penggalangan Dana 24/3 dengan tema “Dukung Sembuh; Sehat Bersama” merupakan program Konsorsium Penabulu-STPI dan BAZNAS untuk pasien TBC berupa pemberian PMT atau santunan untuk 30 provinsi di seluruh Indonesia. “Upaya ini diharapkan dapat mendukung pasien untuk sembuh dan bisa sehat bersama” ujar Barry Adithya, Program Manager PB-STPI.

Bertepatan dengan hari Kesehatan sedunia, peluncuran galang dana juga mengangkat tema terkait Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC.  Dengan menyelamatkan bumi, maka dapat berkontribusi pada tingkat kesehatan manusia secara luas, termasuk untuk dapat Sehat Bersama dalam upaya penanggulangan TBC.

Kondisi rumah menjadi salah satu prioritas yang perlu diupayakan dalam eliminasi TBC. “saat pasien menjalani pengobatan dan tinggal di rumah yang tidak sehat, keadaan ini bisa meningkatkan risiko penularan dalam rumah yang sangat tinggi.” Ujar Ruli Oktavian, ketua YAHINTARA. Oleh karena itu, YAHINTARA selalu mengembangkan pembangunan rumah yang mudah dan murah.

“Pada kesempatan kali ini, BAZNAS juga memberikan bantuan awal kepada 20 pasien dan keluarga pasien TBC sebagai simbolisasi peluncuran penggalangan dana “24/3”. Kami berharap penggalangan dana ini dapat dilakukan di 30 provinsi dan berjalan secara berkelanjutan,” jelasnya.

Untuk melihat peluang pendekatan filantropi sebagai alternatif co-financing eliminasi TBC, Dr. Adang Bachtiar selaku Ketua TWG TB Indonesia menyampaikan bahwa perlu adanya komitmen politis dari berbagai pihak dalam meningkatkan sumber daya dalam menanggulangi TBC. Komitmen ini bisa menjadi salah satu strategi transisi jika pendanaan dari GF sudah selesai di Indonesia.

BAZNAS dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Luncurkan Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3” untuk Pasien Tuberkulosis

JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PB-STPI) berkolaborasi dalam meluncurkan Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3” untuk pasien tuberkulosis (TBC). Setiap tahunnya HTBS diperingati pada 24 Maret, yang mana tahun 2022 bertema “invest to End TB, Save Lives”. Konsorsium PB-STPI memaknai tema tersebut dengan mengupayakan dukungan finansial melalui kolaborasi penggalangan dana untuk pasien TBC bersama BAZNAS.

Berlokasi di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, peluncuran galang dana diisi dengan webinar bertema “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC”. Kegiatan dibuka oleh Pimpinan BAZNAS, Direktur Utama RSIJ dan Authorized Signatories PB-STPI. RSIJ sebagai RS swasta pertama di Jakarta yang merintis layanan TBC sangat mengapresiasi upaya kolaborasi BAZNAS dan PB-STPI.

“Masalah kesehatan saling berkelindan, khususnya berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Sangat mengapresiasi terlibatnya BAZNAS.Jika kita bisa melakukan upaya secara kolektif, maka akan semakin kuat dalam menanggulangi TBC.” ujar dr Pradono selaku Dirut RSIJ CP.

Sementara itu Pimpinan BAZNAS RI, Saidah Sakwan MA menyebut sinergi yang terjalin merupakan bentuk dukungan BAZNAS dalam mengentaskan penyakit TBC.

“Melalui kolaborasi ini BAZNAS berupaya meningkatkan pemahaman terhadap pendekatan filantropi sebagai upaya investasi yang berkelanjutan dalam mendukung Gerakan eliminasi TBC,” ujar Saidah.

Menurut Saidah, sebagai langkah awal penggalangan dana akan dimulai pada April-Juni 2022, dengan membuat sebuah sistem untuk fundraising dari BAZNAS yang diperuntukkan kepada pasien TBC.

Turut hadir sebagai pembicara Pimpinan BAZNAS RI Rizaludin Kurniawan M.Si pada talkshow BAZNAS dan Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dengan tema “Investasi Filantropi dalam Eliminasi Tuberkulosis; Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC”.

Konsorsium Penabulu-STPI menjelaskan, kegiatan kampanye dan galang dana untuk pasien TBC ini sangat diperlukan karena dana yang tersedia dari The Global Fund saat ini fokus pada pengobatan, penemuan kasus, serta pendampingan pasien. Namun, pasien dan keluarga pasien TBC memerlukan dukungan lain selama masa pengobatan, seperti bahan pangan, vitamin, dan dana kebutuhan harian.

Sejalan dengan pengalaman sebagai penyitas TBC, yakni Budi, Ketua POP TB. “Terdapat beragam hambatan dalam menuju jalur kesembuhan yang dihadapi oleh pasien TBC. Agar dapat menjalankan proses pengonbatan dan sembuh, maka pasien TBC membutuhkan dukungan mulai dari gejala muncul, mengakses perawatan, diagnosis, mulai pengobatan, menjalani pengobatan dan rehabilitasi. Penting untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, rumah sehat, bantuan sosial dan pendampingan psikososial”, jelasnya.

dr. Cut Yulia selaku PJ Poli TB MDR RSIJ menyampaikan bahwa durasi pengobatan yang lama dan kompleksitas pengobatan menyebabkan dampak ekonomi karena masih banyak perusahaan yang belum bisa menerima pegawai dengan TB sehingga menyebabkan pasien kehilangan pekerjaan. Keadaan seperti ini mempengaruhi kepatuhan dan akses pasien terhadap pengobatan, efek samping obat (ESO) yang beragam juga seringkali menyebabkan turunnya motivasi berobat.

“Untuk itu, kami bersama BAZNAS berupaya dalam mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TBC di Indonesia dengan memenuhi kebutuhan gizi pasien TBC melalui penggalangan dana ini,” ujar dr Nurul Nadia.

Authorized Signatory Konsorsium Penabulu-STPI, dr Nurul Nadia mengucapkan terima kasih kepada BAZNAS yang telah memfasilitasi penggalangan dana ini dengan baik.”Semoga Gerakan Kampanye dan Galang Dana “24/3″ dapat berjalan dengan sukses dan bermanfaat bagi para pasien TBC.”

dr. Erlina Burhan, selaku Ketua Organsiasi Profesi Tuberkulosis (KOPI TB) menyampaikan perlu adanya kolaborasi seluas-luasnya dan mengapresiasi upaya BAZNAS dan PB-STPI. “Jika kita tetap mempertahankan “business as usual”, maka kita tidak akan bisa mencapai target eliminasi TB pada 2030,” jelasnya.

Penggalangan Dana 24/3 dengan tema “Dukung Sembuh; Sehat Bersama” merupakan program Konsorsium Penabulu-STPI dan BAZNAS untuk pasien TBC berupa pemberian PMT atau santunan untuk 30 provinsi di seluruh Indonesia. “Upaya ini diharapkan dapat mendukung pasien untuk sembuh dan bisa sehat bersama, ” ujar Barry Adithya, Program Manager PB-STPI.

Bertepatan dengan hari Kesehatan sedunia, peluncuran galang dana juga mengangkat tema terkait Bumi Kita, Sehat Bersama, Bebas dari TBC. Dengan menyelamatkan bumi, maka dapat berkontribusi pada tingkat kesehatan manusia secara luas, termasuk untuk dapat Sehat Bersama dalam upaya penanggulangan TBC.

Kondisi rumah menjadi salah satu prioritas yang perlu diupayakan dalam eliminasi TBC. “Saat pasien menjalani pengobatan dan tinggal di rumah yang tidak sehat, keadaan ini bisa meningkatkan risiko penularan dalam rumah yang sangat tinggi.” Ujar Ruli Oktavian, ketua YAHINTARA. Oleh karena itu, YAHINTARA selalu mengembangkan pembangunan rumah yang mudah dan murah.

“Pada kesempatan kali ini, BAZNAS juga memberikan bantuan awal kepada 20 pasien dan keluarga pasien TBC sebagai simbolisasi peluncuran penggalangan dana “24/3”. Kami berharap penggalangan dana ini dapat dilakukan di 30 provinsi dan berjalan secara berkelanjutan,” jelasnya.

Untuk melihat peluang pendekatan filantropi sebagai alternatif co-financing eliminasi TBC, Dr. Adang Bachtiar selaku Ketua TWG TB Indonesia menyampaikan bahwa perlu adanya komitmen politis dari berbagai pihak dalam meningkatkan sumber daya dalam menanggulangi TBC. Komitmen ini bisa menjadi salah satu strategi transisi jika pendanaan dari GF sudah selesai di Indonesia.

Gangguan Jiwa pada Pasien Tuberkulosis, Kerentanan Tak Terelakkan Baca selengkapnya di artikel “Gangguan Jiwa pada Pasien Tuberkulosis, Kerentanan Tak Terelakkan”

 

Seorang peserta menggunakan kursi roda saat mengikuti pawai Hari Tuberkulosis (TB) di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3). Kegiatan yang digelar dalam rangka memperingati Hari TB sedunia tersebut bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk lebih sadar akan risiko dan bahaya penyakit Tuberkulosis. ANTARA FOTO/Moch Asim/pd/17

tirto.id – Seli, 29 tahun, tak pernah membayangkan dunianya yang semula berjalan normal mendadak menjadi pelik. Hanya dalam waktu beberapa bulan, keteraturan hidupnya dibuat jungkir balik karena diagnosis tuberkulosis (TB). Seli bahkan sempat putus asa dan punya niatan bunuh diri. Setiap tahun, jumlah kasus TB di Indonesia selalu masuk tiga besar di antara negara-negara dengan kuantitas insiden tertinggi. Pada 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan insiden TB Indonesia berada pada urutan ketiga setelah China dan India. Estimasi kejadiannya mencapai lebih dari 842 ribu kasus dengan angka kematian lebih dari 98 ribu jiwa per tahun—setara 11 nyawa per jam.

Setiap tahun, jumlah kasus TB di Indonesia selalu masuk tiga besar di antara negara-negara dengan kuantitas insiden tertinggi. Pada 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan insiden TB Indonesia berada pada urutan ketiga setelah China dan India. Estimasi kejadiannya mencapai lebih dari 842 ribu kasus dengan angka kematian lebih dari 98 ribu jiwa per tahun—setara 11 nyawa per jam.

“Eliminasi TB adalah tantangan, mengingat TB merupakan 10 penyakit penyebab utama meninggalnya pasien. Selain itu, banyak kasus TB tidak tercatat. Ini menjadi tantangan dalam penanganan TB,” ungkap Maxi Rein Rondonuwu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dalam acara “Outlook Tuberculosis 2022”, Rabu (23/3/2022).

Seperti kata Maxi, upaya eliminasi TB punya banyak tantangan. Salah satunya adalah kejadian belum terlaporkan dengan presentase sebesar 32 persen. Belum lagi menyoal kejadian putus obat akibat berbagai faktor, termasuk kejenuhan dan stres pengobatan.

Sebagai penyintas Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB), misalnya, Seli menjalani pengobatan hampir satu tahun lamanya. Sebagai informasi, MDR-TB merupakan kondisi ketika bakteri Mycobacterium tuberculosis resisten alias kebal terhadap antibiotik atau obat lini pertama.

Seli pertama kali merasakan gejala TB seperti napas pendek dan mirip gejala flu seperti batuk pilek sejak awal 2020. Namun, gejala-gejala tersebut tidak kunjung membaik meski Seli sudah mengonsumsi obat bebas. Malah, hingga Juni 2020, massa tubuhnya turun drastis dan Seli dilarikan ke ruang gawat darurat karena diare.

“Perawatan di RS Swasta hanya tes mantoux dan diberi obat paru biasa. Ternyata Agustus hasil tes dahak di puskesmas menyatakan positif MDR-TB,” ungkap Seli. Pengobatannya baru dinyatakan tuntas dan sembuh pada pertengahan 2021 lalu.

Pasien dengan TB biasa umumnya menempuh pengobatan selama setengah tahun, sementara MDR-TB periodenya lebih lama, bisa mencapai dua tahun. Maka bayangkan rasanya menjadi Seli yang harus minum belasan obat dalam sehari dengan efek pusing, mual, dan muntah hebat hingga puluhan kali dalam sehari. Semuanya harus dia jalani selama periode waktu tahunan.

“Setiap mau minum obat saya pasti menangis, rasanya stres sekali. Butuh waktu hingga 3 jam hanya untuk minum obat karena harus ambil jeda istirahat, makan, dan menata mental setiap menelan butir-butir obat itu,” tuturnya.

Kalau boleh dibuat gambaran, rasanya lebih dahsyat dibanding sepuluh kali mabuk laut.

Kadang kala ibunda yang menemani Seli ikut geregetan karena dia tak kunjung menuntaskan jadwal minum obat harian. Tapi mau bagaimana lagi, bahkan baru mencium bau obatnya saja, Seli sudah merasakan gangguan psikosomatis.

Itu belum ditambah tekanan lain berupa stigma dan diskriminasi yang dia terima. Selama masa pengobatan, kantor tempat Seli bekerja memutus kontak secara sepihak, tanpa pemberitahuan. Gara-gara itu, beban hidupnya jadi berlipat-lipat lebih berat.

“Ada satu titik saya merasa sudah tidak kuat. Saya bilang sama teman-teman pendamping, ‘kalau begini rasanya (minum obat) mending saya mati saja.”

Tuberkulosis dan Efek Psikologisnya

Di permukaan, kita hanya melihat statistik TB sebagai angka-angka kasus sebuah penyakit yang—saat ini—kalah pamor dibanding pagebluk COVID-19. Padahal, dimensi kasus TB lebih mendalam karena meliputi persoalan kemiskinan, stigma, diskriminasi, kepercayaan usang soal guna-guna, dan problem kesehatan mental.

Niatan bunuh diri yang pernah terbesit dalam pikiran Seli bukan ungkapan berlebihan belaka. Perasaannya valid ketika merasa letih luar biasa akibat perjalanan terapi TB dan tekanan ekonomi karena pemutusan hubungan kerja. Para pasien TB—terutama MDR-TB, memang lebih rentan mengalami gangguan psikologis karena efek obat yang mereka terima.

“Pengobatan MDR-TB ada yang namanya sikloserin. Itu mempengaruhi gejala psikotik,” jawab dokter ahli jiwa (psikiater) dari RS Persahabatan Tribowo Ginting saat kami tanya soal efek turunan dari pengobatan MDR-TB.

Sikloserin merupakan obat antituberkulosis oral lini kedua yang memiliki sifat toksisitas ke susunan saraf pusat. Efek gangguan psikologis akibat obat ini paling sering muncul pascatiga bulan pengobatan TB.

Namun di samping efek obat, menurut Tribowo, ada faktor lain yang memicu gejala psikotik pada pasien TB, seperti lamanya pengobatan, efek samping obat secara fisik, kekhawatiran menjadi penular, stigma, pengucilan, serta masalah ekonomi karena tak mampu beraktivitas dan bekerja secara maksimal.

Sebuah studi terhadap pasien MDR-TB di sebuah rumah sakit daerah Solo (terbit 2019) menyimpulkan adanya gejala gangguan halusinasi, kecemasan, depresi, perubahan perilaku, dan ide bunuh diri pada pasien MDR-TB. Padahal sebelumnya, para sampel penelitian tidak memiliki riwayat gangguan psikologis.

“Biasanya pasien TB dengan gangguan psikologis akan dirujuk ke kami (psikiater). Jika kondisinya berat, sikloserin akan dihentikan sementara,” lanjut Tribowo.

Setelah melakukan pengamatan pada pasien, psikiater akan memberi obat sesuai gejala. Misalnya obat antipsikologis pada pasien dengan gangguan psikotik atau antidepresan pada gejala depresi. Selain itu, psikiater juga melakukan psikoterapi suportif guna memberi semangat, pandangan rasional terhadap pengobatan, dan mengalihkan pikiran negatif pasien.

Pengobatan psikiatri idealnya dilakukan beriringan dengan terapi TB sampai pasien dinyatakan sintas. Seiring gejala psikologis berkurang, maka dosis obat psikotik juga berangsur diturunkan. Penanganan masalah psikologis ini sangat penting karena dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, yang akhirnya berpengaruh pada kepatuhan pengobatan.

Pendampingan Psikologis adalah Keharusan

Gangguan psikologis yang tidak ditangani dengan baik akan berpotensi membuat pasien putus obat sehingga terjadi resisten obat tingkat lanjut. Pengobatan TB akan jadi lebih sulit lagi, lebih berat, dan lebih lama dari jangka waktu sebelumnya.

Ironisnya, sangat jarang pasien MDR-TB mendapat pendampingan psikologis. Terapi kesehatan mental ini juga tidak masuk dalam satu paket perawatan sehingga tidak gratis seperti paket pengobatan TB. Jika ingin mengakses terapi psikologis, pasien harus melakukan konsultasi terpisah.

“Konsultasi tenaga ahli kesehatan jiwa bisa diakali dengan menggunakan BPJS Kesehatan. Jadi, pengobatannya berkolaborasi supaya bisa maksimal di status kesehatan lain,” demikian jawaban dari Sub Kordinator TB Kemenkes RI Endang Lukitosari saat kami tanya mengenai persoalan ini dalam sesi acara diskusi TB bersama Yayasan Pesona Jakarta (YPJ), Jumat, (18/3/2022).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia memang menanggung keluhan psikologis, tapi masalah pengobatan dampingan TB tidak berhenti di sana. Masih banyak fasilitas kesehatan yang tidak memiliki layanan kesehatan jiwa, terutama di daerah luar Jawa.

Christian Lambogia, dokter praktik salah satu rumah sakit di Manado, bilang bahwa pendampingan psikologis pada pasien TB yang memiliki gejala psikiatri memang menjadi kebutuhan penting. Namun ketika tenaga kesehatan jiwa tidak tersedia, pendampingan psikologis akan dikerjakan oleh komunitas pendamping pasien TB.

“Mereka bisa memberikan motivasi kepada pasien, lalu mengedukasi lingkungan pasien terkait dukungan psikososial yang diperlukan,” kata Christian.

Yang terpenting dari semua itu, orang dengan TB harus paham bahwa penyakit ini dapat sembuh. Demikian juga gejala psikiatri yang menyertainya. Jadi, tak perlu takut menjalani pengobatan karena terapi fisik maupun mental pada pasien TB akan membantu memperbaiki kualitas hidup mereka.

Jika tak menemukan layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan terdekat, sebagai psikiater, Tribowo menganjurkan pasien TB mencari bantuan dan dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Baca selengkapnya di artikel “Gangguan Jiwa pada Pasien Tuberkulosis, Kerentanan Tak Terelakkan”, https://tirto.id/gqfM

 

Tercatat Kasus TBC 593, Asisten III Setdako Dumai Ajak Semua Pihak Peduli dan Waspada

DUMAI – Walikota Dumai dalam hal ini yang diwakili oleh Asisten III Bidang Administasi Umum Muhammad Syafie, S.Sos, M.Si menghadiri sekaligus membuka Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) sekaligus pencanangan Kampung Siaga Tuberkulosis (TBC) yang bertempat di Gedung Sri Bunga Tanjung, Kamis (24/03).

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kota Dumai dan bekerjasama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tersebut bertemakan Deklarasi Gerakan Bersama Eliminasi TBC yang bertujuan untuk membangun kesadaran umum tentang wabah tuberkulosis serta usaha-usaha untuk mengurangi penyebaran wabah tersebut.

Tuberkolosis sendiri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dan bisa menyerang segala umur dan penyakit ini menular melalui penderita batuk atau bersin yang kemudian masuk ke paru-paru.

Pada kesempatan tersebut Asisten III Muhammad Syafie, S.Sos, M.Si menyampaikan bahwa pada tahun 2021 tercatat sebanyak 593 kasus TBC di Kota Dumai dimana yang tertinggi berada di Kecamatan Dumai Timur.

“Pada tahun 2021 tercatat sebanyak 593 kasus dimana nilai tertingginya berada di Kecamatan Dumai Timur dengan angka 134 indeks kasus disusul Kecamatan Dumai Kota sebesar 93 Indeks kasus dan Kecamatan-Kecamatan lainnya beberapa kasus,” jelasnya.

Beliau juga mengajak seluruh masyarakat dan keterlibatan perusahaan untuk peduli dan komitmen dalam penanggulangan TBC di Kota Dumai.

“Gerakan Bersama Eliminasi ini merupakan solusi untuk mengatasi persoalan TBC ini, keterlibatan semua potensi dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mensinergikan upaya-upaya yang mendukung proses eliminasi TBC diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan kita terhadap penyakit menular tersebut,” harapnya.

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) cabang Kota Dumai, Ahmad Rasyid SE, berharap kepada semua pihak untuk lebih peduli tentang persoalan penyakit tersebut.”Dan perlu keseriusan dan strategi dalam mengeliminasi penyakit TBC di kota kita,” tegasnya.

Sedangkan menurut nara sumber dr. Eliyanti mengatakan saat ini Indonesia urutan ke tiga terbanyak yang mengidap penyakit ini setelah India dan China.”Oleh karena itu, bagi siapa saja yang ingin berobat kalau ada gejala penyakit tersebut, segeralah berobat ke Puskesmas terdekat. Tentu semua pengobatan digratiskan,”imbuhnya.

Turut hadir pada kesempatan tersebut yaitu, Ketua PKBI Provinsi Riau, Kepala Dinas Kesehatan, Pengurus Cabang PKBI Dumai, Camat Dumai Timur, Kepala Puskesmas se Kota Dumai, Lurah Se Kecamatan Dumai Timur, Perwakilan Perusahaan se Kota Dumai, Kepala Sekolah se Kecamatan Dumai Timur, Ketua LPMK, Pengurus PKBI dan Kader-kader Puskesmas.

Sasar Pasar Toddopuli, Yamali TB Sulsel Ajak Masyarakat Berantas TBC

Yamali TB Sulsel memperingati hari tuberkulosis sedunia yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. (Ist)

MAKASSAR, PEDOMANMEDIA – Terik matahari pagi menjelang siang tak menjadi penghalang bagi puluhan kader TB Komunitas dari Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis (Yamali TB) Sulawesi Selatan untuk turun ke jalan memperingati hari tuberkulosis sedunia yang diperingati setiap tanggal 24 Maret.

Aksi turun ke jalan Kader Yamali TB ini dilakukan dengan edukasi terpadu kepada masyarakat umum pengguna jalan serta pedagang dan pengunjung pasar tradisional Toddopuli kota Makassar.

“Momentum TB Day yang tepat diperingati hari ini kita jadikan sebagai peneguhan komitmen mewujudkan masyarakat yang bebas TBC. Karenanya melalui aksi ini, kita bersosialisasi dengan harapan dapat menjaring kasus baru TBC yang belum tersentuh ke layanan kesehatan,” tutur Program Officier Yamali TB Makassar, Masnidar, Kamis (24/3/2022).

Masnidar menegaskan, peringatan hari TBC ini penting untuk dilakukan, mengingat bahwa angkas kasus TBC masih sangat tinggi dan masih menjadi penyakit menular dengan angka kematian tertinggi.

“Catatan WHO tahun 2021, Indonesia masih menjadi negara nomor tiga dunia sebagai penyumbang kasus TBC tertinggi dengan estimasi 824.000 jumlah kasus dengan kematian sebanyak 13.100 dan hanya 47% kasus yang terlaporkan dalam setahun. Itu artinya masih banyak kasus tapi belum berobat dan terlaporkan,” tuturnya.

Sementara itu, Koordinator Program Yamali TB Sulsel, Kasri Riswadi, menambahkan bahwa peringatan hari TB tahun ini dilakukan dengan ragam aksi dan kegiatan. Selain aksi turun jalan di Makassar, aksi yang sama serta ragam kegiatan juga dilakukan secara serentak di 8 daerah lainnya seperti Gowa, Jeneponto, Bulukumba, Maros, Wajo, Bone, Pinrang, dan Sidrap.

“TB day berbasis komunitas ini kita konsolidasikan untuk membuat kegiatan secara terpadu sejak 24 Februari hingga 31 Maret ini, sejumlah kegiatan telah dihelat di 9 daerah itu seperti sisir kutu atau penyuluhan dan investigasi kontak kepada 50.000 orang dan merujuk terduga TB sebanyak 10.000 orang,” tukasnya.

Kasri menambahkan, selain melakukan penjaringan terduga dan kasus baru TBC serta pendampingan pasien, program penanggulangan TBC juga diarahkan pada ranah advokasi  untuk memperoleh dukungan publik, dukungan finansial bagi pasien, dukungan psikososial, serta dukungan komitmen politik dari pemangku kepentingan.

“TBC masih menjadi persoalan besar saat ini, bahkan penanganannya diklaim mundur 4 tahun dikarenakan pandemi Covid-19, padahal kita semua tahu bahwa TBC ini juga merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian. Peringatan TB day 2022 ini kami ingin jadikan momentum kampanye agar kita semua tahu,” terangnya.

Peringatan hari TB sedunia tahun ini dilakukan oleh sejumlah pihak baik dari pegiat TB di Dinas kesehatan dan layanan, juga oleh kelompok masyarakat dan komunitas. Tema TB Day tahun sendiri adalah “Perkuat dukungan untuk Eliminasi TBC, Selamatkan Jiwa”.

Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2022, Pangkalpinang Ayo Bergerak!

Pangkalpinang, FaktaBerita.Online,-

Tuberkulosis atau biasa disebut TB merupakan salah satu penyakit yang sepanjang zaman selalu menjadi momok menakutkan di masyarakat, Kamis 24/03/2022.

Mengingat bahayanya penyakit yang mematikan dan mudahnya penularan melalui kontak udara, belum lagi secara spiritual itu dianggap aib dan menjadi sebuah permasalahan tersendiri di masyarakat.

STPI Penabulu Pangkal Pinang sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat, peduli dan sip mengedukasi dan terlibat dalam penanganannya.

Dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh pada hari ini, Jumat 24 Maret 2021, STPI Penabulu Pangkalpinang mengadakan sarasehan di Puskesmas Pasir Putih.

Kegiatan dihadiri oleh para dokter, pejabat instansi pemerintah dan kader – kader kesehatan.

Acara diisi dengan sosialisasi penanganan TB dan orang-orang yang berpotensi terdampak, khususnya anak-anak (Balita), di dalam keluarga dan masyarakat pada umumnya.

Dijelaskan oleh dr. Ratna, dokter spesialis anak dari RSUD Depati Hamzah,

“Balita rawan tertular penyakit TB. Contohnya bila kedua orangtua sibuk bekerja dan anak dititipkan kepada neneknya yang kebetulan terkena TB, harus diwaspadai karena resiko tinggi tertular”. Jelas dr.Ratna

“Anak- anak, terutama balita wajib diperhatikan”. Minimnya kesadaran masyarakat untuk terbuka dan periksa, meskipun gratis dan obat pun dijamin pemerintah, menjadi sebuah PR besar dan perlu kerja keras mengupayakannya. Lanjut dr. Ratna.

Selain sosialisasi tentang penanganan dan solusi obat TB juga tentang investigasi kontak yang diperlukan, pemaparan beberapa kasus TB menjadi bahasan pokok dalam sarasehan tersebut.

Acara berlangsung komunikatif dan meriah. Ada sesi pembagian bingkisan berupa bibit pohon alpukat dan untuk semua kader diusulkan adanya kenaikan uang saku selayaknya, sambutan riuh tepuk tangan hadirin menambah semaraknya acara.

Momentum berharga bagi semua kalangan yang terlibat dalam program eliminasi TB di Pangkal Pinang, diakhiri dengan membuat komitmen dan tandatangan bersama, satu per satu, wujud kepedulian yang konkret terhadap program pemberantasan TB.

“Harapannya agar kota Pangkalpinang mampu lebih baik dalam dalam menyikapinya, karena Pencapaian SPM TB Pangkalpinang 2021 hanya 53 persen, ranking 6 dari 7 di Babel, tahun berikutnya perlu perhatian lebih dari pemerintah untuk capaian lebih baik, melalui kader kesehatan dan program-programnya, tidak bisa selesai sendiri harus sama-sama”, tutur Pak Hari Purnomo, selaku SR Manager STPI Penabulu.”

Acara selesai dengan tertib. STPI Penabulu sukses menyelenggarakan peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2022.

Salam sehat. (Red)

Bilangan Komitmen Penanggulangan TBC dan Pelibatan Komunitas untuk Optimalisasi Investasi Selamatkan Jiwa

Jakarta, 23 Maret 2022 – Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasus Tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia (2021), dan hal ini menjadikan beban ekonomi bagi Negara. Pada tingkat global, terdapat kebutuhan mendesak untuk menginvestasikan sumber daya agar dapat mengakhiri TBC. Dalam konteks penanggulangan TBC di Indonesia, telah terjalin kerjasama antar pihak pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS), akademisi dan swasta. Sebagai OMS, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI (PR PB-STPI) memaknai HTBS dengan melakukan advokasi melalui kegiatan Outlook Tuberculosis 2022: Optimalisasi Investasi untuk Akselerasi Eliminasi TBC, Selamatkan Indonesia dari TBC. Berlangsung melalui Webinar pada 23 Maret, Outlook TBC 2022 menjadi ruang aspirasi bagi komunitas untuk mendapatkan acuan perkembangan strategi pemerintah dalam menanggulangi TBC serta mempersiapkan strategi untuk bermitra dan mengadvokasikannya kepada jejaring lintas sektor.

Diawali dengan keynote speaker dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), oleh Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS (Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) menyampaikan bahwa penanggulangan TBC berkaitan erat dengan arah transformasi kesehatan dalam G20. Pemerintah berupaya untuk melibatkan semua pihak agar dapat berperan dalam upaya skrining dan deteksi serta mengalokasikan anggaran dalam memenuhi kebutuhan pasien TBC. Lebih lanjut, beliau menjelaskan pentingnya penguatan kemitraan bersama komunitas untuk dapat bersama mengoptimalkan akselerasi dan pemenuhan tujuan, “pendampingan dari komunitas sangat berdampak pada keberhasilan pengobatan,” tegasnya.

Pernyataan yang disampaikan oleh Dirjen P2P Kemenkes menjadi pemicu diskusi untuk panel pertama yakni “Peluang Indonesia untuk Berkolaborasi dalam Memenuhi Komitmen UNHLM TBC 2022”. Diskusi tersebut dipimpin oleh dr. Nurul Nadia Luntungan, MPH (Authorized Signatory PR Konsorsium Penabulu-STPI) dan menghadirkan 5 narasumber ahli. Sejalan dengan hal tersebut, dr. Donald Pardede, MPPM (Dewan Penasehat STPI) menekankan kembali bahwa terdapat rekognisi peran komunitas dalam mengoptimalkan strategi kunci dan peta jalan mencapai tujuan eliminasi TBC. Bapak Donald kembali mengingatkan bahwa target Indonesia untuk eliminasi TBC bukan hal yang mudah, namun tetap harus optimis dalam mengurangi penularan TBC. Khususnya pada 7 komitmen UNHLM yang menjadi acuan eliminasi TBC, diantaranya (1) negara harus memenuhi dalam diagnosis dan pengobatan; (2) negara harus hadir dalam pengobatan TBC; (3) negara harus hadir dalam mendukung pendanaan yang berkesinambungan; (4) negara harus hadir dalam mengakhiri stigma TBC; (5) negara memastikan ketersediaan vaksin; (6) negara memfasilitasi pengembangan kerangka multisektoral dan (7) Negara melaporkan kemajuan penanganan TBC.

Sejalan dengan hal tersebut, dr. Donald Pardede, MPPM (Dewan Penasehat STPI) menekankan kembali bahwa terdapat rekognisi peran komunitas dalam mengoptimalkan strategi kunci dan peta jalan mencapai tujuan eliminasi TBC. Bapak Donald kembali mengingatkan bahwa target Indonesia untuk eliminasi TBC bukan hal yang mudah, namun tetap harus optimis dalam mengurangi penularan TBC. Khususnya pada 7 komitmen UNHLM yang menjadi acuan eliminasi TBC, diantaranya (1) negara harus memenuhi dalam diagnosis dan pengobatan; (2) negara harus hadir dalam pengobatan TBC; (3) negara harus hadir dalam mendukung pendanaan yang berkesinambungan; (4) negara harus hadir dalam mengakhiri stigma TBC; (5) negara memastikan ketersediaan vaksin; (6) negara memfasilitasi pengembangan kerangka multisektoral dan (7) Negara melaporkan kemajuan penanganan TBC.

Di lain sisi, berdasarkan Global TB Report (2021) diketahui bahwa target TB Global masih dibawah capaian, khususnya pada rendahnya angka orang yang didiagnosis dan dilaporkan. Oleh karena itu, pada penyampaiian paparannya, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa pemimpin Negara perlu melakukan langkah pendanaan triple dan quadruple untuk dapat menyelamatkan jiwa dan mengakhiri TBC. Jika merujuk pada target tujuan pembangunan berkelanjutan dan target UNHLM, maka Indonesia perlu melakukan peninjauan target serta peningkatan upaya. Lebih lanjut, Prof Tjandra menyampaikan adanya peluang momentum presidensi G20 dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia. “Pada G20, TBC perlu dilihat sebagai investasi geopolitik dimana negara-negara yang tergabung di G20 merepresentasikan dari 50% kasus TBC di dunia.” Ujar Prof Tjandra.

Dengan begitu, tahun 2022 di tataran global, Indonesia memiliki bilangan komitmen UNHLM yang perlu dipenuhi dan peluang pembaharuan komitmen politis pada G20. Selanjutnya Pemerintah Indonesia juga perlu mengoperasionalisasikan serta merealisasikan bilangan komitmen yang tercantum pada mandat Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 (Perpres 67/2021) tentang penanggulangan TBC.

Outlook TBC 2022 menghadirkan 3 Kementerian yang menjadi penanggung jawab pemenuhan bilangan komitmen di tahun 2022, diantaranya adalah Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri. Mewakili Kemenko PMK, dr Nancy D Anggraeni M. Epid (Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kemenko PMK) menyampaikan bahwa amanat Perpres 67/2021 telah diupayakan melalui pembentukan wadah kemitraan di tingkat nasional yang disahkan dengan Keputusan Menteri Kemenko PMK nomor 40/2021. Tujuannya adalah untuk meningkatkan peran masyarakat dan mitra dalam percepatan penanggulangan TBC dengan fokus utama pada upaya promotif, preventif dan rehabilitatif. Wadah kemitraan tersebut telah menyusun rancangan konsep Program Terpadu Kemitraan Penanggulangan TBC untuk Masyarakat Indonesia (PROTEKSI). Pada konsep ini terlihat peluang besar keterlibatan OMS dalam menjalankan perannya sebagai komunitas. Tidak hanya itu, pasal 28 Perpres 67/2021 juga menyebutkan bahwa secara taktis perlu dibentuk Tim Percepatan TBC di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dengan begitu, pihak komunitas dapat ikut serta secara bermakna dalam tim percepatan tersebut. Hal ini sejalan dengan penyampaian informasi dari Bapak Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes (Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kemenkes) “Kemenkes mengharapkan agar komunitas dapat terlibat aktif menjadi salah satu unsur dalam tim percepatan penanggulangan TBC dan dapat berkoordinasi dengan Dinkes untuk meningkatkan keterlibatan pasien TBC, mantan pasien dan melakukan pendampingan pengobatan pasien TBC.”

Hal ini didukung dengan adanya peran sentral Kemendagri dalam Perpres 67/2021 untuk memastikan implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan. Bapak R. Budiono Subambang, ST, MPM (Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Kementerian Dalam Negeri) menyampaikan bahwa Kemendagri telah menerbitkan Permendagri No.59 tahun 2021 tentang penerapan SPM dimana didalamnya disebutkan bahwa penemuan kasus menjadi kewajiban minimal pemerintah daerah yang harus 100% dicapai. Permendagri tersebut menjadi instrumen yang akan digunakan untuk pelaksanaan tugas sesuai amanat Perpres 67/2021. Selain itu, Kemendagri juga telah menyetujui adanya penambahan nomeklatur baru untuk TBC yang diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan penganggaran kegiatan pembiayaan rujukan orang terinfeksi TBC. Pelaksanaan SPM Kesehatan wajib dilaporkan kepada Kemendagri berkenaan dengan Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD).

Diskusi pada panel pertama memberikan asupan informasi peluang keterlibatan komunitas dengan mengupayakan advokasi serta kemitraan untuk mendukung penuh bilangan komitmen penanggulangan TBC. Agar dapat memberikan gambaran terkait kontribusi komunitas dan pengalaman kemitraan dengan Dinas Kesehatan, maka Outlook TBC 2022 dilanjutkan dengan diskusi panel 2 yang dimoderatori oleh Heny Akhmad MPA, MSc (National Director Program PR PB-STPI).

Seyogyanya, peran komunitas yang tercantum pada pasal 29 Perpres 67/2021 telah dilaksanakan secara komprehensif dengan prinsip kemitraan. Sudiyanto selaku Sub-Recipient Manager (SRM) Inisiatif Lampung Sehat menyampaikan bahwa upaya advokasi kepada pihak eksekutif dilakukan dengan mengupayakan dukungan sarana layanan, SDM dan alur pelayanan. Sedangkan untuk legislatif, advokasi dilaksanakan dengan dukungan Perda serta anggaran. Penting melakukan jejaring organisasi dengan perguruan tinggi, lembaga vertikal, perbankan, serta organisasi yang memiliki keterkaitan dengan TBC. Tidak hanya itu, OMS yang mengelola kader TBC menyampaikan bahwa komunitas memiliki kegigihan dalam penemuan kasus dan case holding. Dalam proses pendampingan pasien TBC, Tri Lestari selaku SRM YABHYSA Jawa Timur menyampaikan bahwa dalam proses pendampingan, kader seringkali mendapatkan penolakan dari pasien untuk periksa dan berobat. Namun, dengan adanya Perpres, hal tersebut menambah semangat kader dan eksistensinya sangat diakui. Yang mana, kader mempersepsikan kegiatan penemuan kasus dan pendampingan pasien TBC sebagai tugas negara. Selain itu, pelibatan kader menjadi salah satu kunci dalam melakukan advokasi ke pemerintah desa terkait pelibatan dalam membantu meringankan beban pasien TBC secara sosial dan ekonomi. Peran tim komunitas juga mengupayakan bantuan psikososial bagi pasien dan menjadi pintu awal untuk mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Tidak hanya itu, dr. Christian Lambogia selaku Koordinator Program Sub-Sub Recipient (SSR) PELKESI Manado menyampaikan bahwa pengalaman kemitraan dilakukan dengan cara proses sosialisasi kepada pihak yang berpotensi seperti CSR dan lembaga filantropi. Untuk penyuluhan dan kampanye TBC seringkali dilakukan dengan ceramah dan diskusi dengan pendekatan kolaborasi melalui tokoh agama.

Adanya kemitraan yang baik antara pihak komunitas dan pemerintah daerah ditunjukkan dengan manfaat dan dampak dari kemitraan tersebut. Hal ini disampaikan oleh drh. Berty Murtiningsih, M.Kes yang merupakan Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan DIY “Dampak kolaborasi adalah perluasan sosialisasi TBC, adanya peningkatan pendampingan pasien TBC, peningkatan penemuan kasus TBC dan adanya konsistensi keberhasilan pengobatan TBC.” Dengan prinsip menemukan sebanyak-banyaknya dan mengobati sebaik-baiknya, Dinkes DIY juga melakukan inisiasi pembentukan Tim percepatan eliminasi TBC dengan pelibatan semua OPD dan organisasi mitra TBC, termasuk pihak komunitas.

Outlook TBC 2022 ditutup dengan penyampaian dari Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc (Direktur Center for Health Administration and Policy Studies FKM UI) terkait rekomendasi serta rencana tindak lanjut yang perlu diupayakan oleh pemangku kepentingan. “Pertemuan ini menunjukkan bahwa OMS telah melakukan peran sensitif dan spesifik untuk eliminasi TBC yang bermitra dengan pemerintah,” jelasnya. Pada peran sensitif, OMS melakukan upaya edukasi, pencegahan dan memperkuat ketahanan tanggap darurat. Sedangkan pada peran spesifik, OMS melakukan upaya peningkatan akses pencarian pengobatan. Peran OMS terbukti efektif sehingga keberdayaan perlu didukung. OMS yang efektif dalam perencanaan dan penganggaran terbukti efisien dan berkelanjutan. Peran Kemenkes adalah kunci untuk mendorong tatanan daerah dalam perencanaan dan penganggaran melalui Kerjasama dengan Kemendagri termasuk menuju agenda G20. Di lain sisi, OMS dapat menjadi jembatan dan saluran kepentingan vertikal, horizontal dan diagonal untuk perencanaan eliminasi TBC yang sinkron pada semua sektor.

Adanya perpres TBC menunjukkan bahwa disease-oriented yang eksklusif telah berakhir dan dilanjutkan dengan paradigma Health in All Policy. Diperlukan kepemimpinan yang kolaboratif dengan budaya kerja keras berbasis bukti untuk mencapai resiliensi. Dengan adanya
pengarusutamaan eliminasi TBC, hal ini perlu dimanfaatkan sebagai peta jalan dari pusat dan daerah. Untuk dapat mencapai hasil optimal maka perlu adanya sinergitas dan kolaborasi antar pihak. Senada dengan pesan kunci dari Prof Tjandra yang menyampaikan bahwa Perpres dapat menjadi peluang nasional untuk mencapai eliminasi TBC 2030 dengan penekanan pada upaya multisektor, target per daerah dan perkembangan pencapaian berkala. PR PB-STPI yang ikut berperan dalam penanggulangan TBC di 30 Provinsi dan 190 Kabupaten/Kota akan menjadikan diskusi pada Outlook TBC 2022 sebagai bahan advokasi dan kemitraan untuk Optimalisasi Investasi untuk Akselerasi Eliminasi TBC, Selamatkan Indonesia dari TBC.

Cepat Tanggap SR Sulawesi Utara PELKESI Dalam Mengatasi Permasalahan TBC di Sulawesi Utara

Hingga saat ini, Tuberculosis (TBC) masih menjadi permasalahan yang besar dalam dunia kesehatan di Indonesia mengingat angka kasus yang cukup tinggi dan penanganannya yang membutuhkan konsistensi serta komitmen yang tinggi. Di Sulawesi Utara, beberapa akar masalah yang dominan terjadi pada pasien TBC adalah rendahnya tingkat ekonomi pasien yang berpengaruh pada ketaatan pengobatan, kurangnya pemahaman akan TBC serta masih adanya stigmatisasi negatif terhadap penderita TBC. Hal-hal tersebut menjadikan beberapa pasien TBC lebih memilih mangkir dari proses pengobatan yang dapat menyebabkan TBC bisa kambuh kembali, susah diobati karena resisten antibiotik, menular ke orang terdekat, serta menjadikan kondisi lebih buruk dari sebelumnya hingga berujung kematian. 

Dari dimensi pelayanan kesehatan, permasalahan yang dominan terjadi meliputi kurangnya jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola TBC dan terbatasnya kapasitas pelayanan menjadikan penjangkauan dan pengobatan TBC menjadi sulit. Sedangkan dari perspektif pemerintah, belum adanya support kebijakan Pemerintah Daerah serta masih terbatasnya alokasi anggaran untuk program penanggulangan TBC menjadikan penanggulangan TBC di Sulawesi Utara terhambat.

Selain itu, hingga saat ini, respon masyarakat masih menjadi salah satu hambatan yang berarti karena ketakutan mereka akan adanya skrining covid jika melakukan pemeriksaan di fasyankes. Selain itu, adanya pandemi juga menyebabkan petugas di pelayanan kesehatan menjadi rangkap tugas. Sebagian besar petugas TBC yang ada di Puskesmas terlibat dalam kegiatan vaksinasi dan menjadi petugas skrining untuk TRC (Tim Reaksi Cepat). Hal ini menyebabkan pemeriksaan sputum dan pencatatan formulir TBC, seperti TB 03, TB 05, dan TB 06 di Puskesmas menjadi terhalang.

Masa pandemi juga menyebabkan beberapa kondisi seperti aktivitas pengambilan obat TBC di pelayanan kesehatan mengalami penurunan karena ketakutan pasien TBC untuk datang ke puskesmas. Stigma sosial yang dialami pasien TBC maupun keluarga pasien juga membuat sebagian masyarakat enggan memberikan sputumnya untuk dibawa oleh kader agar di periksa di fasyankes. Tidak semua masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang TBC terutama masyarakat menengah kebawah. Sehingga pelacakan TBC menjadi tidak terkendali karena beberapa kegiatan seperti Investigasi Kontak dan Penyuluhan (IK Non Rumah Tangga) menjadi terhambat karena diberlakukannya PSBB dan PPKM.

Untuk menangani permasalahan diatas, SR (Sub-Recipient) Sulawesi Utara selaku mitra dari PR Konsorsium Penabulu-STPI rutin melakukan rapat internal dengan melakukan diskusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, SR Sulawesi Utara juga sangat menjaga koordinasi antara SR dan SSR. Koordinasi tersebut diterapkan dengan melakukan monitoring dan evaluasi baik via WA (WhatsApp) grup maupun kunjungan ke masing-masing SSR untuk melihat sejauh mana progres dan pencapaian dari setiap SSR. Selain dengan internal, agar terciptanya support dari pemerintah, SR Sulawesi Utara melakukan koordinasi dengan stakeholder, terkait dalam hal ini Dinkes Provinsi maupun Kabupaten/Kota turut digandeng untuk menjaga pelayanan dari tiap fasyankes demi menunjang penjaringan dan penemuan kasus, investigasi kontak, maupun pemeriksaan TCM (Tes Cepat Molekuler). Pada beberapa kegiatan, SR PELKESI juga berkoordinasi dengan Kepala Daerah seperti pada kegiatan TB Day yang dilaksanakan setiap 24 Maret setiap tahunnya. Kegiatan lainnya juga berkoordinasi dengan anggota dewan terkait advokasi dalam menyusun roadmap penanggulangan TBC. PELKESI juga berkolaborasi dengan komunitas yang bergerak di bidang sosial lainnya seperti PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), Persaudaraan Korban NAPSA, Yayasan Batamang Plus, Sinode GMIM, BAZNAS (Badan Zakat Nasional) dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

SR PELKESI aktif memotivasi para kader untuk melakukan Investigasi kontak sehingga hasil dari Investigasi Kontak menunjukkan angka yang tinggi khususnya SSR di Manado dikarenakan banyak kader yang melakukan investigasi kontak dari berbagai wilayah kerja puskesmas. Koordinasi dengan petugas puskesmas dalam memberikan indeks di awal bulan juga dilanggengkan demi memberikan waktu yang lebih cepat kepada kader-kader agar menyelesaikan IK tepat waktu. Bilamana ada kader yang tidak melaksanakan investigasi kontak terhadap indeks, maka indeks tersebut akan di investigasi oleh kader lain. Selain itu, sebagian besar kader memiliki latar belakang tokoh masyarakat/tokoh agama sehingga lebih mudah untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya memeriksakan diri ke puskesmas. Staff SSR juga mempunyai latar belakang sebagai tenaga kesehatan, sehingga mudah melakukan koordinasi dengan petugas puskesmas.

Hadirnya SR PELKESI dalam eliminasi TBC membuat masyarakat merasa terbantu dengan adanya kader-kader PELKESI yang melakukan investigasi kontak di lingkungan wilayah kerja kader.  “Masyarakat merasa aman karena mereka bisa mendapatkan penyuluhan edukasi kesehatan sehingga membantu masyarakat dengan adanya fasilitas penjemputan sputum, melakukan pendampingan  sebagai PMO (Pengawas Minum Obat) dan memberikan support nutrisi dan dana bagi pasien TB-RO”, ucap Mba Jeinne selaku PMEL Coordinator dari SR PELKESI. Mereka juga saat ini cukup kooperatif untuk memeriksakan diri ke puskesmas dengan didampingi kader PELKESI.

SR PELKESI berharap bahwa seluruh SR dapat terus memperkuat hubungan dengan mitra SSR seperti Dinas Kesehatan Puskesmas serta RS yang ada. Selain itu, pelatihan untuk para kader juga dapat dilaksanakan agar kader lebih cakap dalam hal melakukan edukasi dan penyuluhan serta investigasi kontak, sehingga setiap orang mau memberikan dahaknya untuk diperiksa, dan mereka yang sementara menjalani pengobatan agar dapat menjalani pengobatan sampai selesai dan tidak putus pengobatan. “Jangan berhenti berusaha karena ingatlah pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang mulia dan diberkati karena menemukan/menjaring mereka yang sakit dan mengajak mereka sehingga memperoleh pengobatan agar bisa sembuh dari sakit TBC”, imbuh beliau. 


Cerita ini dikembangkan dari SR Sulawesi Utara

Ditulis oleh: Winda Eka Pahla Ayuningtyas (Communications Staff)

Editor: Permata Silitonga